Mengungkap Sejarah dan Pertumbuhan NU di Lampung
Oleh: Kendi Setiawan
NU Online Mengungkapkan nama-nama Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Lampung sejak Pemerintah Indonesia membentuk Provinsi Lampung pada tahun 1964, bukanlah hal sulit.
Namun, bagaimana NU masuk di Lampung sejak awal mulanya, menjadi tantangan yang kemudian dipilih untuk menulis buku Sejarah dan Pertumbuhan NU di Lampung. Penulis buku Ila Fadilasari mengungkapkan hal itu saat diskusi dan bedah buku yang diadakan NU Online, Jumat (7/1/2022).
"Bagaimana NU datang dari tempat berdirinya Pulau Jawa yaitu Surabaya, bukan Jakarta yang transprtasinya masih susah, bagaimana prosesnya, ini yang secara pelan-pelan digali dan menjadi dasar saya untuk mengarahkan tim harus ketemu dengan siapa," kata Ila yang juga Ketua Lembaga Ta’lif Wannasr Nahdlatul Ulama (LTNNU) Lampung.
Ila akhirnya menemukan adanya keterkaitan yang kuat dari para ulama di Lampung dengan ulama di Pulau Jawa khususnya Banten untuk merintis Nahdlatul Ulama (NU) di Lampung.
"Karena waktu itu ada ulama dari Banten yang ditugaskan menyebarkan Islam di Lampung yang menyebarkan paham Ahlussunah wal Jama’ah (Aswaja) dan itu klop dengan Kiai Fadil Amin yang ditugaskan mendirikan NU di Lampung (kala itu Sumatera bagian Selatan). Lalu mereka berkolaborasi," lanjut Ila.
Pendirian NU di Lampung pada tahun 1930-an juga tak lepas dari 'mandat' Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari secara langsung kepada salah satu santrinya.
Menurut Ila, untuk memahami perkembangan NU pada masa lalu, seperti mungkin di daerah lainnya tidaklah seperti kepengurusan cabang saat ini yang berbasis kabupaten.
Pada mulanya ada enam cabang NU di Lampung yaitu NU Cabang Tanjung Raja, NU Cabang Menggala, NU Cabang Krui, NU Cabang Sukadana, dan NU Cabang Teluk Betung. Sementara hingga pada 1986, terdapat 15 cabang NU di Lampung, padahal hanya ada tiga kabupaten dan satu kotamadya di Lampung kala itu.
Ila juga menceritakan, proses penulisan buku dimulai tahun 2016. Sekretaris PWNU Lampung, H Aryanto Munawar waktu itu memberikan tugas untuk menuliskan sejarah NU Lampung. Penulisan buku hendaknya tidak buru-buru tetapi mendalam dan utuh.
Ila mengatakan menyertakan atau mengawali dengan pola pemerintahan pada zaman Hindia Belanda di awal tulisan, karena system pemerintahan di Indonesia berbeda. Hal itu agar pembaca bisa memahami dan merekonstruksi bagaimana NU bisa berdiri. Diungkapkan juga profil Provinsi Lampung 1964 sehingga ada sejarah daerah di dalam buku tersebut.
Selain wawancara, Ila melengkapi penulisannya dengan data di Perpustakaan PBNU hingga menemukan hasil-hasil hasil Muktamar. Data juga ditambahkan dengan mengunjungi Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) dan museum NU di Surabaya.
Redaktur NU Online Muhammad Syakir Niamilah memberikan tanggapan bahwa secara umum penulisan sejarah NU Lampung sudah baik. Ia memberi catatan, di beberapa bagian ada fragmen yang terpotong. Misalnya saat pertemuan tokoh NU di Lampung membicarakan tentang apa, tidak diungkapkan lebih lanjut. Namun ia sekaligus mendorong penyempurnaan dapat dilakukan dalam penulisan berikutnya.
Sementara itu Sekretaris PWNU Lampung Ariyanto Munawar mengatakan buku tersebut perlu dibaca oleh warga NU, pengurus maupun semua pihak di wilayah yang terkait dengan NU Lampung seperti Banten dan Jakarta. Ia berharap generasi muda turut membaca buku tersebut sebagai bekal pengabdian di NU.
Dosen Universitas Lampung (Unila) Iwan Satriawan menambahkan buku tersebut dapat menjadi buku induk (babon) yang menjadi acuan para penulis berikutnya yang ingin menulis tentang sejarah NU Lampung.
Sumber: NU Online