HWMI.or.id

Friday 14 June 2024

Kiai Kecil Dan Kiai Besar

Ada fenomena seorang kiai, karena ia hanya mengelola mushalla kecil dilabeli sebagai kiai kecil. Sedangkan kyai yang menjabat secara struktural di ormas-ormas besar banyak muhubbinnya distempel sebagai kiai besar yang top, hanya gara-gara jabatan yang ia sandang. 

Ada sebuah "hadist" yang jarang diungkap :

رب أشعث، مدفوع بالأبواب لو أقسم على الله لأبره

"Banyak orang yang rambutnya semrawut, (compang-samping), ditolak masuk ke pintu-pintu masyarakat (karena dianggap remeh), namun orang itu jika bersumpah atas nama Allah, pasti Allah mengabulkan permintaannya.”

(HR. Muslim).

Cerita Uwais al Qarni yang masyhur. Saking zuhud-nya Uwais tidak pernah berani mempunyai pakaian hingga dua helai karena ia "khawatir", jangan-jangan kalau ia mempunyai pakaian dua helai, sedangkan ada orang lain yang sampai tak punya pakaian sama sekali, ia kelak akan dihisab karena itu. 

Sebab standarnya, jika ada orang tidak mempunyai pakaian, di sisi lain tetangganya ada orang yang mempunyai pakaian lebih dari kebutuhannya, harus diberikan. Kalau tidak maka akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah (hisab).

Berbeda kalau punyanya hanya pakaian satu saja. Walaupun dari sumber harta syubhat sekalipun, akan tetap halal, tidak terkena hisab. Sebab ia berpakaian semata-mata untuk menutup aurat yang hukumnya wajib. Dalam keadaan darurat untuk menjalankan kewajiban menutup aurat, seumpama memakai harta haram sekalipun diperbolehkan, karena darurat.

Makan juga begitu. Uwais al Qarni itu tidak mau makan kecuali kalau tidak makan, akan mati.

Seumpama terpaksa yang ia makan itu haram akan menjadi halal karena memang dalam keadaan darurat. Jika lebih dari itu, terkena hisab.

Dapat diambil kesimpulan bahwa profil Uwais al Qarni di mata masyarakat tidak terkenal, namun namanya tenar di mata penduduk langit. Dengan begitu, kiai kecil atau kiai besar tidak bisa diukur oleh pandangan masyarakat secara kasat mata. Karena masing-masing bukan berdasar kealiman atau pengikutnya, tapi ketakwaannya.

ان أكرمكم عند الله أتقداكم

"Sesunggunya yg paling mulia kalian di sisi Allah adalah kalian yg paling taqwa.”

(Qs Hujurat: 13) 

Dengan begitu, dalam pandangan tasawwuf, kita tidak bisa memeta-metakan kiai besar, kiai kecil jika mengacu bagaimana kedudukan mereka di sisi Allah. Kecuali pada ranah kredibilitas dan kapabilitas keilmuan. Kita baru bisa menilai kapasitas keilmuan seseorang dengan parameter atau patokan yang sudah ditentukan oleh para ulama sehingga kita bisa ambil mereka sebagai rujukan masalah agama. 

Namun jika menyangkut mana yang paling mulia di sisi Allah, tidak ada yang bisa mengklasifikan mana yang besar mana yang kecil.

 Abu Dzar al-Ghifari meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda :

 “Menghadiri majelis orang alim lebih utama daripada salat seribu rakaat, menjenguk seribu orang sakit dan menghadiri seribu jenazah.”

Kemudian Abu Dzar bertanya, “Bukankah membaca Al quran lebih utama dari majelis orang alim?"

Nabi menjawab dengan lugas dan bijaksana, “Apakah membaca Alquran berguna tanpa ilmu?”.

Di antara sabda Nabi adalah, “Orang pandai (alim) adalah kepercayaan Allah di muka bumi, (Ada penyebutan riwayat dimana ahli ibadah masuk surga sendirian, sementara ahli fiqih bisa memberi syafa'at kepada yang lain).

"Ada seorang yang bertanya kepada Nabi tentang ahli ibadah dan ahli fiqih، mana yang lebih utama?

Nabi menjawab: “Seorang ahli fiqih (ilmu) itu lebih utama di sisi Allah dari seribu ahli ibadah.” 

Rasulullah bersabda :

إذا كان يوم القيامة يقول الله تعالى للعابد : ادْخل الجنة , فإنما كانت منفعتك لنفسك , ويقال للعالم: اشفع تشفع , فانما كانت منفعتك للناس

“Di hari kiamat kelak, Allah berfirman kepada ahli ibadah: masuklah ke dalam surga, karena ibadahmu bermanfaat untuk dirimu sendiri. 

Namun kepada seorang alim dikatakan: “Beri syafaat kepada yang lain, karena selama ini engkau telah memberi manfaat kepada orang lain.”

Hal ini jelas menunjukkan derajat orang pandai (alim), ulama, dan cendekiawan sangat terhormat di sisi Allah, sehingga dikategorikan sebagai pemberi syafaat. Padahal, tidak semua malaikat diperkenankan memberi syafaat sesuai dengan firman Allah :

“Dan betapa banyak malaikat di langit yang syafaatnya tidak berguna sedikit pun, kecuali sesudah Allah mengizinkan bagi orang yang dikehendaki dan diridai-Nya.”

(Qs An Najm 26).

Penulis : Musa Muhammad 

Thursday 23 May 2024

Waliyullah Dan Ilmu Nahwu

Sejak mengenal medsos, saya dan mungkin juga temen-temen baik yang pernah mesantren atau tidak pernah sama sekali, kita banyak mendapati cerita-cerita aneh tentang Wali-wali yang katanya dia wali Qutub atau wali majdub berikut karomah-karomah mereka, lebih banyak lagi wali-wali dari kalangan Habaib. Cerita-cerita itu sangat massif sekali di permedsosan.

Kalau sekedar cerita karomah dan ma'unah sebenarnya itu tidak asing dan kerap kita dengar dari orang-orang dan tokoh-tokoh yang terlihat biasa-biasa saja. 

Tapi cerita itu tidak dibesar-besarkan apalagi dipromosikan biar laku dan diembel-embeli hasab dan nasab.

Sudah tidak aneh bagi kalangan santri khususnya yang suka ngaji berbagai fan kitab, pasti tiap fan ilmu itu punya promo tersendiri.

Untuk tahu Maqom atau kedudukan individu, kelompok atau jama'ah, seseorang setidaknya kita perlu tahu i'rob, semua ciri berikut penempatannya dalam nahwu sebab perumpamaan nahwu dalam kehidupan itu sangat mendekati.

Seperti kita bisa membaca kitab dengan tepat dan benar itu kalau menguasai  nahwu terutama mengenal kalimat juga  i'rob di luar kepala.

Begitu juga kita bisa membaca karakter seseorang, membaca sifatnya, geraknya, bicaranya, komentarnya itu juga tidak jauh dari itu. 

Kedudukannya isim, fi'il atau huruf. Isim ada munshorif ada ghoiru munshorif, begitu juga fi'il ada shohih, ada mu'tal dan lainnya.

Jangan sampai menempatkan wali Qutub di posisi nasob, apalagi khofdh dan jazem, sebab akan banyak cerita halu tentang hakikat dan menjauh dari syari'at. 

Begitu juga menempatkan wali majdub di posisi rofa' sebab akan mengubur dalam dan meniadakan syari'at.

Saya bicara demikian bukan tahu tentang Wali, tapi sedikit i'tibar dan penempatan Maqom i'rob pada tempatnya.

Wallahu a'lamu.

Penulis : Ust. Sholeh Basyari

Saturday 18 May 2024

Perubahan yang di Damba Rasulullah


Perubahan, bagian sunnatullah. Awalnya, kita dilahirkan, balita, remaja, dewasa dan akhirnya menua. 

Dalam setiap langkah dan aktitifitas kita, perubahan demi perubahan akan menyertai. Justru jika tidak ada perubahan kearah yg lebih baik, termasuk orang yang merugi.

Begitupula kondisi setiap pribadi seseorang, akan mengalami perubahan, gejolak-gejolak akan terus terjadi menanggapi setiap perubahan. 

Sebagaimana hadits berikut ini:

مَنْ كَانَ يَوْمُهُ خَيْرًا مِنْ أَمْسِهِ فَهُوَ رَابِحٌ. وَمَنْ كَانَ يَوْمُهُ مِثْلَ أَمْسِهِ فَهُوَ مَغْبُوْنٌ. وَمَنْ كَانَ يَوْمُهُ شَرًّا مِنْ أَمْسِهِ فَهُوَ مَلْعُوْنٌ  

Artinya :

Barangsiapa yang hari ini lebih baik dari hari kemarin, maka ia (tergolong) orang yang beruntung. Barangsiapa yang hari ini sama dengan hari kemarin, maka ia (tergolong) orang yang merugi. Dan barangsiapa yang hari ini lebih buruk dari hari kemarin, maka ia orang yang dilaknat (celaka) (HR Al-Hakim).

Perubahan demi perubahan tetap menjadi bagian yang tak terelakkan, tinggal bagaimana kita mengambil peran dalam perubahan itu sendiri.

Namun perubahan yang diharapakan oleh Rasulullah saw adalah perubahan yang membawa keberuntungan, perubahan yang membawa peningkatan kualitas amal kebaikan (ibadah) yang kita lakukan. Karena sejatinya manusia diciptakan di dunia ini tiada lain untuk beribadah kepada-Nya. 

Monday 13 May 2024

Kisah Kekasih Allah SWT ; Ikhlas, Menurut Syaikh Sahl bin Abdullah At-Tustari

Allah SWT memberikan karunia kepada setiap hamba-Nya sesuai dengan kehendak-Nya. Mukjizat, dikaruniakan kepada manusia yang dipilih-Nya, yakni para Nabi dan Rasul. Irhas, dianugerahkan kepada calon Nabi dan Rasul. 

Karamah, dikaruniakan kepada Para wali Allah. Ma'unah, dikarunikan kepada orang-orang yang beriman. sedangkan istidraj, diberikan kepada orang-orang yang sesat seperti Fir'aun dan Dajjal. 

Salah satu diantara wali Allah SWT yg dipilih-Nya adalah Sahl Bin Abdullah At-Tustari, dilansir dari NUonline. Fariduddin Attar dalam kitab Tadzkirah al-Auliya’, menceritakan Imam Muhammad Sahl bin Abdullah al-Tustari (w. 283 H), seorang sufi besar asal Tustar yang ditanya tentang karamahnya dapat berjalan di atas air.

Dikisahkan, Imam Sahl al-Tustari berjalan di atas air dan kakinya tidak basah.

Sekumpulan orang bertanya kepadanya: “Benarkah kau dapat berjalan di atas air? ”

Imam Sahl menjawab: “Tanyalah pada muadzin itu. Dia orang yang jujur perkataannya.

Mereka bertanya pada muadzin itu.

Kemudian muadzin itu menjawab: “Aku tidak tahu soal itu, tetapi aku melihatnya jatuh ke dalam kolam. Andai saja aku tidak ada dan melihatnya tenggelam, ia telah mati di dalam kolam.”

Imam Abu Ali al-Daqqaq rahimahu Allah berkomentar: “Sahl adalah shahibul karamah, hanya saja ia menyembunyikannya dari manusia.”

(Fariduddin Attar, Tadzkirah al-Auliya’, alih bahasa Arab oleh Muhammad al-Ashiliy al-Wasthani al-Syafi’i (836 H), Damaskus: Darul Maktabi, 2009, hlm 330).

Kisah di atas mengutarakan kerendahan hati (tawadlu’) Imam Sahl bin Abdullah al-Tustari. Ia menyuruh orang-orang itu bertanya kepada seorang muadzin masjid. Muadzin itu menceritakan bahwa beberapa hari yang lalu Imam Sahl hampir mati tenggelam di kolam. Jika tidak ada dirinya yang menolong, mungkin saja ia telah meninggal.

Imam Sahl tidak gengsi dan takut derajatnya turun. Ia tidak mempermasalahkan jika kewaliannya diragukan, barangkali itu yang diinginkannya.

Jikapun nantinya semua orang memandangnya sebelah mata, ia tidak akan perduli. Baginya, Allah adalah segalanya. Sayangnya, wali-wali Allah itu memiliki hati seluas samudera dan sebersih udara surga. 

Seberapa sering mereka menjauhkan diri dari pujian, bahkan terkadang melakukan hal-hal yang menjatuhkan kemuliaan mereka sendiri dengan sengaja. Hati mereka selalu tergerak untuk menolong sesama, berbuat baik tanpa maksud dan tujuan tertentu.

Apa yang Allah anugrahkan pada Wali-Wali Allah SWT. Itu, tiada lain karena beliau-neliau menjalani kehidupan dengan Ikhlas. Keikhlasanya berwujud kebaikan Kebaikan natural hasil dari penjernihan hati tanpa henti dan taqarrub kepada Ilahi. Akibatnya, pandangan jelek orang-orang kepadanya, berangsur-angsur berubah menjadi kekaguman lagi.

Terkait dengan Ikhlas, dalam Kitab At-Tibyan Fii Adabi Hamalatil Qur'an. Syaikh Sahl At-Tustari berkata, "Orang-orang Cerdas pernah merenungi tentang penafsiran kata Ikhlas, namun mereka tidak menemukan selain definisi berikut : disaat diam dan geraknya seseorang, disaat tersembunyi atau terang-terangan, ada orang lain atau tidak. Yang ia lakukan hanya karena Allah SWT semata. Tidak mencampuri keadaanya itu oleh sesuatu apapun,  tidak oleh nafsu, tidak oleh hasrat keinginan dan tidak pula oleh keduniawian ". (zn)


Sunday 12 May 2024

PBNU : "Haram", Haji Tanpa Visa Resmi

Foto : KH. Mahbub Maafi Ramdan ketua LBM-PBNU (antaranews.com) 

Topik yang menghangat akhir-akhir ini terkait ibadah haji, khususnya hukum menunaikan Ibadah Haji tanpa Visa resmi. Bahkan pemerintah Kerajaan Arab Saudi (KSA) melarang dan akan menjatuhkan hukuman. 

Dilansir dari detik.com. KH Mahbub Maafi Ramdan, Ketua Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LBM PBNU) menanggapi fenomena tersebut, "menjalani ibadah haji secara ilegal di luar prosedur resmi, seperti melakukan manasik tanpa visa haji, bertentangan dengan prinsip-prinsip syariat Islam, yang bertujuan untuk membawa kemaslahatan dan mencegah mafsadat".

Praktik haji ilegal mengakibatkan berbagai masalah bagi individu yang terlibat serta bagi jemaah haji secara global. Kiai Mahbub merinci masalah-masalah tersebut termasuk kebutuhan mendesak akan layanan kamar kecil, dan risiko serangan panas karena kurangnya tenda di Arafah.

Kyai Mahbub menambahkan, "Praktik haji tanpa prosedur formal yang ditentukan pemerintah KSA maupun otoritas negara asal jemaah merupakan tindakan ghashab (perampasan hak) yang diharamkan secara syariat," katanya.

Seringkali, jika jama'ah tidak terkendali terutama pada titik-titik yang sangat penting saat pelaksanaan ibadah haji seperti di terowongan mina, Area Arafah, thawaf dan sa'i akan berakibat fatal, bahkan nyawa para jama'ah terancam karena adanya kerumunan besar, panas dan kekurangan oksigen. kemacetan lalu lintas dan rasa was-was jama'ah akibat pemeriksaan ketat dari KSA acapkali terjadi pada jama'ah. 

Sebab itu, Kiai Mahbub menyampaikan, "Pelaksanaan ibadah haji yang tertib dan prosedural dapat mengantisipasi berbagai mudarat perhajian yang potensi terjadi dan mendatangkan kemaslahatan sehingga rangkaian manasik haji dapat terselenggara dengan baik, layak, dan nyaman,"

Dengan menghormati dan mematuhi prosedur resmi serta regulasi yang telah ditetapkan oleh pemerintah KSA. Serta mematuhi ketentuan yang berlaku di negara asal jemaah, termasuk undang-undang seputar perhajian yang berlaku di Indonesia akan mendatangkan keselamatan, ketenangan, kenyamanan pelaksanaan Ibadah haji. 


Friday 10 May 2024

Sebagian Shahabat Nabi SAW Menghalalkan Musik

Dari banyak riwayat kita mendapatkan keterangan bahwa di antara para Sahabat Nabi SAW, tidak sedikit yang menghalalkan lagu dan nyanyian. Misalnya :

Abdullah bin Ja'far, Abdullah bin Zubair, Al-Mughirah bin Syu'bah, Usamah bin Zaid, Umran bin Hushain, Muawiyah bin Abi Sufyan, Atha bin Abi Ribah, Abu Bakar Al-Khallal.

Imam Asy-Syaukani dalam kitabnya, Nailul Authar menuliskan bahwa para ulama Madinahmemberikan keringanan pada nyanyian walaupun dengan gitar dan biola.

Juga diriwayatkan oleh Abu Manshur Al-Baghdadi As-Syafi'i dalam kitabnya bahwa Abdullah bin Ja'far menganggap bahwa nyanyi tidak apa-apa, bahkan membolehkan budak-budak wanita untuk menyanyi dan beliau sendiri mendengarkan alunan suaranya. 

Dan hal itu terjadi di masa khilafah Amirul Mukminin Ali ra. 

Begitu juga Abu Manshur meriwayatkan hal serupa pada Qodhi Syuraikh, Said bin Al-Musayyib, Atho bin abi Ribah, Az-Zuhri dan Asy-Sya'bi.

Sumber: rumahfiqih.com

Muhammadiyah-Salafi dan Muhammadiyah NU

Saya sengaja tidak ikut perdebatan soal musik antara kalangan Muhammadiyah dan Salafi. Ya supaya ustaz-ustaz Muhammadiyah tampil dengan ilmunya dalam mempertahankan keputusan Majelis Tarjih. 

Dan saya amati tidak hanya dengan tulisan ilmu, tapi juga sudah bergerak ke ranah hukum dengan membuat instruksi dan laporan ke penegak hukum.


NU sudah lebih lama dan lebih sering diperlakukan seperti itu oleh Salafi. Muhammadiyah rasanya juga sudah pernah, tapi soal musik saat ini lebih kencang. 

Tapi Alhamdulillah para tokoh Muhammadiyah sudah bisa mendeteksi keberadaan Salafi di tengah-tengah Persyarikatan Muhammadiyah.

Keberadaan Salafi di Muhammadiyah apa untungnya? Membesarkan organisasi, tidak. Menambah gedung sekolah, juga tidak. Makin memakmurkan amal usaha, gak juga. 

Tapi giliran kajian di masjid Muhammadiyah justru Salafi diberi panggung utama membahas masalah bidah. 

Saat Muhammadiyah tidak sejalan dengan Salafi secara fikih tiba-tiba dik4firkan karena dianggap menghalalkan sesuatu yang diharamkan dalam Al Qur'an.

Khilafiyah fikih lebih enak sama NU saja. Berbeda pendapat antara Muhammadiyah dan NU bisa diselesaikan dengan senang hati dan riang gembira. 

Ada seorang dosen mengaku enak memiliki 2 KTA, anggota Muhammadiyah dan NU. Kalau siang dia nyamar jadi Muhammadiyah karena bisa menikmati sekolah dan rumah sakit milik Muhammadiyah. 

Malam hari celananya diganti sarung ikut tahlilan. Uangnya bisa ditabung dan cepat naik haji.

Penulis: KH. Ma'ruf Khozin -

Wednesday 17 April 2024

Fakta Sejarah Pendirian NU Oleh Ulama Nusantara

Latar Masalah 

Memperhatikan isi ceramah dari seorang habib yang menjelaskan sejarah didirikannya NU dengan mengaitkan peran Habib Muhammad bin Ahmad al-Mukhdor Bondowoso, sang habib dari Hadramaut Yaman yang hijrah ke Nusantara dan meninggal pada 4 Mei 1926 setelah tiga bulan Jam'iyah Nahdlatul Ulama didirikan pada 31 Januari 1926.

Oknum Habib itu dengan jelas mengatakan bahwa " Habib Muhammad bin Ahmad al-Mukhdor adalah pencetus dan penggagas Nahdlatul Ulama, menunjuk KH Hasyim Asy'ari untuk jadi ketua Nahdlatul ulama, karena al-Habib Muhammad bin Ahmad al-Mukhdor adalah orang Arab, orang luar asing yang oleh Belanda tidak diperbolehkan mendirikan firqoh atau perkumpulan" lalu oknum Habib itu juga mengatakan bahwa " KH. Hasyim Asy'ari awalnya menolak karena hormatnya pada para habaib, hingga tiga kali diminta baru beliau mau jadi ketua NU ". 

Analisa Sejarah 

Begini, Habib Muhammad bin Ahmad al-Mukhdor seorang menantu dari Habib Muhammad Idrus al-Habsy adalah imigran Yaman datang ke Indonesia dan tinggal di Bondowoso, ia lahir 1859 Masehi di Quwaireh Hadramaut, Yaman dan wafat di Bondowoso pada 4 Mei 1926 dan dimakamkan di Surabaya samping mertuanya Habib Idrus al-Habsy.

Umumnya habib yang dari Yaman itu adalah berasal dari sadah Ba'Alawi, mereka mukim di Indonesia dan berkegiatan dagang juga berdakwah, itu berlangsung dari awal abad 19 Masehi hingga sampai berakhirnya masa penjajahan Belanda. 

Mereka ada yang tinggal di Kwitang Jakarta, ada juga yang bermukim di Surabaya dan beberapa daerah di Indonesia.

Sementara Ulama pesantren di Jawa berkegiatan mengajar ilmu-ilmu agama Islam, hingga dikatakan ulama karena kealimannya, rerata ulama tersebut sebagian mesantren di Mekkah Al-Mukarramah di bawah bimbingan masyayikh, muallifin dan mushonifin terutama mengaji di bawah bimbingan Sayyid ulama Hijaz Syaikh Nawawi al-Bantani dan Syaikh Mahfudz Termas, Syaikh Hatib Minangkabau.

Bisa saja telah terjadi interaksi antara para habaib dengan ulama pesantren, atau bisa jadi Habib Muhammad bin Ahmad al-Mukhdor mendatangi Hadrotusyaikh KH Hasyim Asy'ari di Tebuireng Jombang, tetapi apakah bicara tentang jam'iyah, apakah bicara tentang kesadaran kebangkitan atas penjajahan, apakah bicara tentang ide mengorganisir seluruh ulama dan Habaib hingga terbentuknya  suatu organisasi atau perserikatan?.

Era penjajahan yang terpikirkan kemungkinan besarnya adalah bagaimana hidup, bagaimana ibadah, karena itu sedikit yang bicara soal kesadaran kebangkitan, hanya sedikit yang memikirkan nasib tanah airnya. 

Lahirnya Boedi Oetomo 1908 oleh kaum aristokrat seperti Dr. Wahidin Sudirohusodo, dr. Cipto Mangunkusumo adalah sekian kecil dari para bangsawan Jawa yang tergugah untuk melakukan sikap perlawanan atas penjajah.

Lahirnya SDI juga karena melihat ketidakadilan,  pendirinya yakni Husni Thamrin dan H.O.S Cokroaminoto, H. Agus Salim beberapa tokoh yang memiliki sense of responsibilities karena sudah muak melihat aturan kolonial yang berakibat meningkatnya kesengsaraan kaum pribumi.

Semua perkumpulan atau perserikatan yang didirikan kaum pribumi merupakan antiklimaks dari sikap perlawanan pribumi untuk mengusir penjajah Belanda, lain tujuan itu sama sekali tidak, muaranya adalah bagaimana caranya mengusir penjajah.

Sejarah Lahirnya NU

Menurut KH. As'ad Syamsul Arifin, ulama NU yang kharismatik dari Asembagus Situbondo yang juga adalah saksi sejarah lahirnya Jam'iyah Nahdlatul Ulama telah menceritakan ( sumber dari rekaman pidato KH. As'ad Syamsul Arifin), begini.

" Kira-kira tahun 1920, waktu saya ada di Bangkalan Madura, di pondok Kiai Kholil. Adalah Kiai Muntaha Jengkebuan menantu Kiai Kholil, mengundang tamu para ulama dari seluruh Indonesia. 

Secara bersamaan tidak dengan berjanji datang bersama, sejumlah sekitar 66 ulama dari seluruh Indonesia, masing masing-masing ulama melaporkan, dengan kata-kata bagaimana kiai Muntaha? tolong sampaikan kepada Kiai Kholil, saya tidak berani menyampaikannya, ini semua sudah berniat untuk sowan kepada Hadrotusyaikh, tidak ada yang berani kalau bukan anda yang menyampaikannya ". 

Di luar dugaan, ketika Kiai Muntaha hendak menghadap kepada Kiai Kholil di Bangkalan, tiba-tiba kiai Muntaha dan 66 orang kiai itu didatangi oleh Kiai Nasib, suruhan Kiai Kholil dengan menyampaikan ayat yang ke 32 dari al-Quran surat al-Taubat.

Semua dibuat tercengang karena Kiai Kholil justru sudah tahu maksud mereka mau sowan kepadanya, hingga 66 kiai yang di jungkeban tidak jadi sowan kepada Kiai Kholil di Bangkalan, karena mereka sudah puas ada jawaban ayat yang disampaikan oleh kiai Nasib, atas perintah Kiai Kholil.

Pada ahun 1921, dilanjutkan di tahun 1922 ulama ahli Sunnah wal Jama'ah berjumlah 46 orang yang semuanya pengasuh pesantren mengadakan musyawarah di rumah Mas Alwi di Kawatan Surabaya, diantara 46 ulama itu adalah ayahnya Kiai As'ad Syamsul Arifin yaitu Kiai Syamsul Arifin, ada pula Kiai dari pondok Sidogiri, Kiai Hasan Genggong. 

Sementara dari Kudus ada Kiai Raden Asnawi, sisanya dari Jombang, namun musyawarah tersebut tidak menemukan kesimpulan ( sumber rekaman pidato KH. As'ad Syamsul Arifin).

Masih penuturan KH. As'ad Syamsul Arifin, bahwa pada tahun 1924 ia dipanggil gurunya yakni Syaikhona Kholil untuk menemui KH. Hasyim Asy'ari di Tebuireng Jombang, agar membawakan sebuah tongkat dan diberikan kepada KH. Hasyim Asy'ari, disertai pula tugas untuk menyampaikan ayat Al-Qur'an ( 17-21) surat Thoha.

Sesampainya di pesantren Tebuireng, tongkat Syaikhona Kholil diterima oleh KH. Hasyim Asy'ari, dan Kiai Hasyim mengatakan kepada As'ad Syamsul Arifin " alhamdulillah nak, saya ingin mendirikan Jam'iyah ulama, saya teruskan kalau begini dan tongkat ini tongkat Nabi Musa yang diberikan Kiai Kholil kepada saya ".

Masih di tahun yang sama yakni tahu  1924, hanya beda bulan Kiai As'ad Syamsul Arifin ditugaskan kembali oleh gurunya untuk datang kembali ke pesantren Tebuireng, kata Syaikhona Kholil kepada As'ad Syamsul Arifin" As'ad, kesini ! Kamu tidak lupa rumahnya Hasyim, ini tasbih antarkan " lalu disuruh pegang ujung tasbihnya, kemudian Syaikhona Kholil mengucapkan " ya Jabbar ya Jabbar ya Jabbar, ya Qohhar ya Qohhar ya Qohhar ".

Sesampainya di Tebuireng, Kiai As'ad Syamsul Arifin menyerahkan tasbih dan mengucapkan ya Jabar ya Qohhar sesuai yang diperintahkan syaikhona Kholil gurunya, kemudian KH. Hasyim Asy'ari mengatakan kepada kiai As'ad ketika akan menerima tasbih tersebut " Masya Allah, Masya Allah saya diperhatikan betul oleh guru saya, mana tasbihnya ?". 

Lalu KH. Hasyim Asy'ari berucap" siapa yang berani pada jam'iyah ulama akan hancur, siapa yang berani pada ulama akan hancur ".

Pada 31 Januari 1926, bertepatan 16 Rajab 1344 H, pukul 11:15 WITA bertempat di gedung Bubutan Surabaya, Jawa Timur Jam'iyah Nahdlatul Ulama telah lahir sebagai organisasi para ulama yang bermadzhab Ahli Sunnah wal Jama'ah, sekaligus wadahnya kiai-kiai pesantren. 

Meski sebelumnya melalui proses panjang niatan para ulama untuk mendirikan Jam'iyah ulama dari runtutannya sejak tahun 1920, 1921, 1922, 1923 hingga 1924.

Jadi kelahiran Nahdlatul Ulama tidak kala itu langsung jadi di tahun 1926, akan tetapi melalui proses panjang. 

Itupun diinisiasi, digagas, dan digerakan oleh kiai-kiai pesantren seluruh Jawa. Terutama peran KH. Wahab Hasbullah, KH. Ridwan Abdullah, Mas Alwi Abdul Aziz ( kiai ini yang mengusulkan nama Nahdlatul di depan kata Ulama), KH. Dahlan, KH. Raden Asnawi, KH. Maksum, KH. Hasan Genggong, KH. Nawawi Sidogiri.

Diantara para ulama tersebut, figur sentralnya yaitu KH. Hasyim Asy'ari, ulama besar yang ahli hadits, mutafannin, pendiri dan pengasuh Pesantren Tebuireng yang oleh seluruh ulama di Jawa menggelarinya dengan Hadrotusyaikh. 

Berdasarkan restu dan do'anya Syaikhona Kholil Bangkalan, maka Hadrotusyaikh KH. Hasyim Asy'ari memimpin pendirian Jam'iyah Nahdlatul Ulama.

Dengan demikian tidak ada sama sekali peran Habaib di dalam proses pendirian Jam'iyah Nahdlatul Ulama. 

Meskipun ada yaitu Habib Hisyam Pekalongan, buyut Maulana Habib Lutfi Pekalongan itu hanya pada restu beliau kepada Hadrotusyaikh KH. Hasyim Asy'ari dan ikut mendoakannya. Lain itu tidak ada. 

Struktur Awal

Untuk lebih jelas bahwa Jam'iyah Nahdlatul Ulama didirikan oleh para ulama Ahli Sunnah wal Jama'ah, maka saya tuliskan struktur pengurus NU di tahun 1926, yaitu. 

Syuriah

Rois Akbar : Hadrotusyaikh KH. Hasyim Asy'ari

Wakil Rois : KH.  Ahmad Dahlan ( Surabaya )

Katib Awal : KH. Abdul Wahab Hasbullah

Katib Tsani: KH. Abdul Halim Leuwimunding 

A'wan : 

KH. Mas Alwi Abdul Aziz

KH. Ridwan 

KH. Said 

KH. Bisri Sansuri

KH. Abdullah Ubaid

KH. Nachrawi ( Malang)

KH. Amin

KH. Masyhuri 

KH. Nachrawi ( Surabaya)

Mustasyar

KH. Raden Asnawi Kudus

KH. Ridwan ( Semarang)

KH. Mas Nawawi ( Sidogiri)

KH. Muntaha ( Madura)

Syaikh Ghanaim al-Misri 

KH. Raden Hambali

Tanfidziyah

Ketua : H. Hasan Gipo ( Surabaya)

Sekretaris: H. Sidiq ( Pemalang)

Bendahara:

H. Burhan

H. Saleh Syamil

H. Ichsan 

H. Djafar Aiwan

H. Usman 

H. Achzab

H. Nawawi

H. Dahlan 

H. Mangun 

Struktur Pengurus awal Jam'iyah Nahdlatul Ulama tahun 1926 diambil dari sumber buku karya Abu Bakar Atjeh yaitu " Sejarah Hidup KH.A. Wachid Hasyim ", dan dari buku karya Muhammad Rifai yaitu " KH. Hasyim Asy'ari, Biografi Singkat 1871-1947 ". 

Kesaksian Orang Barat 

Adalah Prof. Benhard Dahm dalam bukunya " History of Indonesia in the twentieth Century " telah menjelaskan mengenai figur keulamaan Hadrotusyaikh KH Hasyim Asy'ari Tebuireng. 

" At the same time as the traditional authorities declined in public estimation a new elite came into prominence the hajis and the kyais " 

Sementara Peter Mansfield menggambarkan gerakan ilmiah yang dilakukan oleh KH Hasyim Asy'ari dan ulama lainnya dalam upaya menghadapi bahaya ekspansionisme Eropa, ia mengatakan. 

" The burden of their calls was that they should unite in a great pan islamic movement to face the common danger of Europe pean expansionism"

Jadi dalam kesejarahan di awal abad 20, pergolakan yang tengah terjadi, dan pergulatan dalam upaya kebangkitan tanah air yang digerakkan oleh Hadrotusyaikh KH Hasyim Asy'ari mendapat sorotan dari para sejarawan Barat yang hidup sekurun dengan Hadrotusyaikh. Figur ulama besar tanah Jawa bahkan Nusantara umunya, ada pada sosok Hadrotusyaikh KH Hasyim Asy'ari. 

Kesaksian Orang Barat tersebut kita pahami bahwa derajat Hadrotusyaikh KH Hasyim Asy'ari pasca meninggalnya syaikhona Kholil Bangkalan yang tertinggi dari sekian ulama yang ada di Nusantara, karena kealimannya, kesalehannya, akhlaqnya, dan spiritualitasnya. 

Kita pun tentu tahu bahwa Hadrotusyaikh KH Hasyim Asy'ari adalah keturunan Kanjeng Sunan Giri, Syaikh Sayid Ainul Yaqin bin Syaikh Sayyid Maulana Ishak II, dan itu artinya Kanjeng Sunan Giri berdasarkan Naqob internasional tersambung pada jalur keturunan Saidina Hasan bin Sayyidah Fatimah Az-Zahra binti Nabi Muhammad Rosulillah S.a.w. 

Kesimpulan

Berdasarkan sejarah yang benar dan valid, bahkan sesuai bukti, informasi dari saksi sejarah berdirinya Jam'iyah Nahdlatul Ulama yaitu KH. As'ad Syamsul Arifin tidak disebutkan Habib siapapun dari marga manapun yang ikut mendirikan Jam'iyah Nahdlatul Ulama. 

Penulis : Hamdan Suhaemi

Wakil Ketua PW GP Ansor Banten

Ketua PW Rijalul Ansor Banten

Idaroh Wustho Jatman Banten

Friday 5 April 2024

Membantah Syubhat W4h4b1

Praktik Bid'ah Hasanah para Sahabat Setelah Rasulullah Wafat

Para sahabat sering melakukan perbuatan yang bisa digolongkan ke dalam bid'ah hasanah atau perbuatan baru yang terpuji yang sesuai dengan cakupan sabda Rasulullah SAW:

مَنْ سَنَّ فِى اْلاِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ غَيْرِ اَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْئًا

Siapa yang memberikan contoh perbuatan baik dalam Islam maka ia akan mendapatkan pahala orang yang turut mengerjakannya dengan tidak mengurangi dari pahala mereka sedikit pun. (HR Muslim)

Karena itu, apa yang dilakukan para sahabat memiliki landasan hukum dalam syariat. Di antara bid'ah terpuji itu adalah:

a. Apa yang dilakukan oleh Sayyidina Umar ibn Khattab ketika mengumpulkan semua umat Islam untuk mendirikan shalat tarawih berjamaah.

Tatkala Sayyidina Umar melihat orang-orang itu berkumpul untuk shalat tarawih berjamaah, dia berkata: "Sebaik-baik bid'ah adalah ini".

Ibn Rajar al- Asqalani dalam Fathul Bari ketika menjelaskan pernyataan Sayyidina Umar ibn Khattab "Sebaik-baik bid'ah adalah ini" mengatakan:

"Pada mulanya, bid'ah dipahami sebagai perbuatan yang tidak memiliki contoh sebelumnya. Dalam pengertian syar'i, bid'ah adalah lawan kata dari sunnah. Oleh karena itu, bid'ah itu tercela. 

Padahal sebenarnya, jika bid'ah itu sesuai dengan syariat maka ia menjadi bid'ah yang terpuji. Sebaliknya, jika bidطah itu bertentangan dengan syariat, maka ia tercela. 

Sedangkan jika tidak termasuk ke dalam itu semua, maka hukumnya adalah mubah: boleh-boleh saja dikerjakan. Singkat kata, hukum bid'ah terbagi sesuai dengan lima hukum yang terdapat dalam Islam".

b. Pembukuan Al-Qur'an pada masa Sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq atas usul Sayyidina Umar ibn Khattab yang kisahnya sangat terkenal.

Dengan demikian, pendapat orang yang mengatakan bahwa segala perbuatan yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah adalah haram merupakan pendapat yang keliru. 

Karena di antara perbuatan-perbuatan tersebut ada yang jelek secara syariat dan dihukumi sebagai perbuatan yang diharamkan atau dibenci (makruh).

Ada juga yang baik menurut agama dan hukumnya menjadi wajib atau sunat. 

Jika bukan demikian, niscaya apa yang telah dilakukan oleh Abu Bakar dan Umar sebagai­mana yang telah dituliskan di atas merupakan perbuatan haram. 

Dengan demikian, kita bisa mengetahui letak kesalahan pendapat tersebut.

c. Sayyidina Utsman ibn Affan menambah adzan untuk hari Jumat menjadi dua kali. Imam Bukhari meriwatkan kisah tersebut dalam kitab Shahih-­nya bahwa penambahan adzan tersebut karena umat Islam semakin banyak. 

Selain itu, Sayyidina Utsman juga memerintahkan untuk mengumandangkan iqamat di atas az-Zawra', yaitu sebuah bangunan yang berada di pasar Madinah.

Jika demikian, apakah bisa dibenarkan kita mengatakan bahwa Sayyidina Utsman ibn Affan yang melakukan hal tersebut atas persetujuan seluruh sahabat sebagai orang yang berbuat bid'ah dan sesat? 

Apakah para sahabat yang menyetu­juinya juga dianggap pelaku bid'ah dan sesat?

Di antara contoh bid'ah terpuji adalah mendirikan shalat tahajud berjamaah pada setiap malam selama bulan Ramadhan di Mekkah dan Madinah, mengkhatamkan Al-Qur'an dalam shalat tarawih dan lain-lain. 

Semua perbuatan itu bisa dianalogikan dengan peringatan maulid Nabi Muhammad SAW dengan syarat semua perbuatan itu tidak diboncengi perbuatan-perbuatan yang diharamkan atau pun dilarang oleh agama. 

Sebaliknya, perbuatan itu harus mengandung perkara-perkara baik seperti mengingat Allah dan hal-hal mubah.

Jika kita menerima pendapat orang-orang yang menganggap semua bid'ah adalah sesat, seharusnya kita juga konsekuen dengan tidak menerima pembukuan Al-Qur'an dalam satu mushaf, tidak melaksanakan shalat tarawih berjamaah dan mengharamkan adzan dua kali pada hari Jumat serta menganggap semua sahabat tersebut sebagai orang-­orang yang berbuat bid'ah dan sesat.

Oleh:

Dr. Oemar Abdallah Kemel

Ulama Mesir kelahiran Makkah al-Mukarromah

Dari karyanya "Kalimatun Hadi’ah fil Bid’ah" yang diterjemahkan oleh PP Lakpesdam NU dengan "Kenapa Takut Bid’ah?"

Wallahu a'lam

Sumber: NU Online

Monday 1 April 2024

Keberkahan Waktu Pagi

Dokumen : Membiasakan anak-anak berktifitas Pagi hari agar kelak terbiasa sampai dewasanya

Waktu pagi merupakan waktu yang berkah, hidup yang membawa kenerkahan adalah hidup yang senantiasa membawa kebaikan, dan kebaikannya cederung bertambah, dan mampu dirasakan kemashlahatanya bagi dirinya maupun orang lain. 

keberkahan waktu pagi, khususnya dalam mengawali aktifitas disebut oleh Allah swt pada salah satu firman-Nya. 

وَإِذْ غَدَوْتَ مِنْ أَهْلِكَ تُبَوِّئُ الْمُؤْمِنِينَ مَقَاعِدَ لِلْقِتَالِ وَاللّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

"Dan (ingatlah), ketika kamu berangkat pada pagi hari dari (rumah) keluargamu akan menempatkan para mukmin pada beberapa tempat untuk berperang." (QS Ali Imran [3]: 121)

Waktu pagi adalah momen paling berkah yang apabila seorang melewatkannya begitu saja maka ia akan kehilangan banyak kebaikan. 

Dari 'Aisyah radhiyallahu 'anha, Nabi shallallhu 'alaihi wa sallam bersabda: "Dua rakaat sholat Fajar (sebelum Subuh) lebih baik dari pada dunia dan seisinya." (HR Muslim)

Ketika Rasulullah pulang sholat Shubuh dari Masjid Nabawi, beliau menasihati putrinya Fathimah Az-Zahra radhiyallahu 'anha. 

Beliau bersabda: "Wahai anakku, bangunlah. Saksikanlah rezeki Tuhan-mu dan janganlah kamu termasuk orang yang lalai, karena Allah memberi rezeki kepada hamba-Nya antara terbit fajar dengan terbit matahari." (HR Imam Ahmad dan Al-Baihaqi)

Rasulullah SAW sangat menaruh perhatian di waktu pagi hingga beliau memanjatkan doa kepada Allah:

اللَّهُمَّ بَارِكْ لأُمَّتِى فِى بُكُورِهَا

"Ya Allah, berkahilah umatku di waktu paginya."

Waktu pagi, waktu yang menggoda untuk merebahkan anggota badan, tidur, bermalas-malasan. Apalagi momen puasa Ramadhan, waktu pagi seakan menjadi waktu yang tepat untuk "balas dendam " karena malamnya habis untuk beribadah. 

Aktifitas apapun itu, semoga kita semua dalam kehidupan kita senantiasa diliputi keberkahan kemaslahatan bagi sesama Makhluq-Nya. Amiin

Allohu A'lam

Thursday 21 March 2024

Fatwa Ulama Salafi Menjawab Ustadz Basalamah Tentang Imsak

Tiap Ramadan selalu muncul pernyataan ustaz-ustaz Salafi yang membid'ahkan Imsak. Hal ini berawal dari Fatwa Syekh Utsaimin. 

Tapi memang para pengikutnya di Indonesia kurang baca kitab-kitab sesama mereka, akhirnya kebenaran hanya dianggap datang dari 1 Syekh saja.

Ada seorang ulama Salafi yang fatwa-fatwanya sering mengutip pendapat Syekh Bin Baz dan lainnya, takhrij hadisnya banyak mengambil dari Syekh Albani. 

Tapi giliran masalah Imsak sebelum azan Subuh justru menilai bukan bid'ah. Karena beliau memakai pendekatan Ilmu Ushul Fikih. Berikut fatwa Syekh Abdullah Al-Faqih:

ﻭﺃﻣﺎ ﻛﻮﻥ اﻹﻣﺴﺎﻙ ﻗﺒﻞ اﻷﺫاﻥ ﺑﺪﻋﺔ ﻓﻠﻴﺲ ﺫﻟﻚ ﺑﺼﺤﻴﺢ ﻷﻥ اﻷﻣﺮ ﻋﻠﻰ اﻹﺑﺎﺣﺔ ﻭﻟﻴﺲ ﻋﻠﻰ اﻟﻮﺟﻮﺏ ﺃﻥ ﻳﺄﻛﻞ ﻭﻳﺸﺮﺏ ﺣﺘﻰ ﻳﻄﻠﻊ اﻟﻔﺠﺮ.

ﻭﻗﺪ ﻛﺎﻥ اﻟﺼﺤﺎﺑﺔ ﻣﻨﻬﻢ ﻣﻦ ﻳﻤﺴﻚ ﻗﺒﻞ اﻟﻔﺠﺮ ﻭﻗﺪ ﺟﺎء ﻓﻲ ﺻﺤﻴﺢ اﻟﺒﺨﺎﺭﻱ ﻋﻦ ﺯﻳﺪ ﺑﻦ ﺛﺎﺑﺖ ﺃﻧﻬﻢ ﻛﺎﻧﻮا ﻳﺘﺴﺤﺮﻭﻥ ﻣﻊ ﺭﺳﻮﻝ اﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺛﻢ ﻳﻘﻮﻣﻮﻥ ﻟﻠﺼﻼﺓ ﻓﺴﺌﻞ ﻛﻢ ﻛﺎﻥ ﺑﻴﻦ ﺫﻟﻚ ﻓﻘﺎﻝ: (ﻣﻘﺪاﺭ ﺧﻤﺴﻴﻦ ﺁﻳﺔ.)

"Imsak sebelum azan subuh dianggap bid'ah adalah tidak benar. Sebab perintah dalam ayat adalah kebolehan, bukan kewajiban untuk makan dan minum hingga terbit fajar. Sungguh para Sahabat ada yang sudah Imsak (tidak makan dan minum) sebelum subuh. 

Sudah dijelaskan dalam hadis Bukhari dari Zaid bin Tsabit bahwa mereka sahur bersama Nabi shalallahu alaihi wasallam lalu melaksanakan salat. Setelah ditanya berapa jarak antara makan sahur dan salat subuh, maka dijawab "sekitar 50 ayat" (Fatawa Syabakah Islamiyah, no 1817)

○ Dalil Imsak ada, Ustaz. Anda saja yang tidak tahu.


Penulis : KH. Ma'ruf Khozin