HWMI.or.id

Thursday, 28 September 2023

Apa dan Siapa Pengarang Shalawat Nariyah?

Sebagian kalangan mempertanyakan dan bahkan menuding tak berdasarnya Shalawat Nariyah. Pokok persolannya, menurut mereka adalah tidak diketahui pengarangnya. Dewan Pakar Aswaja NU Center Jawa Timur, KH Ma’ruf Khozin, mengatakan, "Jika beralasan karena ketidakjelasan siapa pengarangnya, maka Mufti Mesir, Syaikh Ali Jumah yang digelari Allamah Ad-Dunya, mendapat sanad yang sempurna dari gurunya Syaikh Abdullah al-Ghummar. 

Syaikh Abdullah al-Ghummar, adalah seorang ahli hadits dari Maroko, yang (sanadnya) sampai kepada muallif (pengarang) Shalawat Nariyah Syaikh Ahmad At-Tazi al-Maghribi (Maroko). 

KH. Ma'ruf Khozin mengatakan, “Kesemuanya secara musyafahah, menyampaikan bacaan shalawat tersebut dari guru kepada muridnya secara langsung.” 

Sementara nama Shalawat Nariyah, ada kalangan yang alergi dengan ‘nar’ yang memang populer dengan sebutan Nariyah. Sebagian orang menganggap bahwa makna ‘nar’ adalah neraka, ‘iyah’ adalah pengikut, yang disimpulkan ‘pengamal nariyah’ adalah pengikut ahli neraka. Maka, hal itu sangat tidak tepat. Perhatikan dalam Al-Qur’an berikut ini:

 إِذْ رَأَىٰ نَارًا فَقَالَ لِأَهْلِهِ امْكُثُوا إِنِّي آنَسْتُ نَارًا لَعَلِّي آتِيكُمْ مِنْهَا بِقَبَسٍ أَوْ أَجِدُ عَلَى النَّارِ هُدًى

 “Ketika ia (Musa) melihat api, lalu berkatalah ia kepada keluarganya: "Tinggallah kamu (di sini), sesungguhnya aku melihat api, mudah-mudahan aku dapat membawa sedikit daripadanya kepadamu atau aku akan mendapat petunjuk di tempat api itu". (Thaha: 10) 

Syekh Ibrahim bin Muhammad bin Ali At-Tazi yang merupakan seorang wali agung di kota Taza, Maroko. 

Namun, masih ada perbedaan pendapat mengenai namanya di kalangan ulama. Ada yang menyebut Ahmad At-Tazi, Ibrahim At-Tazi, dan Abdul Wahab At-Tazi.

Syekh Ibrahim bin Muhammad bin Ali At-Tazi diperkirakan lahir pada abad ke-8 Hijriyah atau abad ke-14 Masehi. Beliau wafat pada tanggal 9 Sya’ban 866 Hijriah atau 9 Mei 1462. Dimakamkan di Wahran, Aljazair di dekat kuburan gurunya, Al-Hawwari selama 50 tahun. 

Lalu dipindahkan secara sembunyi-sembunyi oleh muridnya ke Benteng Bani Rasyid. 

Dipindahkannya makam Beliau dikarenakan Aljazair dijajah oleh Spanyol dan kuburan dijadikan sebagai tempat duduk.

Semasa hidup Syekh Ibrahim bin Muhammad bin Ali At-Tazi dihabiskan dengan mesantren di Maroko atas kehendak ayahnya. Setelah diri sudah yakin berguru di sana, Syekh Ibrahim bin Muhammad bin Ali At-Tazi lanjut ke Hijaz dengan niat ibadah haji. 

Setibanya di Mekkah, Syekh Ibrahim bin Muhammad bin Ali At-Tazi belajar ke Syekh Sayyid Al-Qadhi Muhammad bin Ahmad bin Ali Al-Hasani Al-Fasi. 

Di Madinah, Syekh Ibrahim bin Muhammad bin Ali At-Tazi berguru kepada beberapa ulama. Di antaranya, Syekh Abul Fath Muhammad bin Ali Bakr Al-Qurasyi Asy-Syafi’i.

Syekh Ibrahim bin Muhammad bin Ali At-Tazi adalah orang yang ahli ilmu hadis, mantiq, ushuluddin, tajwid, hingga linguistik arab. 

Suaranya begitu merdu. Syekh Ibrahim bin Muhammad bin Ali At-Tazi pernah mengajar kitab Mukhtashar Khalil tanpa melihat syarahnya. Akhlaknya seperti Nabi. Sabar ketika fitnah, santun, ramah dan sebagainya. 

Menurut Syaikh Abdullah al-Ghummari, penamaan dengan Nariyah karena terjadi tashrif atau perubahan dari kata yang sebenarnya taziyah. Sebab keduanya memiliki kemiripan dalam tulisan Arab, yaitu النارية dan التازية yang berbeda pada titik huruf. 

Di Maroko sendiri shalawat ini dikenal dengan shalawat Taziyah, sesuai nama kota pengarangnya. 

Sementara dalam kitab Khazinatul Asrar, sebuah kitab yang banyak memuat ilmu tasawuf dan tarekat karya Syaikh Muhammad Haqqi Afandi An-Nazili, disebutkan bahwa Syaikh Al-Qurthubi menamai shalawat ini dengan nama Shalawat Tafrijiyah, yang diambil dari teks yang terdapat di dalamnya yaitu (تنفرج). 

Demikian halnya Syaikh Yusuf bin Ismail An-Nabhani menyebut dengan nama shalawat At-Tafrijiyah dalam kitabnya Afdlal ash-Shalawat ala Sayidi as-Sadat pada urutan ke 63. 

“Semua syubhat (propaganda) dalam shalawat Nariyah telah kita ketahui dalilnya sehingga boleh kita amalkan. Akan tetapi, jika penolakannya, keengganannya dan keberatannya karena kebencian kepada kami para santri, maka tak cukup 1000 dalil untuk memuaskan dahaga kebenciannya,” pungkas KH. Ma'ruf Khozin.

Wednesday, 27 September 2023

Nahdliyin Bersatu: Para "Pembenci" Gus Dur Bertemu, pertanda apa?

Foto Capres dan Cawapres dengan HRS di Petamburan

Sudah menjadi agenda 5 tahunan, persatuan warga nahdliyin akan di uji.

Viral, foto salah satu cawapres yang basis masanya Nahdliyin saat malam peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW Rabu malam (27/9/2023) bertemu dengan ketua eks FPI Mohammad Rizieq Shihab (MRS) di Petamburan yang seharusnya merapat pada PBNU, hal ini sangat disayangkan.

Nahdliyin pasti tahu, diantara keduanya ada kesamaan. sosok yg selama ini pernah "menyakiti" almarhum Gus Dur dan yg satunya pernah menghina dan merendahkan Almarhum gus dur, dan saat ini sudah berkumpul. Apa selanjutnya?

Yuk, warga nahdliyin tetap jaga persatuan. Jangan mudah terbawa arus, angap saja mereka warga biasa dan tetap bersatu, patuh pada Pengurus Besar Nahdlotul Ulama (PBNU) yang selama ini selaras dengan Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, NKRI dan UUD 1945 (PBNU).

Thursday, 21 September 2023

Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Bentuk Majelis Tahkim Atasi Masalah Internal

Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) akan membentuk Majelis Tahkim yang berfungsi untuk menyelesaikan perselisihan di internal pengurus NU semua tingkatan. Majelis Tahkim ini secara otomatis akan dipimpin oleh Rais 'Aam PBNU. Demikian disampaikan H Faisal Saimima usai memaparkan hasil sidang Komisi Organisasi dalam Sidang Pleno Munas Konbes NU 2023 yang digelar di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta, Selasa (19/9/2023). "Rais 'Aam PBNU adalah Ex Officio Ketua Majelis Tahkim, jadi (Ketua Majelis Tahkim) sudah tidak dicari lagi," ungkap H Faisal.

"Rais 'Aam PBNU adalah Ex Officio Ketua Majelis Tahkim, jadi (Ketua Majelis Tahkim) sudah tidak dicari lagi," ungkap H Faisal. Baca Juga Pengurus NU Dilarang Rangkap Jabatan di Organisasi Politik Dia menjelaskan, susunan pengurus Majelis Tahkim NU ini terdiri dari ketua (merangkap anggota) yang secara otomatis diisi oleh Rais 'Aam PBNU. 

Selain ketua, Majelis Tahkim itu juga akan diisi oleh wakil ketua (merangkap anggota). "Majlis Tahkim itu (berfungsi) menyelesaikan perselisihan internal antara pengurus dengan kepengurusan," jelasnya. 

Dia mencontohkan, saat ini H Faisal Saimima menjabat menjabat Wakil Sekjen PBNU, tanpa sepengetahuannya, tiba-tiba jabatan itu dipindahkan. Menurutnya, ketika terjadi masalah seperti ini boleh diajukan ke Majelis Tahkim. "Saya bisa ke Majelis Tahkim. Kenapa saya dipindahkan ke 'seksi konsumsi'? padahal tidak ada rapat," tambahnya. Argumentasi yang disampaikan ke Majelis Tahkim, sambung H Faisal, ketika akan ada pergantian pengurus atau PAW (Pengurus Antar Waktu), mestinya dilakukan melalui rapat harian syuriah tanfidziyah PBNU.

"Saya dipindahkan ke 'seksi konsumsi' ini kenapa? Nah, (kasus seperti ini) bisa ke Majelis Tahkim," ujarnya. H Faisal kemudian mencontohkan kasus di daerah. Misalnya, kata dia, si A adalah seorang pengurus harian partai politik. 

Kemudian dia mencalonkan diri menjadi Ketua PCNU dan kebetulan terpilih dalam konferensi cabang (Konfercab). "Lalu dia mengajukan SK ke PBNU dan PBNU SK-kan tapi tidak tahu bahwa dia ini pengurus harian partai," katanya. 

Beberapa waktu kemudian, kata dia, calon ketua PCNU yang tidak terpilih dalam konfercab sebelumnya itu mendatangi Majelis Tahkim. Dia kemudian melaporkan bahwa ketua PCNU yang sudah di-SK-kan itu adalah pengurus harian partai politik. 

"Alat buktinya apa? ternyata si A yang terpilih itu dia punya SK dari partai politik," imbuhnya. Majelis Tahkim, sambungnya, akan melakukan persidangan terkait kasus ini. 

Jika semua alat bukti lengkap, Majelis Tahkim tentu akan memberhentikan ketua terpilih yang menjadi pengurus partai politik itu. "Bahwa nanti kemudian ada konferensi ulang, itu nanti karena Majelis Tahkim hanya memutuskan perselisihannya, tidak memutuskan teknis konferensinya," tandasnya. 

H Faisal berharap, dengan adanya Majelis Tahkim NU ini, semua perselisihan yang terjadi dalam internal Nahdlatul Ulama diselesaikan secara internal, tidak di pengadilan.

Sumber : NUOnline

Dawuh Kyai : Sholawat Nabi

Perintah Sholawat pada Baginda Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam BERSIFAT MUTLAK,

yakni tidak terikat waktu dan tempat dan tidak mengikat cara pelaksanaannya; perorangan atau secara jamaah. Maka, setiap mukmin boleh bershalawat kapanpun saja dan di manapun saja kecuali di wc. dan di tempat-tempat kotor lainnya.

Kaum mukminin yang bershalawat secara bersama sama pada suatu hari yang diduga bertepatan dengan hari kelahiran Nabi tidak perlu ditanya apa dalilnya. Justru mereka yang mengharamkannya yang harus menjawab pertanyaan: Apa dasarmu?

- KH. Afifuddin Muhajir -

Tuesday, 19 September 2023

Penyimpangan Akidah Firqah Mujassimah


Akidah Firqah Mujassimah yang mengatakan Kalam Allah dengan huruf dan suara maupun bahasa maka secara tidak langsung mereka mengingkari Kalam Allah BERBEDA atau TIDAK SERUPA dengan kalam makhluk. 

Akidah Firqah Mujassimah yakni orang-orang yang mengatakan danmeyakini kalam Allah bukan makhluk adalah dengan huruf dan suara maupun bahasa merupakan akidah yang sesat dan menyesatkan karena secara tidak langsung mereka mengingkari kalam allah berbeda atau tidak serupa dengan kalam makhluk.

Allah Ta'ala berbeda atau tidak serupa dari makhluk-nya dari sisi apapunsebagaimana firman Allah Ta'ala "Laisa Kamitslihi Syaiun" (QS. Asy Syura [42] : 11).

Sifat kalam pada makhluk berupa huruf-huruf, suara dan bahasa. Sedangkan Kalam Allah bukan huruf, bukan suara dan bukan bahasa.

Pengertian Al Qur'an itu Kalamullah bukan Makhluk adalah mengacu pada al-Kalam adz-Dzati yakni sifat kalam Allah yang qadim/kekal yang bukan huruf, bukan suara dan bukan bahasa.

Sifat kalam Allah yakni al-Kalam adz-Dzati adalah qadim, tidak terpengaruh ruang dan waktu, tanpa permulaan dan tanpa penghabisan serta tidak menyerupai sifat kalam yang ada pada makhluk. 

Sedangkan huruf, suara maupun bahasa adalah makhluk dan terpengaruh atau diliputi oleh ruang dan waktu. Imam Abu Hanifah (W 150 H) mengatakan,

ونحن نتكلم بالآلات والحروف والله تعالى يتكلم بلا ءالة ولا حروف والحروف مخلوقة وكلام الله تعالى غير مخلوق

“Kami berbicara dengan alat dan huruf sedangkan Allah Ta’ala berbicara tanpa alat dan huruf, sedangkan huruf itu makhluk dan kalamullah bukanlah makhluk “. (Disebutkan dalam kitab al-Fiqh al-Akbar,al-Washiyyah, al-Alim w al-Muta’allim dan lainnya) 

Al-Imam al-Isfiraini (W 418 H) mengatakan,

وأن تعلم أن كلام الله تعالى ليسى بحرف ولا صوت لأن الحرف والصوت يتضمنان جواز التقدم والتأخر، وذلك مستحيل على القديم سبحانه

“Dan hendaknya kamu mengetahui bahwa sesungguhnya kalam Allah itu tidaklah dengan huruf dan suara karena huruf dan suara mengandung bolehnya pendahuluan dan pengakhiran, yang demikian itu mustahil bagi Allah yang Maha Qadim “. (at-Tafsir fiddin : 102) 

allah ta'ala berfirman dalam surat az-zukhruf [43] ayat 3 dan 4 bahwa al qur'an dalam bahasa arab dalam induk al-kitab (lauh mahfuzh) dan tentulah bahasa arab dan induk al-kitab (lauh mahfuzh) adalah makhluk !!!

Allah Ta'ala berfirman yang artinya, “Sesungguhnya kami menjadikan Al-Qur’an dalam bahasa Arab supaya kamu memahami(nya). Dan sesungguhnya (bacaan) Al-Qur’an (dalam bahasa Arab) itu dalam induk Al-Kitab (Lauh Mahfuzh) di sisi kami, adalah benar-benar tinggi (nilainya) dan amat banyak mengandung hikmah.” (QS. Az-Zukhruf [43]: 3-4) 

Begitupula Kalam al-Lafdzi (al-Lafzh al-Munazzal) yakni bacaan Al-Qur’an dalam bahasa Arab dalam pengertian lafazh-lafazh yang diturunkan, yang ditulis dengan tinta di antara lebaran-lembaran kertas (al-Maktub Bain al-Masha-hif), yang dibaca dengan lisan (al-Maqru’ Bi al-Lisan), dan dihafalkan di dalam hati (al-Mahfuzh Fi ash-Shudur) yang tersusun dari huruf-huruf, serta berupa suara saat dibaca maka tentulah huruf, suara maupun bahasa adalah makhluk.

Pokok permasalahan fiirqah mujassimah adalah mereka belum dapat membedakan antara), al qur'an itu kalamullah bukan Makhluk yakni Sifat kalam Allah yang qadim / kekal (al-Kalam adz-Dzati) yang bukan huruf, bukan suara dan bukan bahasa, DENGAN Bacaan Al Qur’an (al-Lafzh al-Munazzal) dalam bahasa Arab. 

Kalam Allah dengan berbagai bahasa, seperti BAHASA NON-Arab yang diterima oleh nabi-nabi Bani Israil dan Al Qur'an, kalam Allah dalam BAHASA ARAB yang diterima oleh Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam adalah IBARAT atau SIMBOL daripada al-Kalam adz-Dzati yakni sifat kalam Allah yang qadim / kekal yang bukan huruf-huruf, bukan suara dan bukan bahasa SUPAYA dapat DIPAHAMI oleh ciptaanNya.

Jika tidak dibedakan, lalu apakah setiap orang yang mendengarbacaan al-Qur’an akan mendapatkan gelar “Kalimullah” sebagaimana Nabi Musa alaihi salam yang telah mendapat gelar “Kalimullah”. 

Tentu hal ini menjadi rancu dan tidak dapat diterima. Padahal, Nabi Musa mendapat gelar “Kalimullah” adalah karena beliau pernah mendengar dan memahami al-Kalam adz-Dzati yang bukan berupa huruf, bukan suara dan bukan bahasa. 

Seandainya setiap orang yang mendengar bacaan al-Qur’an mendapat gelar “Kalimullah” seperti gelar Nabi Musa alaihi salam maka berarti tidak ada keistimewaan sama sekali bagi Nabi Musa alaihi salam yang telah mendapatkan gelar “Kalimullah” tersebut. 

Begitupula dalam al-Qur’an Allah Ta’ala berfirman yang artinya: “Dan apa bila seseorang dari orang-orang musyrik meminta perlidungan darimu (wahai Muhammad) maka lindungilah ia hingga ia mendengar Kalam Allah”. (QS. at-Taubah [9] : 6). 

Dalam ayat ini Allah memerintahkan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam untuk memberikan perlidungan kepada seorang kafir musyrik yang diburu oleh kaumnya, jika memang orang musyrik ini meminta perlindungan darinya. 

Artinya, Orang musyrik ini diberi keamanan untuk hidup di kalangan orang-orang Islam hingga ia mendengar Kalam Allah. 

Setelah orang musyrik tersebut diberi keamanan dan mendengar Kalam Allah, namun ternyata ia tidak mau masuk Islam, maka ia dikembalikan ke wilayah tempat tinggalnya. 

Dalam ayat ini, yang dimaksud bahwa orang musyrik tersebut “mendengar Kalam Allah” adalah mendengar bacaan kitab al-Qur’an yang berupa lafazh-lafazh dalam bentuk bahasa Arab (al-Lafzh al-Munazzal), bukan dalam pengertian mendengar al-Kalam adz-Dzati. 

Sebab jika yang dimaksud mendengar al-Kalam adz-Dzati maka berarti sama saja antara orang musyrik tersebut dengan Nabi Musa yang telah mendapatkan gelar “Kalimullah”. 

Dan bila demikian maka berarti orang musyrik tersebut juga mendapatkan gelar “Kalimullah”, persis seperti Nabi Musa. Tentunya hal ini tidak bisa dibenarkan.

Begitupula Allah Ta'ala berfirman: “Inama Amruhu Idza Arada Sya’ian An Yaqula Lahu Kun Fayakun” (QS. Yasin: 82). 

Makna ayat ini bukan berarti bahwa setiap Allah berkehendak menciptakan sesuatu, maka dia berkata: “Kun”, dengan huruf “Kaf” dan “Nun” yang artinya “Jadilah…!”. 

Karena seandainya setiap berkehendak menciptakan sesuatu Allah harus berkata “Kun”, maka dalam setiap saat perbuatan-Nya tidak ada yang lain kecuali hanya berkata-kata: “kun, kun, kun…”. 

Hal ini tentu mustahil atas Allah. Karena sesungguhnya dalam waktu yang sesaat saja bagi kita, Allah Maha Kuasa untuk menciptakan segala sesuatu yang tidak terhitung jumlanya. 

Adapun sifat perbuatan Allah sendiri (Shifat al-Fi’il) tidak terikat oleh waktu. Allah menciptakan segala sesuatu, sifat perbuatan-Nya atau sifat menciptakan-Nya tersebut tidak boleh dikatakan “di masa lampau”, “di masa sekarang”, atau “di masa mendatang”. Sebab perbuatan Allah itu azali, tidak seperti perbuatan makhluk yang baharu. 

Seandainya Kalam Allah merupakan bahasa, tersusun dari huruf-huruf, dan merupakan suara, maka berarti sebelum Allah menciptakan bahasa Dia diam; tidak memiliki sifat Kalam, dan Allah baru memiliki sifat Kalam setelah Dia menciptakan bahasa-bahasa tersebut. Bila seperti ini maka berarti Allah baharu, persis seperti makhluk-Nya, karena Dia berubah dari satu keadaan kepada keadaan yang lain. Tentu hal seperti ini mustahil atas Allah. 

Dengan demikian makna yang benar dari ayat dalam QS. Yasin: 82 diatas adalah sebagai ungkapan bahwa Allah maha Kuasa untuk menciptakan segala sesuatu tanpa lelah, tanpa kesulitan, dan tanpa ada siapapun yang dapat menghalangi-Nya. Dengan kata lain, bahwa bagi Allah sangat mudah untuk menciptakan segala sesuatu yang Ia kehendaki, sesuatu tersebut dengan cepat akan terjadi, tanpa ada penundaan sedikitpun dari waktu yang Ia kehendakinya. 

Begitupula kelak, Allah Ta'ala akan menghisab seluruh hamba-Nya dari bangsa manusia dan jin. Allah Ta'ala akan memperdengarkan Kalam-Nya kepada setiap orang dari mereka. 

Mereka akan memahami dari kalam Allah yang qadim (al-Kalam Adz-Dzati) yakni pertanyaan-pertanyaan tentang segala apa yang telah mereka kerjakan, segala apa yang mereka katakan, dan segala apa yang mereka yakini ketika mereka hidup di dunia. 

Mereka akan memahami dari kalam Allah yang Qadim (al-Kalam Adz-Dzati) yang bukan huruf dan suara sehingga tidak diperlukan penterjemah, Rasulullah bersabda: “setiaporang akan Allah perdengarkan Kalam-Nya kepadanya (menghisabnya) pada hari kiamat, tidak ada PENTERJEMAH antara dia dengan Allah”. (HR. Bukhari 6058 atau Fathul Bari 6539, 6540)

Jadi kelak ketika dihisab, mereka akan memahami kalam allah bukan huruf dan suara sehingga tidak diperlukan penterjemah dan tidak dipengaruhi dimensi ruang dan waktu. 

Allah Azza wa Jalla akan menghisab seluruh hamba-Nya dalam waktu yang sangat singkat sebagaimana firmanNya yang artinya “dan Dia Allah yang menghisab paling cepat (QS Al An’am [6]:62] 

Seandainya Allah menghisab mereka dengan suara, susunan huruf, dan dengan bahasa, maka Allah akan membutuhkan waktu beratus-ratus ribu tahun untuk menyelesaikan hisab tersebut, karena makhluk Allah sangat banyak. 

Jelaslah seandainya Kalam Allah berupa suara, huruf, dan bahasa maka dalam menghisab semua makhluk tersebut Allah akan membutuhkan kepada waktu yang sangat panjang. Karena dalam penggunaan huruf-huruf dan bahasa jelas membutuhkan kepada waktu. 

Huruf berganti huruf, kemudian kata menyusul kata, dan demikian seterusnya. Dan bila demikian maka maka berarti Allah bukan sebagai Asra’ al-Hasibin (Penghisab yang paling cepat), tapi sebaliknya; Abtha’ al-Hasibin (Penghisab yang paling lambat). Tentunya hal ini mustahil bagi Allah. 

para ulama terdahulu telah menjelaskan bahwa sifat kalam allah serupa dengan sifat maha melihat, maha mendengar, maha kuasa adalah sifat dzatiyah bukan sifat fi'liyah.

Contohnya Imam Abu Hanifah (W 150H) dalam kitab Al Fiqhul Akbar hal. 16 mengatakan 

اﻣﺎ اﻟﺬاﺗﻴﺔ ﻓﺎﻟﺤﻴﺎﺓ ﻭاﻟﻘﺪﺭﺓ ﻭاﻟﻌﻠﻢ ﻭاﻟﻜﻼﻡ ﻭاﻟﺴﻤﻊ ﻭاﻟﺒﺼﺮ ﻭاﻻﺭاﺩﺓ 

Adapun sifat DZATIYAH diantaranya : Hidup, kuasa, ilmu, KALAM, mendengar, melihat dan berkehendak. 

Sifat Kalam Allah adalah sifat dzatiyah yakni tidak terkait ruang dan waktu. 

Imam Ahmad bin Hanbal (W 241H) terkait sifat Kalam Allah berkata, 

ﻭﻛﺎﻥ ﻳﻘﻮﻝ ﺇﻥ ﻟﻠﻪ ﻋﺰ ﻭﺟﻞ ﻛﻼﻣﺎ ﻫﻮ ﺑﻪ ﻣﺘﻜﻠﻢ ﻭﺫﻟﻚ ﺻﻔﺔ ﻟﻪ ﻓﻲ ﺫاﺗﻪ 

Sesungguhnya Allah azza wa jalla memiliki SIFAT KALAM. Dia dengan sifat itu adalah yang berkalam dan yang demikian adalah SIFAT bagi-Nya di dalam Dzat Nya. (al-Khallal, al-‘Aqîdah, 105). 

Imam Ahmad bin Hanbal di atas menjelaskan bahwa sifat Kalam Allah adalah

صفة لَهُ فِي ذَاته

SIFAT bagi-Nya dalam Dzat-Nya atau Sifat DZATIYAH. 

Sifat DZATIYAH adalah QADIM yakni tidak berlaku zaman atau tidak dipengaruhi oleh ruang dan waktu 

Para ulama menjelaskan bahwa 

الصفات الذاتية هي التي لم يزل ولا يزال متصفاً بها 

Sifat DZATIYAH adalah sifat yang MELEKAT atau TIDAK TERPISAH dari diri-Nya sebagaimana yang telah Dia sifatkan. 

Sedangkan sifat FI'LIYAH adalah sifat yang dinisbatkan pada Allah Ta'ala tetapi ia MELEKAT pada MAKHLUK dalam arti PERUBAHAN terjadi pada diri makhluk, bukan pada diri Allah Ta'ala. 

Para ulama menjelaskan lebih lanjut bahwa perbedaan antara sifat DZATIYAH dan sifat FI'LIYAH adalah kelazimannya. 

Dikatakan sifat DZATIYAH itu jika melazimkan Allah tidak boleh disifati dengan sifat lawannya. 

Contoh sifat DZATIYAH hayyun (hidup), lawannya adalah mati, maka Allah tidak boleh disifati dengan sifat mati. 

Dikatakan sifat FI'LIYAH itu jika melazimkan Allah boleh disifati dengan lawannya, Contoh sifat FI'LIYAH Allah menghidupkan mahluk, lawannya adalah mematikan mahluk. Allah boleh dikatakan mematikan mahluk. Maka menghidupkan mahluk adalah sifat FI'LIYAH. 

Begitupula sifat kalam Allah adalah sifat DZATIYAH bukan FI'LIYAH karena Allah tidak boleh disifati dengan sifat lawan dari kalam (berbicara), yaitu As Sukut (DIAM dari BICARA)

Imam Abu Al Hasan Al Asy'ari berkata di dalam kitab Al Ibanah hal 66 juz 1 : 

ﻳﺴﺘﺤﻴﻞ ﺃﻥ ﻳﻮﺻﻒ ﺑﺨﻼﻑ اﻟﻜﻼﻡ ﻣﻦ اﻟﺴﻜﻮﺕ ﻭاﻵﻓﺎﺕ، 

MUSTAHIL Rabb kita disifati dengan sifat yang menyalahi kalam seperti DIAM dari BICARA dan penyakit bisu. 

Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh dalam fatwa nomor 09 tahun 2014 dalam bidang aqidah poin C menetapkan, 

C. Mengimani bahwa kalamullah itu berhuruf dan bersuara adalah sesat dan menyesatkan 

Fatwa tersebut dapat dibaca pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2016/02/fatwa-mpu-aceh-nomor-9-tahun-2014-tentang-pemahaman-pemikiran-pengamalan-dan-penyiaran-agama-islam-di-aceh.pdf

KERUSAKAN dalam perkara I'TIQOD atau AKIDAH yang terjadi pada zaman NOW (sekarang) salah satu penyebabnya adalah karena masih ada saja yang meneruskan dan menyebarluaskan akidah ulama rujukan bagi firqah Wahabi, Ibnu Taimiyah (W. 728H) yang mana Beliau sendiri sudah bertaubat dan bahkan mereka mengingkari pertaubatan Ibnu Taimiyah.

Contohnya ulama rujukan bagi firqah Wahabi, Ibnu Taimiyah (W. 728H) sebelum bertaubat berkata dan meyakini bahwa Allah berbicara dengan huruf dan suara dan Allah KADANG BERBICARA dan KADANG DIAM. (lihat Risalah fi Shifat al-Kalam 51, 54, Majmu’ al-Fatawa 6/160, 234, 5/556-557).

Apakah Al Qur'an dengan ayat terakhir dalam bahasa Arab yang diturunkan kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sampai dengan saat ini atau zaman NOW (sekarang) BERARTI Allah Ta'ala DIAM atau TIDAK berkalam ?

Begitupula dengan mengatakan dan meyakini bahwa Allah kadang berbicara dan kadang diam atau mengatakan dan meyakini Allah Ta'ala dahulu berbicara dengan Nabi Musa dan sekarang diam maka bertentangan dengan Allah Ta'ala bersifat Qadim yakni Allah Ta'ala tidak terikat dengan ruang dan waktu, tidak berlaku bagi-Nya apakah itu masa lalu, kini atau akan datang, Allah SENANTIASA berkalam tidak pernah diam karena Kalam Allah kekal dan tidak pernah terputus sebagaimana contoh yang dijelaskan oleh Syeikh Nawawi al - Bantani dalam kitab Nur adz - Dzolam yakni kitab syarah dari kitab Aqidatul Awam, Syeikh Ahmad Marzuki Al Maliki (W 1281H) 

***** awal kutipan *****

وقوله استمر أى دام كلامه تعالى ولا ينقطع

Kalam Allah Ta'ala adalah KEKAL dan TIDAK akan pernah TERPUTUS . 

وليس معنى وكلم الله موسى تكليما انه ابتدأ الكلام له بعد ان كان ساكتا فبعد ما كلمه انقطع كلامه وسكت تنزه الله ذلك تنزها عظيما

Adapun makna Firman Allah, dan Allah telah berfirman kepada Musa dengan sebenar - benarnya berfirman maka BUKAN berarti bahwa Allah mengawali Firman-Nya kepada Musa setelah Dia DIAM, kemudian setelah Dia mengfirmankan Firman-Nya kepadanya maka Firman-Nya TERPUTUS dan DIAM lagi. Maha Suci Allah dari demikian itu . 

وإنما المعنى أنه تعالى بفضله أزال المانع عن موسى عليه السلام وخلق له سمعا وقوة حتى أدرك به كلامه القديم ثم منعه بعد وروده إلى ما كان عليه قبل سماع كلامه وهذا معنى كلامه تعالى لأهل الجنة

Adapun makna firman-Nya itu adalah bahwa sesungguhnya Allah telah MENYINGKAPKAN TABIR dari Musa 'alaihis salam dan telah menciptakan sifat mendengar dan mampu baginya (TAJALLI Allah pada kemampuan pendengaran Nabi Musa) sehingga ia dapat memahami Firman-Nya yang qadim, kemudian Dia menjadikan TABIR lagi setelah Firman-Nya tersampaikan sebelum Musa mendengar Firman-Nya. Demikian ini adalah makna Kalam atau Firman Allah yang serupa kepada para penduduk surga .

***** akhir kutipan *****

Kitab Aqidatul Awam karya Syeikh Ahmad Marzuki Al Maliki (W 1281H) adalah contoh kitab yang menjelaskan tentang akidah - akidah yang wajib diketahui bagi setiap mukallaf yang beragama Islam, baligh dan berakal sebagaimana yang dikabarkan pada https://palontaraq.id/2021/07/08/mengenal-pengarang-isi-dan-terjemah-aqidatul-awwam/

Jadi makna 

"Allah Ta'ala telah berfirman kepada Nabi Musa dengan sebenar - benarnya berfirman" 

adalah 

Allah Ta'ala telah MENYINGKAPKAN TABIR dari Nabi Musa 'alaihis salam dan telah menciptakan sifat mendengar dan mampu baginya (TAJALLI Allah pada kemampuan pendengaran Nabi Musa) sehingga ia dapat memahami Firman-Nya yang qadim, kemudian Dia menjadikan TABIR lagi setelah Firman-Nya tersampaikan sebelum Musa mendengar Firman-Nya. 

Jadi Nabi Musa alaihissalam atau SIAPAPUN yang dikehendaki Allah dapat MENDENGAR kalam Allah secara LANGSUNG bukan berarti Allah Ta'ala mengawali kalam-Nya setelah Dia DIAM dan lalu setelah berkalam lalu DIAM lagi karena Allah Ta'ala Qadim, tidak dipengaruhi oleh ruang dan waktu.

Pada saat mendengar kalam Allah maka PERUBAHAN yang terjadi yakni TERSINGKAP dan TERTUTUP tabir adalah pada diri makhluk (manusia) yang dipengaruhi oleh RUANG dan WAKTU bukan pada diri Allah Ta'ala.

Begitupula pada hakikatnya sampainya kalam Allah kepada manusia bukanlah secara TAJAFI (perpindahan) namun TAJALLI yakni tersingkapnya TABIR atau HIJAB (mukasyafah) sehingga manusia dengan bahasanya masing-masing dapat mendengar dan memahami kalam Allah yang SENANTIASA berkalam karena Dzat Allah "tidak melahirkan" atau "tidak mengeluarkan" sesuatu.

Imam al-Sanusi mengatakan adalah sebuah kemustahilan bila Dzat Allah melahirkan makhluk karena dalam surat al-Ikhlas [112] ayat 3 dinyatakan bahwa Allah Ta'ala "tidak melahirkan dan tidak pula dilahirkan"

Beliau menjelaskan bahwa kalimat “tidak melahirkan” dalam surat tersebut maksudnya adalah Dzat Allah yang Maha Mulia tidak mengeluarkan eksistensi apa pun dari diri-Nya. (Abu Abdillah al-Sanusi, Syarh Umm al-Barahin, 24). 

Jadi Nabi Musa dan para kekasih Allah lainnya dengan bahasanya mereka masing-masing dapat mendengar dan memahami kalam Allah yang SENANTIASA berkalam karena kalam Allah sampai kepada manusia bukanlah secara TAJAFI (perpindahan) namun TAJALLI

Segala sesuatu dari sisi Allah Ta'ala namun terjadinya secara TAJALLI bukan secara TAJAFI yakni bukan secara perpindahan

TAJAFI adalah perpindahan yakni transformasi satu wujud ke wujud lain dengan mengurangi atau menyebabkan hilangnya wujud asli. 

Sedangkan, TAJALLI adalah transformasi satu wujud ke wujud lain tanpa mengubah atau mereduksi keaslian wujud pertama. 

Di dalam Al Qur'an, proses TAJAFI dicontohkan di dalam ayat,

تَتَجَافَىٰ جُنُوبُهُمْ عَنِ ٱلْمَضَاجِعِ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ خَوْفًا وَطَمَعًا وَمِمَّا رَزَقْنَٰهُمْ يُنفِقُونَ

"TATAJAFA junubuhum 'an al-madhaji' yad'una Rabbahum khaufan wa thama'an wa mimma razaqnahum yunfiqun" 

"Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, sedang mereka berdoa kepada Tuhannya dengan rasa takut dan harap, dan mereka menafkahkan sebahagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka" (QS as-Sajadah [32]:16). 

Maksud ayat ini ialah orang yang sedang meninggalkan tempat tidurnya menuju ke tempat lain untuk berdoa. Setelah pindah (tajafi) dari tempat semula ke tempat lain, maka tempat semula menjadi kosong.

Sedangkan, proses TAJALLI dicontohkan di dalam ayat, 

فَلَمَّا تَجَلَّىٰ رَبُّهُۥ لِلْجَبَلِ جَعَلَهُۥ دَكًّا وَخَرَّ مُوسَىٰ صَعِقًا ۚ فَلَمَّآ أَفَاقَ قَالَ سُبْحَٰنَكَ تُبْتُ إِلَيْكَ وَأَنَا۠ أَوَّلُ ٱلْمُؤْمِنِينَ

Falamma TAJALLA Rabahu lil jabali ja'alahu dakkan wa kharra Musa sha'iqan. Falamma afaqa qala subhanaka tubtu ilaika wa ana awwalul mu'minin

"Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata: "Mahasuci Engkau, aku bertobat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman" (QS al-A’raf [7]:143). 

Maksud ayat ini ialah ketika Allah Ta'ala menampakkan (TAJALLI) di atas gunung, bukan berarti Allah berpindah ke suatu tempat.

Begitupula proses penciptaan makhluk oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala terjadi secara TAJALLI meskipun segala sesuatu diciptakan Allah dari diri-Nya sendiri, tetapi tidak akan pernah KEBERADAAN makhluk mereduksi, membebani atau mempengaruhi diri-Nya karena KEBERADAAN makhluk-Nya melalui proses TAJALLI. 

Begitupula dengan sabda Rasulullah,

كان الله ولا مكان وهو الآن على ما عليه كان

"Allah ADA dan TIDAK ADA sesuatu apapun SELAIN Dia" (HR. Bukhari 2953 atau Fathul Bari 3191 / 3192)  

MENUNJUKKAN bahwa KEBERADAAN wujud SELAIN Allah TIDAK akan MEMPENGARUHI keberadaan Allah.

Contohnya KEBERADAAN Arsy-Nya tidak akan mempengaruhi KEBERADAAN Allah yakni Allah TINGGI di atas Arsy namun TIDAK BERSENTUH dan TIDAK BERJARAK dengan Arsy-Nya sebagaimana yamg disampaikan oleh Imam Baihaqi dalam al-Asmâ’ wa as-Shifât, juz 2, halaman 308 

وَالْقَدِيمُ سُبْحَانَهُ عَالٍ عَلَى عَرْشِهِ لَا قَاعِدٌ وَلَا قَائِمٌ وَلَا مُمَاسٌّ وَلَا مُبَايَنٌ عَنِ الْعَرْشِ

“Allah Yang Maha Qadim, TINGGI di atas Arsy namun TIDAK DUDUK dan TIDAK BERDIRI, TIDAK MENYENTUH dan TIDAK BERJARAK atau TIDAK TERPISAH dari Arsy.

Begitupula dengan sabda Rasulullah yakni, "Allah ADA dan TIDAK ADA sesuatu apapun SELAIN Dia" TENTU termasuk TANPA arah maupun tempat MENUNJUKKAN Allah maujud bila makan artinya Allah ADA tanpa arah maupun tempat.

Firqah MUJASSIMAH terjerumus DURHAKA ('Aashin) kepada Allah karena mereka "menjauhkan" Allah dengan mengitsbatkan atau menetapkan arah maupun tempat di atas Arsy AKIBAT mereka memaknai BA'IN artinya TERPISAH dari makhluk dalam makna atau pengertian jarak dan batas. 

Padahal mereka dapat memeriksa pada kamus bahasa Arab dan cara paling mudah pada zaman NOW (sekarang) adalah menggunakan google translate dan ketik,

بائن من خلقه. 

dan artinya adalah "Dibedakan dari ciptaan-Nya"

Syekh Ibnu Khaldun (W. 808 H) menjelaskan bahwa pengertian MUBAYANAH pada hak Allah Ta'ala yang telah disepakati oleh jumhur ulama Salaf maupun Khalaf

وأمّا المعنى الآخر للمباينة، فهو المغايرة والمخالفة

Adapun makna keterpisahan (mubayanah) bagi Allah Ta'ala dengan makhluk adalah perbedaan dan ketidaksamaan

فيقال: البارئ مباين لمخلوقاته في ذاته وهويّته ووجوده وصفاته

Maka dikatakan bahwa Allah berbeda dari makhluk-makhluk-Nya dalam hal Dzat, hakikat, keberadaan dan sifat-sifatnya.

Jadi makna KETERPISAHAN (MUBAYANAH) bagi Allah Ta'ala dengan makhluk yang telah disepakati oleh jumhur ulama adalah BA'IN artinya TERPISAH dalam makna atau pengertian BERBEDA atau TIDAK SERUPA dari makhluk-makhluk-Nya dari sisi apapun sebagaimana firman Allah Ta'ala "Laisa Kamitslihi Syaiun" (QS. Asy Syura [42] : 11).

Contohnya kalau manusia DEKAT BERSENTUH dan JAUH BERJARAK.

Sedangkan Allah Ta'ala dengan Arsy-Nya maupun dengan SELURUH makhluk Nya DEKAT tidak bersentuh dan JAUH tidak berjarak.

Allah Ta'ala berfirman yang artinya, "Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat (QS Al Baqarah [2]: 186)) 

Jadi proses penciptaan makhluk oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala terjadi secara TAJALLI meskipun segala sesuatu diciptakan Allah dari diri-Nya sendiri, jika diibaratkan seribu cermin di depan suatu benda, benda itu akan terlihat sebanyak seribu tanpa ada reduksi atau pengurangan sedikit pun dari benda asli.) 

Inilah yang difirmankan Allah Ta'ala dalam Al Qur'an yang artinya, "Dan tidak ada sesuatupun melainkan pada sisi Kami-lah khazanahnya; dan Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran yang tertentu (QS al-Hijr [15]:21).

Jadi segala sesuatu dari khazanahnya yakni perbendaharaannya dan diturunkan-Nya sesuai dengan "ukuran yang tertentu" yang ditafsirkan oleh Imam Suyuthi dalam tafsir Jalalain adalah

على حسب المصالح.

Sesuai dengan kepentingannya atau sesuai dengan peruntukannya ll) 


Contoh segala sesuatu dari sisi Allah Ta'ala difirmankan oleh Allah Ta'ala pada ayat berikutnya yang artinya,


Dan Kami telah meniupkan angin untuk mengawinkan (tumbuh-tumbuhan) dan Kami turunkan hujan dari langit, lalu Kami beri minum kamu dengan air itu, dan sekali-kali bukanlah kamu yang menyimpannya (QS al-Hijr [15]:22).


Contoh lain, jika ingin mengubah TAJAFI menjadi TAJALLI dalam kehidupan sosial dengan mencontoh sifat-sifat Allah Ta'ala yakni Dia SENANTIASA memberi dengan penuh perhatian dan tanpa pamrih kepada ciptaan-Nya yang BANYAK namun Allah Ta'ala tetap seperti semula. 


Ilustrasinya, jika seseorang mencontoh sifat Tuhan sebagai Maha Pengasih Maha Pemberi, proses TAJALLI akan muncul ke dalam diri seseorang.  


Dalam kehidupan sehari-hari jika seseorang akan dimurahkan rezekinya, ia harus rajin memberi dengan sikap penuh ketulusan atau tanpa pamrih. 


Cara demikian ini bisa berubah dari semula TAJAFI (perpindahan) rezeki menjadi proses TAJALLI yang akan mendapatkan balasan yang lebih baik dari Allah Ta'ala


Seorang yang pelit tidak akan bertambah rezekinya karena akalnya lebih dominan ketimbang kasih sayangnya.


Sedangkan Tuhan SENANTIASA memberi tanpa pernah merasa kekurangan.


Jadi keikhlasan selalu mengundang TAJALLI.  


Inilah yang difirmankan Allah Ta'ala dalam Al Quran yang artinya, "Apa yang di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal. Dan sesungguhnya Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan." (QS an-Nahl [16]: 96).


Jadi amal kebaikan yang berubah dari semula TAJAFI (perpindahan) yakni semula lenyap dari sisi kita berubah menjadi TAJALLI yakni menjadi kekal di sisi Allah adalah amal kebaikan yang "melahirkan" DIRI SEJATI atau dalam bahasa jawa disebut INGSUN SEJATI atau PANCER yang wujudnya seperti diri kita, seperti di cermin tetapi PANCER DIRI itu selalu muda tidak pernah tua, dan selalu bercahaya, anggun mempesona maka di surga itu tidak ada yang tua, semuanya muda


DIRI SEJATI dinamakan oleh sultannya Wali Allah (Kekasih Allah), Syekh Abdul Qadir Al Jilani qaddasallahu sirrahu dengan sebutan "Thiflul Ma'ani" (bayi ma'nawi atau jabang sukma). Dinamakan demikian karena ia lahir dari sukma yang suci (al ma'nawiyyah al qudsiyah)


Berikut kutipan penjelasan Syekh Abdul Qadir Al Jilani qaddasallahu sirrahu dalam kitab Sirrul Asrar (rahasia di balik rahasia) bahwa Thiflul Ma'ani atau DIRI SEJATI yang bersama Allah dan menyaksikan Allah karena badan dan ruh jasmani BUKAN MAHRAMNYA bagi Allah Ta'ala 


***** awal kutipan *****


والشابعة أن إطلاقه على سبيل المجاز باعتبار تعلقه بالبدن ، وتمثيله بصورة البشر بناء على أن إطلاقه عليه لأجل ملاحته لا لأجل استصغاره 


Penggunaan nama Thiflul Ma'ani (untuk Ruh Kudsi) ini sifatnya majasi (metafora) ditinjau hubungan eratnya (ruh qudsi). Adapun ia ditamsilkan dengan rupa bayi lantaran keindahannya, bukan berarti Roh Qudsi kecil secara fisik seperti anak bayi.


وبالنظر إلى بداية حاله ، وهو الإنسان الحقيقي ، لأن له أنسية مع الله تعالى . 


Dan ditinjau dari awal adanya, Ruh Qudsi ini adalah hakikat manusia (manusia sejati) karena dia memiliki keintiman (unsiyyah) berhubungan langsung dengan Allah Ta'ala.


فالجسم والجسماني ليس محرما له لقوله صلى الله عليه وسلم  


Sedangkan badan dan ruh jasmani BUKAN MAHRAMNYA bagi Allah Ta'ala berdasarkan hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam,


لي مع الله وقت لا يسع فيه ملك مقرب ولا نبي ، مرسل


"Aku memiliki waktu bersama Allah, dimana Malaikat terdekat dan Nabi yang diutus pun tidak memiliki kesempatan itu"


والمراد من النبي المرسل بشرية النبي


Yang dimaksud "Nabi yang diutus" (yang tidak memiliki kesempatan bersama Allah sebagaimana hadits di atas) adalah dimensi basyariyahnya (kemanusiaannya) dari Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam.


ومن الملك المقرب روحانيته التي خلقت من نور الجبروت ، كما أن الملك من نور الجبروت فلا يدخل في نور اللاهوت


Adapun yang dimaksud "Malaikat terdekat" (yang tidak memiliki kesempatan bersama Allah sebagaimana hadits di atas) adalah ruh ruhani dari Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam yang diciptakan dari cahaya Jabarut sebagaimana malaikat juga diciptakan dari cahaya Jabarut sehingga "Malaikat terdekat" tidak dapat masuk ke dalam cahaya lahut.


وقال رسول الله صلى الله عليه وسلم ، " 


Rasulullah shallallahi alaihi wasallam bersabda,


أن لله جنة لا فيها خور ولا قصور ولا جنان ولا عسل ولا لبن ، بل نظر إلى وجه الله تعالى


"ADA satu surga milik Allah Ta'ala yang di dalamnya TIDAK ADA bidadari dan istana, TIDAK ADA madu dan susu. Nikmat (yang dianugerahkan) di dalam surga tersebut hanya satu yaitu melihat Allah Ta'ala.


كما قال الله تعالى وجوه يومئذ ناضرة إلى ربها ناظرة 


Sebagaimana firman Allah Ta'ala yang artinya, "Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat (QS Al Qiyamah [75] : 22-23)


وكما قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ، سترون ربكم كما ترون القمر ليلة البدر 


Dan juga dijelaskan dalam sabda Rasullah shallallahu alaihi wasallam, Kalian akan melihat Rabb kalian, sebagaimana (mudahnya) melihat bulan pada malam bulan purnama" (HR Bukhari)


ولو دخل الملك والجسمانية في هذه العالم لاخترقا كما قال الله تعالى في الحديث القدسي ، لو كشفت سبحاث وجهي جلالي لاخترق كل ما مد بصري


Jika malaikat dan jasmani yakni segala sesuatu selain Ruh Qudsi masuk di Alam Lahut maka pasti akan terbakar sebagaimana firman Allah Ta'ala dalam hadits qudsi, "Jika kesucian Dzat-Ku yakni sifat Jalal-Ku disingkap maka semuanya, sejauh mata-Ku memandang, pastilah terbakar (HR Muslim)


وكما قال جبرائيل عليه السلام ، " لو دنوتُ لاخترقت


Sebagaimana juga yang diungkapkan Jibril alaihissalam, "Jika aku mendekat pasti aku terbakar"

***** akhir kutipan *****


Jadi DIRI SEJATI yang MUKASYAFAH yakni dibukakan atau disingkapkan TABIR atau HIJAB sehingga dapat menyaksikan Allah (makrifatullah) adalah yang dapat mendengar dan memahami al-Kalam adz-Dzati kalam Allah yang qadim/kekal yang bukan huruf, bukan suara dan bukan bahasa.


Begitupula Allah Ta'ala SENATIASA berkalam tidak pernah diam dan Kalam Allah sampai kepada manusia sebagaimana firman Allah Ta'ala dalam surat Asy Syura [42] ayat 51 melalui TIGA CARA atau TIGA KEMUNGKINAN yakni PERTAMA melalui wahyu termasuk ilham dan firasat, KEDUA dengan mengutus utusan-Nya seperti malaikat Jibril, dan KETIGA pembicaraan-Nya LANGSUNG seperti dengan Nabi Musa alaihissalam adalah pembicaraan di BALIK TABIR.


Allah Ta'ala berfirman, 


وَمَا كَانَ لِبَشَرٍ أَن يُكَلِّمَهُ ٱللَّهُ إِلَّا وَحْيًا أَوْ مِن وَرَآئِ حِجَابٍ أَوْ يُرْسِلَ رَسُولًا فَيُوحِىَ بِإِذْنِهِۦ مَا يَشَآءُ ۚ إِنَّهُۥ عَلِىٌّ حَكِيمٌ 


Dan TIDAK MUNGKIN bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia KECUALI dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana. (QS Asy Syura [42]:51) 


Imam Suyuthi (W. 911 H) dalam tafsir Jalalain ketika menafsirkan (QS Asy Syura [42]:51) menyampaikan bahwa HANYA TIGA CARA atau TIGA KEMUNGKINAN kalam Allah yang Qadim (al-Kalam Adz-Dzati) yang bukan suara, bukan huruf-huruf dapat sampai kepada manusia yakni 


1. Wahyu ( وحياً ) 


في المنام أو بإلهام 


yang Dia wahyukan kepadanya di dalam tidurnya (mimpi) atau melalui ilham atau firasat ke dalam hati mereka. 


2. Dengan mengutus utusan-Nya ( يرسل رسولاً ) 


ملكاً كجبريل 


Yakni seperti malaikat Jibril 


Pada umumnya dibawa turun oleh malaikat Jibril ke dalam hati Rasulullah sebagaimana firman Allah, 


عَلَىٰ قَلْبِكَ لِتَكُونَ مِنَ ٱلْمُنذِرِينَ 


"ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan (QS. Asy-Syu’ara’ [26] : 194) 


dan sebagian kecil perantaraan malaikat Jibril dalam wujud manusia. 


dan 


3. Di balik tabir ( من وراء حجاب ) adalah seperti Allah memperdengarkan kalam-Nya kepadanya, tetapi dia tidak dapat melihat-Nya, sebagaimana yang telah terjadi pada Nabi Musa alaihissalam. 

Tafsir Jalalain dapat dibaca pada https://ibnothman.com/quran/surat-asy-syura-dengan-terjemahan-dan-tafsir/6 

Contoh Kalam Allah yang Qadim (al-Kalam Adz-Dzati) yang bukan huruf maupun suara sampai kepada manusia DIPERLIHATKAN atau DIVISUALISASIKAN dalam bentuk ar-ru'ya ash-shadiqah (mimpi yang benar) dan ini merupakan permulaan turunnya wahyu kepada Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam ketika bertahanuts (perenungan/kontemplas dirii) di gua hira dan tentulah MIMPI itu MAKHLUK atau BUKAN QADIM.

Contoh lainnya Allah Ta'ala berfirman yang artinya, “Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar” (QS ash Shaffat/[37] : 102). 

Begitupula mimpi yang baik yang merupakan bagian dari kenabian dan diterima oleh para kekasih Allah adalah VISUALISASI dari Kalam Allah yang Qadim (al-Kalam Adz-Dzati) yang bukan huruf maupun suara. 

Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Maslamah dari Malik dari Ishaq bin Abdullah bin Abi Thalhah dari Anas bin Malik, Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda: “Mimpi baik yang berasal dari seorang yang shalih adalah satu bagian dari empat puluh enam bagian kenabian.” (HR Bukhari 6468) 

Contoh lain Kalam Allah yang Qadim (al-Kalam Adz-Dzati) yang bukan huruf maupun suara sampai kepada manusia dalam bentuk firasah al sadiqah (firasat yang benar) dan tentulah FIRASAT itu MAKHLUK atau BUKAN QADIM. 

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ 

Dari Abi Sa’id al Khudri radhiyallahu anhu berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda 

اتَّقُوْا فِرَاسَةَ الْمُؤْمِنِ فَإِنَّهُ يَنْظُرُ بِنُوْرِ اللهِ 

Takutlah kalian terhadap firasat orang mukmin, karena sesungguhnya mereka melihat dengan cahaya Allah 

ثُمَّ قَرَأَ 

kemudian Beliau menbaca ayat 

إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِلْمُتَوَسِّمِينَ 

sesungguhnya yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta'ala bagi orang-orang yang memperhatikan tanda-tanda (Jalalain : bagi orang-orang yang mau memperhatikannya kemudian mau mengambilnya sebagai pelajaran) (QS Al Hijr [15]:75) 

(HR. Tirmidzi dalam sunannya no.3052 atau versi Maktabatu al Ma'arif no. 3127) 

Contoh lain Kalam Allah yang Qadim (al-Kalam Adz-Dzati) yang bukan huruf maupun suara sampai kepada manusia dalam bentuk ILHAM yang diberikan kepada para Nabi maupun kepada orang-orang yang dikehendakiNya dan tentu ILHAM itu MAKHLUK atau BUKAN QADIM. 

Allah Ta'ala mengilhamkan suatu makna tertentu ke dalam jiwa (hati) para Nabi dan orang-orang yang dikehendakiNya yang merupakan UNGKAPAN (IBARAT) dari Kalam Allah yang Qadim (al-Kalam Adz-Dzati) yang bukan huruf maupun suara. 

Firman Allah Ta’ala yang artinya 

“maka Allah mengilhamkan kepada jiwa (hati) itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya“. (QS As Syams [91] : 8 ) 

“Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan” (pilihan haq atau bathil) (QS Al Balad [90]:10) 

Contohnya Allah Ta'ala mengungkapkan (ibarat) Kalam Allah yang Qadim (al-Kalam Adz-Dzati) yang bukan huruf maupun suara dalam bentuk suatu makna tertentu ke dalam hatinya ibundanya Nabi Musa Alaihissalam. 

Allah Ta'ala berfirman artinya, "Dan kami ilhamkan kepada ibu Musa; "Susuilah dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya maka jatuhkanlah dia ke sungai (Nil). Dan janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati, karena sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya (salah seorang) dari para rasul" (QS Al Qashash [28] : 7) 

Wassalam

Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830

Keputusan dan Rekomendasi Munas Alim Ulama 2023 : AI Haram

Dokumen : Konferensi Pers Hasil Munas Alim Ulama NU 2023

Seiring perkembangan zaman, ketergantungan pada teknologi digital hampir tidak dapat dihindari lagi, bahkan di sebagian masyarakat ada yang memposisikan teknologi ini sebagai pedoman pengambilan hukum masalah agama. 

Diantara perkembangan teknologi saat ini yang berkembang pesat dan maju, kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI). Banyak orang bertanya banyak terkait persoalan agama pada AI.

“Persoalan yang kedua kaitan dengan kecerdasan buatan, mengenai bolehnya bertanya kepada AI yang dalam hal ini untuk dijadikan pedoman atau dipedomani,” kata Ketua Komisi Bahtsul Masail Waqi’iyah Munas Alim Ulama NU 2023 KH Hasan Nuri Hidayatullah saat Konferensi Pers di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta, Selasa (19/9/2023). 

Gus Hasan, Katib Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) ini menambahkan, "AI ini walaupun mempunyai kecerdasan yang mungkin bisa melampaui manusia, akan tetapi dia ini belum bisa dijadikan objek memohon fatwa karena unsur kebenarannya masih belum bisa dijamin,” 

Melalui Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama Nahdlatul Ulama (NU) 2023 menetapkan bahwa menanyakan keagamaan kepada AI boleh, tetapi haram menjadikannya sebagai pedoman yang diamalkan.

Keputusan ini didasarkan pada sejumlah alasan, diantaranya kebenaran AI ini belum terjamin, meskipun pengetahuannya mungkin bisa melampaui manusia dan AI ini masih diproduksi oleh orang-orang non-Muslim. Hal ini menimbulkan bias tersendiri dalam jawaban yang tersaji.

Dilansir dari nuonline, Komisi Bahtsul Masail Waqi’iyah Munas Alim Ulama NU 2023 ini juga membahas perihal tata kelola dan manfaat dam haji tamattu’. Dalam hal ini, dam haji tamattu harus disembelih di Tanah Haram, sedangkan distribusinya boleh di tanah halal, seperti Indonesia. 

Selain itu, Komisi ini juga merekomendasikan agar pemerintah mendirikan Rumah Potong Hewan (RPH) di Tanah Haram untuk memvalidasi keabsahan dam haji tamattu’ itu.


Dinas Koperasi dan UKM Provinsi Jawa Timur menfasilitasi pengembangan koppontren

Dokumen : Desiminasi Peningkatan Akses Pembiayaan Bagi Koppontren Tahun 2023

Koperasi Pondok Pesantren (Koppontren) bagian penting dari roda ekonomi Pesantren memiliki potensi kuat pembangunan ekonomi masyarakat, khususnya warga pondok dan lingkungan pondok. 

Pemerintah, melalui Dinas Koperasi dan UKM Provinsi Jawa Timur menfasilitasi pengembangan koppontren melalui program kegiatan Desiminasi Peningkatan Akses Pembiayaan Bagi Koppontren Tahun 2023 yang dilaksanakan Selasa-Rabu (19-20/9/2023) di Dalwah Hotel Syariah, Jl. Raci Bangil Pasuruan. 

"Peran Koperasi bagi perekonomian Jawa Timur dengan jumlah 37.688 sangatlah besar dan terbesar di Indonesia walau yang aktif masih 21.910", Ujar Pak Luqman. 

Pak Luqman, Kepala Bidang Pembiayaan Dinas Koperasi dan UMKM Jawa Timur ini menambahkan, " Jumlah Pesantren terbanyak di Indonesia terletak di Jawa Timur. Jika koperasi yang jumlahnya terbesar dan berpotensi memajukan dalam bidang ekonomi, maka perlu adanya perpaduan potensi yang ada yakni Koperasi dan Pesantren, dan inilah yang diharapakan Ibu Gubernur Jawa Timur Ibu Khofifah Indarparawangsah".

Harapannya dengan program ini peserta mampu mengambil manfaat dan mampu mengamalkan sabda Nabi, Tangan diatas lebih baik daripada tangan dibawah artinya Koppontren harus bisa mandiri dan pengembangan diri tanpa berpangku tangan dengan berharap banyak mendapatkan bantuan dari Pemerintah. 



Meluruskan klaim Khalid Basalamah yang cenderung gegabah

Riwayat mengusap wajah setelah berdo'a, itu jelas ada. Dan bahkan amirul mukminin dalam bidang hadits (imam Ibnu Hajar menilai hadits² tersebut secara keseluruhan tiba dilevel Hasan).

Kalaupun riwayat tersebut dinilai dho'if, sudah menjadi kesepakatan para pakar hadits membolehkan memakai hadits dho'if diwilayah fadho'ilul a'mal. (Apalagi hadits tentang mengusap wajah setelah berdo'a ini ada yang menilainya Hasan).

Jadi kalim Khalid Basalamah dlm hal ini jelas ngawur dan cenderung menyembunyikan informasi agama.

أقول

1- Khalid Basalamah mengklaim mengusap wajah setelah sholat tidak ada panduan..?

Qultu: (Al-raddu 'ala dzalik) :

والدليل على ذلك ما ورد عن النبي صلى الله عليه وآله وسلم أنه كان يمسح وجهه بيديه بعد الدعاء؛ فقد أخرج الترمذي والحاكم عن عمر رضي الله تعالى عنه قال: ”كان رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم إذا مد يديه في الدعاء لم يردهما حتى يمسح بهما وجهه“.

Panduan kita dalam masalah ini (mengusap wajah setelah berdo'a) ialah riwayat yang telah diposting oleh beberapa imam yang merupakan pakar dalam bidang hadits, yaitu (Imam Turumdzi dan Imam Hakim) membingkiskan berita yang disajikan oleh Sayidina Umar radhiyallahu 'anhu, beliau berkata:

“Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam apabila mengangkat dan membentangkan kedua tangannya berdo'a, beliau tidak mengembalikannya keposisi semula kecuali apabila setelah mengusap wajah dengan kedua telapak tangannya”. 

قال الحافظ ابن حجر في ”بلوغ المرام“ : [أخرجه الترمذي، له شواهد منها حديث ابن عباس عند أبي داود، وغيره، ومجموعها يقضي بأنه حديث حسن]

Imam Ibnu Hajar dalam salah satu karya fenomenalnya “Bulughul muram” mengkomen riwayat tersebut:

Hadits itu ditakhrij oleh Imam Turumdzi, memiliki beberapa syawahid/pendukung, diantaranya ialah hadits yang bersumber dari Abdullah bin Abbas, terekam dalam sunan Abi Dawud dll. Dan secara keseluruhan, riwayat² tersebut tiba pada level Hasan.

Uraian selengkapnya bisa ditelaah diartikel ini:

 https://www.dar-alifta.org/Ar/ViewResearch.aspx?sec=fatwa&ID=200

2- Khalid Basalamah mengklaim tidak terdapat panduan membalikkan telapak tangan saat berdo'a/memohon perlindungan dan/atau minta agar diangkat bala' dll..?

Qultu: (Al-raddu 'ala dzalik) :

قال الإمام النووي رحمه الله: ”قَالَ جَمَاعَةٌ مِنْ أَصْحَابِنَا وَغَيْرُهُمْ: السُّنَّةُ فِي كُلِّ دُعَاءٍ لِرَفْعِ بَلَاءٍ كَالْقَحْطِ وَنَحْوِهِ أَنْ يَرْفَعَ يَدَيْهِ وَيَجْعَلَ ظَهْرَ كَفَّيْهِ إِلَى السَّمَاءِ، وَإِذَا دَعَا لِسُؤَالِ شَيْءٍ وَتَحْصِيلِهِ جَعَلَ بَطْنَ كَفَّيْهِ إلى السماء“، انتهى من ”شرح النووي على مسلم“.

Imam Nawawi rahimahullah menegaskan:

Gabungan ulama (bukan sedikit) dari kalangan kami (madzhab Syafi'iyah) dan juga para ulama diluar wilayah madzhab Syafi'iyah memberikan pernyataan, bahwa sunnah membalikkan kedua telapak tangan saat berdo'a/memohon agar diangkat bala', dll. Dan tatkala berdo'a agar diberi sesuatu yang diharapkan, kedua telapak tangan dihadapkan keatas.

وقد احتجوا بما رواه مسلم عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَسْقَى فَأَشَارَ بِظَهْرِ كَفَّيْهِ إِلَى السَّمَاءِ.

Mereka berhujjah menggunakan riwayat yang dibawakan oleh Imam Muslim, dari Sayidina Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu beliau berkata, bahwa Rasulullah saat istisqo' mengisyaratkan dengan kedua punggung tapak tangannya ke arah atas.

Ibnu Rajab yang merupakan salah satu imam yang faqih dan disegani dikalangan madzhab Hanbaliy, juga mengamini hal ini:

وقد اختار ابن رجب الحنبلي العمل بظاهر الحديث الذي رواه مسلم، ونقله عن بعض السلف وهو قول وجيه محتمل لا إنكار على من قاله أو عمل به، وقد دل عليه ظاهر الحديث المذكور، وثبت عن بعض السلف.

Beliau (Ibnu Rajab) memilih utk menganjurkan dan mengamalkan hal tersebut, beranjak dari makna zhohir hadits yang di riwayatkan oleh Imam Muslim yang dinukil dari sebagian salaf. Dan ini merupakan pandangan yang bagus yang baik diamalkan dan tidak etis di ingkari.

Penulis : Munir Mahyudin Munir 

Link sumber : https://www.facebook.com/100047758703918/posts/140339790901310/

Kuburan Di Indonesia Menyalahi Sunnah?

Makam Baqi' hari ini memang rata dengan tanah, kemudian ada yang mengklaim beginilah kuburan yang benar. Sementara makam-makam di Indonesia khususnya para wali, kiai dan habaib adalah salah. Perhatikan tulisan Ahli Sejarah Syekh As-Sumhudi:

وَأَمَّا اْلمَشَاهِدُ الْمَعْرُوْفَةُ الْيَوْمَ بِالْمَدِيْنَةِ فَمَشْهَدُ الْعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَلِّبِ وَالْحَسَنِ بْنِ عَلِيّ وَمَنْ مَعَهُمَا عَلَيْهِمْ قُبَّةٌ شَامِخَةٌ قَالَ ابْنُ النَّجَارِ وَهِيَ كَبِيْرَةُ عَالِيَةُ قَدِيْمَةُ الْبِنَاءِ وَعَلَيْهَا بَابَانِ 

“Adapun makam-makam yang terkenal saat ini di Madinah adalah makam Abbas bin Abdil Muthallib, makam Hasan bin Ali dan orang yang bersamanya. Diatas makam-makam mereka ada kubah yang tinggi. Ibnu an-Najjar berkata: Kubah itu besar, tinggi dan bangunan kuno, yang memiliki 2 pintu” (Khulashat al-Wafa 1/262).

Ulama ahli hadis yang juga murid Syekh Ibnu Taimiyah menjelaskan keberadaan kubah besar milik keluarga Sayidina Abbas bin Abdul Muthalib:

وَمَاتَ (الْعَبَّاسُ) سَنَةَ اثْنَتَيْنِ وَثَلاَثِيْنَ، فَصَلَّى عَلَيْهِ عُثْمَانُ. وَدُفِنَ بِالْبَقِيْعِ. وَعَلَى قَبْرِهِ الْيَوْمَ قُبَّةٌ عَظِيْمَةٌ مِنْ بِنَاءِ خُلَفَاءِ آلِ الْعَبَّاسِ.

“Abbas (paman Rasulullah Saw) meninggal pada tahun 32 H. Disalati oleh Utsman, dimakamkan di Baqi’ dan diatas kuburnya ada kubah besar yang dibangun para Khalifah keluarga Abbas” (Siyar A’lam an-Nubala’ 2/97)

Syaikh al-Arnauth yang mentahqiq kitab tersebut berkata:

هَذَا كَانَ فِي عَصْرِ الْمُؤَلِّفِ أَمَّا اْلآنَ فَلَمْ يَبْقَ لَهَا أَثَرٌ.

"Ini -kubah maksudnya- ada di masa muallif (al-Hafidz adz-Dzahabi). Sedangkan saat ini sudah tidak ada bekasnya”

Jadi jelas sudah, makam di Madinah dahulu banyak kubahnya. 

Hadis Larangan Membangun Makam

Riwayat larangan mengijing dan membangun makam memang terdapat dalam hadis Imam Muslim. Namun para ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan hadis tersebut. Kelompok Salafi W4h4b1 memang menolak dan merobohkan makam yang ada bangunan di atasnya. 

Namun menurut Madzhab Syafi'iyah ada pengecualian:

ﻭﻣﺤﻞ ﺫﻟﻚ ﻣﺎ ﻟﻢ ﻳﻜﻦ اﻟﻤﻴﺖ ﻣﻦ ﺃﻫﻞ اﻟﺼﻼﺡ ﻭﻣﻦ ﺛﻢ ﺟﺎﺯﺕ اﻟﻮﺻﻴﺔ ﺑﻌﻤﺎﺭﺓ ﻗﺒﻮﺭ اﻟﺼﺎﻟﺤﻴﻦ ﻟﻤﺎ ﻓﻲ ﺫﻟﻚ ﻣﻦ ﺇﺣﻴﺎء اﻟﺰﻳﺎﺭﺓ ﻭاﻟﺘﺒﺮﻙ اﻩـ. ﺣ ﻟ 

Larangan membangun makam tersebut selama mayitnya bukan dari kalangan Ulama. Oleh karena itu boleh hukumnya berwasiat membangun makam orang-orang saleh, karena hal itu dapat menghidupkan ziarah kubur dan mencari berkah dari Allah (Hayisyatul Jamal  2/207)

Bukankah Imam Syafi'i memerintahkan agar kuburan di tanah wakaf dirobohkan? Kita lihat terlebih dulu:

ﻗﺎﻝ اﻟﺸﺎﻓﻌﻲ ﻓﻲ اﻷﻡ ﻭﺭﺃﻳﺖ اﻷﺋﻤﺔ ﺑﻤﻜﺔ ﻳﺄﻣﺮﻭﻥ ﺑﻬﺪﻡ ﻣﺎ ﻳﺒﻨﻰ

Asy-Syafii berkata dalam kitab Al-Umm: "Saya melihat para pemimpin Makkah memerintahkan untuk merobohkan bangunan kuburan" (Syarah Muslim)

Di masa yang sama, yakni sebelum Imam Asy-Syafii, ternyata makam Rasulullah ditinggikan dan tembok sekelilingnya dibangun:

ﻭﻫﺬا ﻛﺎﻥ ﻓﻲ ﺧﻼﻓﺔ ﻣﻌﺎﻭﻳﺔ ﻓﻜﺄﻧﻬﺎ ﻛﺎﻧﺖ ﻓﻲ اﻷﻭﻝ ﻣﺴﻄﺤﺔ ﺛﻢ ﻟﻤﺎ ﺑﻨﻲ ﺟﺪاﺭ اﻝﻗﺒﺮ ﻓﻲ ﺇﻣﺎﺭﺓ ﻋﻤﺮ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ اﻟﻌﺰﻳﺰ ﻋﻠﻰ اﻟﻤﺪﻳﻨﺔ ﻣﻦ ﻗﺒﻞ اﻟﻮﻟﻴﺪ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ اﻟﻤﻠﻚ ﺻﻴﺮﻭﻫﺎ ﻣﺮﺗﻔﻌﺔ

"Di masa kekhilafahan Muawiyah sepertinya makam Nabi pada awalnya adalah rata. Setelah dibangun tembok makam di masa Gubernur Umar bin Abdul Aziz di Madinah atas perintah Walid bin Abdul Malik, maka mereka menjadikannya tinggi (Fathul Bari, 3/257)

Seberapa tinggi makam Nabi saat itu? Al-Hafidz Ibnu Hajar melanjutkan:

ﻋﻦ ﻏﻨﻴﻢ ﺑﻦ ﺑﺴﻄﺎﻡ اﻟﻤﺪﻳﻨﻲ ﻗﺎﻝ ﺭﺃﻳﺖ ﻗﺒﺮ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻓﻲ ﺇﻣﺎﺭﺓ ﻋﻤﺮ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ اﻟﻌﺰﻳﺰ ﻓﺮﺃﻳﺘﻪ ﻣﺮﺗﻔﻌﺎ ﻧﺤﻮا ﻣﻦ ﺃﺭﺑﻊ ﺃﺻﺎﺑﻊ 

Ghunaim bin Bustham Al-Madini berkata: "Saya melihat makam Nabi shalallahu alaihi wasallam di masa Umar bin Abdul Aziz ditinggikan sekitar 4 jari"

Kalaulah bangunan kuburan secara mutlak harus dirobohkan maka mestinya semua kuburan yang saat itu ditinggikan juga harus dirobohkan. Nyatanya makam Nabi tidak diapa-apakan, karena memang tidak berada di area lahan wakaf.

Bagaimana dengan perintah hadis meratakan kuburan? Kita lihat hadisnya ketika Nabi berpesan kepada Sayidina Ali;

 «ﺃﻥ ﻻ ﺗﺪﻉ ﺗﻤﺜﺎﻻ ﺇﻻ ﻃﻤﺴﺘﻪ ﻭﻻ ﻗﺒﺮا ﻣﺸﺮﻓﺎ ﺇﻻ ﺳﻮﻳﺘﻪ»

"Janganlah kau tinggalkan gambar bernyawa kecuali kau hancurkan dan kuburan tinggi kau ratakan" (HR Muslim)

Sampai saat ini ada yang menerapkan hadis ini secara tekstual. Kuburan siapapun yang dibangun tinggi harus dirobohkan. Apakah benar? Teks kubur di hadis tersebut tidak bisa dipisahkan dengan Timtsal yang diperintah untuk dihancurkan. Apa Timtsal tersebut? Tidak lain adalah sesembahan selain Allah, seperti kaum-kaum terdahulu yang menyembah selain Allah:

اِذْ قَالَ لِاَبِيْهِ وَقَوْمِهٖ مَا هٰذِهِ التَّمَاثِيْلُ الَّتِيْٓ اَنْتُمْ لَهَا عَاكِفُوْنَ

"(Ingatlah), ketika Ibrahim berkata kepada ayahnya dan kaumnya, “Patung-patung apakah ini yang kamu tekun menyembahnya?”

Kuburan para wali, ulama, habaib yang dibangun saat ini tidak sama dengan hadis di atas, karena tidak ada patung-patung yang disembah. Mereka yang datang untuk ziarah ke makam-makam tersebut tetap menyembah Allah dan hanya meminta kepada Allah.

Ziarah makam Baqi' ditemani ustadz Ach Sulthoni teman kuliah di Unsuri Surabaya

Penulis : KH. Ma'ruf Khozin 

Hukum Bersemir Hitam

Sebagian kecil ulama ada yg mengatakan menyemir rambut dengan warna hitam bagi ORANG YANG MASIH MUDA (rambutnya beruban sebagian dan giginya masih utuh) TIDAK APA-APA, demikian juga bagi PEREMPUAN....

عَنْ اِبْن شِهَاب قَالَ ” كُنَّا نُخَضِّب بِالسَّوَادِ إِذْ كَانَ الْوَجْه جَدِيدًا ، فَلَما نَغَصّ الْوَجْه وَالْأَسْنَان تَرَكْنَاهُ ”

Dari Ibnu Syihab az Zuhri, beliau berkata, “Kami semir uban dengan warna hitam ketika wajah masih tampak muda. Namun ketika wajah sudah tidak lagi muda dan gigi sudah ompong maka kami biarkan sebagaimana apa adanya” (Riwayat Ibnu Abi Ashim dalam kitab al Khidhab dan dinukil oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari).

قَالَ مَعْمَرٌ وَكَانَ الزُّهْرِىُّ يَخْضِبُ بِالسَّوَادِ

Bahkan Ma’mar, salah seorang murid az Zuhri malah mengatakan, “Az Zuhri itu bersemir dengan warna hitam” (Riwayat Imam Ahmad 2/309 dengan sanad yang shahih sampai kepada Ma’mar)

عن قتادة قال : رخص في صباغ الشعر بالسواد للنساء

Dari Qatadah, seorang tabiin, beliau berkata, “Dibolehkan menyemir uban dengan warna hitam bagi perempuan” (Diriwayatkan oleh Abdur Razzaq dalam al Mushannaf no 20182).

Ishaq bin Rahuyah mengatakan membolehkan bersemir dengan warna hitam untuk wanita dengan tujuan berdandan untuk suami namun hal ini terlarang untuk laki-laki.

Akan tetapi menurut ulama yang lain tetap diharamkan (sebagian menghukumi makruh tanzih) bagi semua laki-laki, baik tua maupun muda dan juga bagi perempuan.....

Wallaahu a'lam...

Sunday, 17 September 2023

Hukum Peringatan Maulid Nabi SAW Menurut Imam Jalaluddin As-Suyuthi

Hari lahir Nabi Muhammad SAW memiliki keistimewaan sendiri bagi umat Islam. Pada hari kelahiran ini, umat Islam di berbagai belahan dunia merayakannya dengan berbagai macam acara yang pada intinya mengingat kembali perjuangan dan suri teladan yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW. 

Menurut Syekh Jalaluddin As-Suyuthi dalam Al-Hawi lil Fatawa, perayaan maulid Nabi SAW besar-besaran dilakukan pertama kali oleh Raja Mudzafar, penguasa wilayah Irbil. Ia seorang raja pemberani, pahlawan, alim, dermawan, dan adil.

Sampai sekarang tradisi baik ini terus berlanjut dan tetap dipertahankan oleh sebagian besar umat Islam, khususnya Indonesia. 

Syekh Jalaluddin al-Suyuthi pernah ditanya terkait hukum perayaan maulid Nabi Muhammad SAW. Dalam kitabnya Al-Hawi lil Fatawa dijelaskan:

 عندي أن أصل عمل المولد الذي هو اجتماع الناس وقراءة ما تيسر من القرآن ورواية الأخبارالواردة في مبدأ أمر النبي صلى الله عليه وسلم وما وقع في مولده من الآيات، ثم يمد لهم سماط يأكلونه وينصرفون من غير زيادة على ذلك هو من البدع الحسنة التي يثاب عليها صاحبها لما فيه من تعظيم قدر النبي صلى الله عليه وسلم وإظهار  الفرح  والاستبشار بمولده الشريف

"Menurut saya, hukum pelaksanaan maulid Nabi, yang mana pada hari itu masyarakat berkumpul, membaca Al-Qur’an, dan membaca kisah Nabi SAW pada  permulaan perintah Nabi SAW serta peristiwa yang terjadi pada saat beliau dilahirkan, kemudian mereka menikmati hidangan yang disajikan dan kembali pulang ke rumah masing-masing tanpa ada tambahan lainnya, adalah bid’ah hasanah. Diberi pahala orang yang memperingatinya karena bertujuan untuk mengangungkan Nabi SAW serta menunjukkan kebahagiaan atas kelahiran Beliau.”  

Sumber : NU Online