Setelah Idul Adha tibalah kita pada tiga hari yang sering luput dari sorotan: Ayyāmut-Tasyrīq. Hari setelah pengorbanan, ada tiga hari yang dikhususkan untuk kita, untuk bersenang-senang dengan tenang.
Nabi bersabda, “Hari-hari tasyrik adalah hari makan, minum, dan mengingat Allah.” (HR. Muslim). Bukan hari untuk menahan diri, apalagi berpuasa—melainkan hari untuk merayakan, bukan dalam euforia, tapi dalam kesadaran dan syukur.
Itulah mengapa selama tiga hari ini umat Islam dilarang berpuasa. Ini waktunya bersenang-senang—dengan makanan yang halal, pertemuan yang hangat, dan takbir yang mengalir dari hati yang penuh cinta.
Dalam fiqh, tasyrik adalah pelengkap ibadah haji. Jamaah melempar jumrah, sementara umat Muslim di luar Mina dianjurkan memperbanyak takbir setelah salat. Imam Nawawi menyebutnya “hari-hari lapang”—waktu untuk menyimpan, memasak, dan membagi daging, sembari mengendapkan makna kurban dalam hati.
Para sufi melihat lebih dalam. Bagi mereka, hari-hari ini adalah waktu menjemur luka batin di bawah matahari zikir—seperti daging yang diasapi, bukan untuk dibuang, tapi dijaga agar awet: jadi bekal di musim sulit.
Zikir tasyrik bukan sekadar ucapan; ia adalah kehadiran jiwa. Al-Ghazali menulis, “Zikir sejati adalah mengingat Allah bahkan saat bersama makhluk yang dicintai.” Maka, tetaplah terhubung pada-Nya—bahkan saat tertawa, makan bersama, atau berbagi cerita sederhana.
Di dunia modern yang menuntut kecepatan, tasyrik adalah undangan lembut untuk melambat. Karena tak semua ibadah hadir lewat kecepatan dan ketepatan. Ada juga yang datang melalui pelukan, makan-makan, tawa, dan rasa cukup atas nikmatNya.
Jika kau tanya padaku, sayang, apa makna tasyrik?
Aku akan jawab begini:
Ia adalah waktu untuk mencintai—dengan tenang, dengan sadar, dan dengan mentakbirkan cinta kita dalam setiap helaan napas, seolah tiap “Allāhu Akbar” adalah bisikan rindu yang tak ingin cepat usai.
Tabik,
Nadirsyah Hosen