HWMI.or.id

Wednesday, 24 May 2023

Aqidah Al-imam Al-hafidz Al-baihaqi & Gurunya

 


1. Aqidah Imam Abu Manshur Al-baghdadi (Guru al-Hafizh al-Baihaqi)

Al-Imam al-Muhaddits al-Faqih Abu Manshur al-Baghdadi asy-Syafi'i, seorang imam terkemuka digambarkan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar sebagai al- Imam al-Kabir Imam Ash-habina (Imam ulama madzhab Syafi'i), yang juga merupakan salah satu guru al-Hafizh al-Baihaqi, dalam salah satu karyanya berjudul Tafsir al-Asma Wa Sh-Shifat, berkata:

وقال الإمام المحدّث الفقيه الشافعي أبو منصور البغدادي ما نصه: «وأجمعَ أصحابنا على إحالة القول بأنه في مكان أو في كل مكان، ولم يجيزوا عليه مماسة ولا ملاقاة بوجه من الوجوه، ولكن اختلفت عباراتهم في ذلك، فقال أبو الحسن الأشعري: إن الله تعالى لا يجوز أن يقال: إنه في مكان، ولا يقال: إنه مباين للعالم، ولا إنه في جوفِ العالم، لأن قولنا: إنه في العالم يقتضي أن يكون محدودًا متناهيًا، وقولنا: إنه مباينٌ له وخارج عنه يقتضي أن يكون بينه وبين العالم مسافة، والمسافة مكان، وقد أطلقنا القول بأنه غير مماس لمكان».اهـ.

"Ash-hab kami (ulama madzhab Syafi'i) sepakat tidak boleh dikatakan Allah berada di satu tempat atau di semua tempat [artinya; Allah ada tanpa tempat], juga tidak boleh dikatakan bagi-Nya menempel dan berhadap-hadapan. Hanya saja ungkapan mereka dalam hal ini memiliki perbedaan.

Abul Hasan al-Asy'ari berkata: "Sesungguhnya Allah tidak boleh dikatakan bagi-Nya [berada] pada tempat, juga tidak dikatakan bagi-Nya di luar (terpisah/mubayin) dari alam, juga tidak dikatakan di dalam alam. Karena perkataan "di dalam alam" memberikan pemahaman Allah dibatasi (memiliki bentuk/penghabisan), dan perkataan "di luar (terpisah)" memberikan pemahaman antara Allah dan alam terdapat jarak, padahal jarak itu adalah tempat, sementara telah kita tegaskan bahwa Allah tidak bersentuhan dengan tempat". 

[Demikian catatan Abu Manshur al- Baghdadi, Tafsir al-Asma' Wa ash-Shifat (h. 151), manuskrip].

2. Aqidah Imam Al-hafidz Al-baihaqi

Secara ringkas, Imam al-Hafidz al-Baihaqi al-Asy’ary menegaskan aqidah ulama salaf Ahlussunnah Wal Jama’ah tersebut seperti berikut:

وَفِي الْجُمْلَةِ يَجِبُ أَنْ يُعْلَمَ أَنَّ اسْتِوَاءَ اللَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى لَيْسَ بِاسْتِوَاءِ اعْتِدَالٍ عَنِ اعْوِجَاجٍ وَلَا اسْتِقْرَارٍ فِي مَكَانٍ، وَلَا مُمَّاسَّةٍ لِشَيْءٍ مِنْ خَلْقِهِ، لَكِنَّهُ مُسْتَوٍ عَلَى عَرْشِهِ كَمَا أَخْبَرَ بِلَا كَيْفٍ بِلَا أَيْنَ، بَائِنٌ مِنْ جَمِيعِ خَلْقِهِ، وَأَنَّ إِتْيَانَهُ لَيْسَ بِإِتْيَانٍ مِنْ مَكَانٍ إِلَى مَكَانٍ، وَأَنَّ مَجِيئَهُ لَيْسَ بِحَرَكَةٍ، وَأَنَّ نُزُولَهُ لَيْسَ بِنَقْلَةٍ، وَأَنَّ نَفْسَهُ لَيْسَ بِجِسْمٍ، وَأَنَّ وَجْهَهُ لَيْسَ بِصُورَةٍ، وَأَنَّ يَدَهُ لَيْسَتْ بجَارِحَةٍ، وَأَنَّ عَيْنَهُ لَيْسَتْ بِحَدَقَةٍ، وَإِنَّمَا هَذِهِ أَوْصَافٌ جَاءَ بِهَا التَّوْقِيفُ، فَقُلْنَا بِهَا وَنَفَيْنَا عَنْهَا التَّكْيِيفَ

“Secara global harus diketahui bahwa istiwa’-nya Allah swt. bukanlah istiwa’ yang bermakna lurus dari bengkok ataupun bermakna menetap di suatu tempat. Juga bukan bermakna menyentuh satu dari sekian makhluk-Nya. Akan tetapi Allah istiwa’ atas Arasy seperti yang Allah beritakan tanpa ada tata cara dan tanpa ada pertanyaan “di mana”, dan Ia terpisah dari seluruh makhluk-Nya. 

Dan bahwasanya sifat ityân (kedatangan) Allah bukan datang dalam arti perpindahan dari satu tempat ke tempat yang lain; sifat majî' (kehadiran) Allah bukan suatu gerakan; sifat nuzûl (turun) bukan suatu perpindahan; sifat nafs (diri) bukan suatu jism, sifat wajh (wajah) bukan sebuah bentuk fisik; dan bahwa yad (tangan)-Nya bukan sebuah organ bertindak; 'ain (mata)-Nya bukan sebuah organ penglihatan; tetapi Ini semua adalah sifat yang disebutkan oleh Nabi Muhammad tanpa bisa dipertanyakan (tawqîf), maka kami menetapkan keberadaannya dan meniadakan tata cara atau makna leksikal (kaifiyah) darinya”. (al-Baihaqi, al-I’tiqâd, hlm. 117).


Sumber : website NU 

Monday, 22 May 2023

Mengenang KH Azizi Hasbullah

Perintah menyebut kebaikan orang yang telah wafat dari hadis yang sudah masyhur memang dihukumi daif. Namun Al-Hafidz Al-Iraqi memberi penilaian jayid pada hadis berikut:

ﻋﻦ ﻋﺎﺋﺸﺔ ﻗﺎﻟﺖ: ﺫﻛﺮ ﻋﻨﺪ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻫﺎﻟﻚ ﺑﺴﻮء ﻓﻘﺎﻝ: «ﻻ ﺗﺬﻛﺮﻭا ﻫﻠﻜﺎﻛﻢ ﺇﻻ ﺑﺨﻴﺮ»

Aisyah berkata bahwa ada orang yang meninggal lalu disebut keburukannya di depan Nabi shalallahu alaihi wasallam. Nabi bersabda: "Janganlah menyebut orang yang wafat di antara kalian kecuali kebaikan" (HR An-Nasai).

Di FB saya sejak kemarin bertebaran kabar wafatnya Kiai Azizi, baik sekedar doa atau sambil diimbuhi tulisan dan kisah bersama beliau, terkhusus para gus dan ustaz yang pernah belajar kepada beliau saat di Lirboyo. Semua menyaksikan beliau adalah ahli ilmu dan ibadah.

1. Keilmuannya 

Saya bersyukur sekali pernah ditunjuk menjadi notulen di LBM PWNU selama 10 tahun, 2008-2018. Sehingga saya tahu dapur redaksi penyortiran masalah hukum, proses debatnya dan finalisasi ketetapannya.

Para kiai, gus atau ustaz biasanya aktif di salah satu penyaringan pertanyaan, atau saat pembahasan atau saat penyusunan redaksi. Beda sama Kiai Azizi. Di semua proses tersebut beliau selalu bersuara dan menyampaikan argumen.

Saat hendak akan dilangsungkan Bahtsul Masail ada beberapa PCNU yang mengajukan pertanyaan, oleh Tim LBM dipilih mana yang layak dibahas dan tidak. Saat pertanyaan dibaca itulah Kiai Azizi langsung menjawab. Ini tidak sekali dua kali, tapi sering. Hingga Gus Atho' Lirboyo dawuh: "Sudah Azizi, gak usah dijawab sekarang, malah gak jadi Bahtsul Masail nanti", disertai gelak tawa anggota LBM PWNU Jatim.

Ketika di arena Bahtsul Masail Kiai Azizi sering jadi moderator sendiri. Di momen seperti ini beliau seperti menjadi pemain tunggal. Pernah beliau bercanda: "Kalau gini ceritanya saya sendiri yang jawab, saya sendiri yang merumuskan dan saya sendiri yang mentashih. Jadi Bahtsul Masail sendirian".

Luasnya keilmuan dan bacaan kitab-kitab klasik dari Kiai Azizi akan terlihat saat beliau memberi tamsil, contoh-contoh kasus. Saya beberapa kali menyaksikan itu dan saya bilang dalam hati: "Ya Allah, ini seperti memberi tamsil dalam kaedah dan pengecualiannya yang ditulis oleh As-Suyuthi dalam Asybah wa Nadzair".

Saya tidak mampu merekam kealiman beliau selama mengikuti Bahtsul Masail bersama Kiai Azizi.

2. Ibadahnya

Karena para kiai dari berbagai daerah tentu saat melakukan Bahtsul Masail di daerah lain berstatus Musafir. Dalam kondisi seperti ini saya tidak melakukan salat sunah rawatib atau lainnya. Setahu saya berdasarkan riwayat berikut:

ﺳﺎﻓﺮ اﺑﻦ ﻋﻤﺮ ﺭﺿﻲ اﻟﻠﻪ ﻋﻨﻬﻤﺎ، ﻓﻘﺎﻝ: ﺻﺤﺒﺖ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻓﻠﻢ ﺃﺭﻩ ﻳﺴﺒﺢ ﻓﻲ اﻟﺴﻔﺮ

Ibnu Umar melakukan perjalanan dan berkata: "Saya menemani Nabi shalallahu alaihi wasallam maka saya tidak melihat beliau salat sunah selama perjalanan" (HR Al-Bukhari)

Tapi saat saya berjamaah dengan Kiai Azizi ternyata beliau melakukan salat sunah, apakah Qabliyah atau Ba'diyah. Kiai Azizi pernah mengalami kecelakaan sebelumnya sehingga mengalami patah tulang di kaki dan ketika Tahiyat akhir terlihat berat bagi beliau tapi masih tetap melakukan salat sunah. Saya pun tersadar dan berbisik dalam hati: "Ya Allah, Kiai Azizi yang dalam kondisi masyaqah masih menjalankan ibadah sunah, sementara saya yang sehat dan normal kok tidak menjalankan salat sunah?". Sejak saat itu saya berusaha menjalankan ibadah sunah.

Wa Akhiran

Keterkejutan saya akan wafatnya Kiai Azizi karena beliau relatif muda dan keilmuan beliau belum tertulis secara lengkap. Sebab semua ilmu yang beliau miliki akan terkubur sebagaimana sabda Nabi shalallahu alaihi wasallam:

ﺇﻥ اﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻻ ﻳﻘﺒﺾ اﻟﻌﻠﻢ اﻧﺘﺰاﻋﺎ ﻳﻨﺘﺰﻋﻪ ﻣﻦ اﻟﻌﺒﺎﺩ ﻭﻟﻜﻦ ﻳﻘﺒﺾ اﻟﻌﻠﻢ ﺑﻘﺒﺾ اﻟﻌﻠﻤﺎء 

Sungguh Allah tidak mengambil ilmu dengan cara mencabutnya dari hamba-hambaNya. Tapi Allah mencabut ilmu dengan mewafatkan para ulama (Muttafaq Alaih dari Abdullah bin Amr)

Semoga Pondok Lirboyo dan pesantren lainnya melahirkan kembali sosok ulama yang ahli ilmu dan ibadah seperti Kiai Azizi. Amin.

Photo : Kenangan Bahtsul Masail di Bangkalan, 2006, bersama Kiai Azizi. Kamera milik Kiai Zainur Rahman van Hamme

 

Penulis : KH. Ma'ruf Khozin

Saturday, 13 May 2023

Bacaan Syahadat

Bacaan Syahadat dalam Baiat yang dilakukan oleh KH Marzuqi Mustamar kepada UHA ada yang menilai berlebihan seperti di gambar.

Saya beri gambaran. Saat saya dilantik menjadi Ketua Komisi Fatwa MUI Jatim ada Baiat dan sumpah dengan membaca Syahadat. Lalu apakah MUI ini agama baru? Ya jangan lebay gitu lah.

Setiap mengawali khutbah Jumat saya terbiasa mengucapkan Syahadat -meskipun bukan kewajiban dalam khutbah-, lalu apakah sebelumnya Syahadat saya tidak sah? Dulu awal akad nikah satu-satunya juga baca Syahadat, apakah selain Syahadat KUA itu batal?

Di NU biasa membaca Syahadat diulang-ulang, saat pelantikan atau pengkaderan. Apakah di luar NU Syahadatnya tidak diakui? NU itu punya persaudaraan yang disebut ukhuwah islamiah, berarti NU tetap mengakui keislaman di luar ormasnya.

Fahimtum? Fahimna...

Argentum? Argentina...

Barcelontum? Barcelona...

Maimontum? Maimona...


Penulis : KH. Ma'ruf Khozin 

Thursday, 11 May 2023

Resmi : Ustadz Hanan Attaki Berbaiat Masuk Jam'iyah NU


Ustadz Hanan Attaki resmi berbaiat pada NU atas Bimbingan Dr KH Marzuki Mustamar, oleh Pengasuh Pondok Pesantren Sabilurrosyad Gasek Malang, Kamis (11/05/2023). Pembaiatan dilakukan dalam acara Halal Bihalal 1444 Hijriyah Keluarga Besar Pondok Pesantren Sabilurrosyad Gasek sekaligus Haul KH Ahmad Noer, KH Mustamar, dan KH Murtadho Amin.

Dilansir NUOnlineJatimKiai Marzuki secara gamblang membimbing Ustadz Hanan Attaki menyampaikan baiat NU. Baiat yang dibacakan oleh Pengasuh Pondok Pesantren Sabilurrosyad Gasek Malang tersebut diikuti Ustadz Hanan Attaki dengan disaksikan seluruh jamaah yang hadir.

"Alhamdulillah, malam ini adalah malam terbaik dalam hidup saya sejak ibu saya melahirkan saya. Karena bagi seorang mukmin dia dilahirkan 2 kali, pertama jasadnya oleh orangtua biologisnya, kedua dilahirkan ruhiyahnya oleh gurunya atau mursyidnya," kata Ustadz Hanan Attaki.

Ustadz Hanan Attaki menyampaikan, saat melaksanakan ibadah umrah di Tanah Suci kemarin dirinya juga selalu berdoa agar dipertemukan dengan mursyid atau murobbi yang bisa membimbingnya menuju dakwah di jalan-Nya.

"Sepulang umrah saya mudik ke Jawa Timur, ke kampung istri di Tuban. Lalu, istri saya bilang bahwa Kiai Marzuki merupakan gurunya saat belajar di Malang. Kemudian istri saya ajak tabarruk, tanpa berpikir panjang langsung berangkat," tambahnya.

Ustadz Hanan Attaki juga merasa terharu karena dakwah lembut yang disampaikan KH Marzuki Mustamar dalam menjelaskan konsep dakwah yang diajarkan ulama Ahlussunnah wal Jamaah yang sudah bertahan 100 tahun lebih.

“Akhirnya, saya minta izin untuk diangkat menjadi murid beliau. Insyaallah, mulai detik ini akan saya syiarkan ajaran Aswaja ala NU kepada muslimin, khususnya anak-anak muda di Indonesia," terangnya.

Berikut ini teks baiat NU oleh KH Marzuki Mustamar kepada Ustadz Hanan Attaki:

Bismillahirrahmanirrahim ...

Asyhadu alla ilaha illallah, wa asyhadu anna muhammadar Rasulullah. Radhitu billaha rabbah, wa bil islami dina, wa bi muhammadin nabiyya wa rasula.

  1. Saya Ustadz Hanan Attaki, menyatakan demi Allah benar-benar Muslim, Mukmin, dhohiron wa bathinan.
  2. Saya Ustad Hanan Attaki, menyatakan berbaiat, bersumpah, mengikuti ajaran akidah ulama, habaib, kiai dari kalangan Ahlussunnah wal Jamaah.
  3. Saya Ustadz Hanan Attaki bersumpah, berbaiat, demi Allah benar-benar masuk dan mengikuti jamiyah, jamaah dan ajaran Nahdlatul Ulama yang dita’sis oleh Hadratussyaikh KH M Hasyim Asy’ari, KH Abdul Wahad Hasbullah, KH Bisri Syansuri, dhohiron wa bathinan, wa radhitu bidzalika.
  4. Saya Ustadz Hanan Attaki, menyatakan benar-benar dhohiron wa bathinan menerima sistem bernegara, berbangsa, NKRI, yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, dengan bimbingan para ulama, para habaib dari Ahlussunnah wal Jamaah.
  5. Selanjutnya, kami menyatakan siap mati membela Islam, siap mati membela Ahlussunnah wal Jamaah, siap mati membela dan memperjuangkan Nahdlatul Ulama, siap mati untuk NKRI.

La haula wala quwwata illa billahil aliyyil ‘adzim.

Saturday, 6 May 2023

Tradisi Dalam Timbangan Hukum Islam

Pagi jelang siang saya bersama Kelompok Kerja Madrasah Ibtidaiyah 06 dan 07, yang meliputi Kec. Simokerto, Semampir dan Pabean Cantikan. Karena kebanyakan adalah para guru yang tergabung di PerguNU (Persatuan Guru NU) Kota Surabaya, maka saya menjelaskan Keabsahan Halal Bihalal yang sudah menjadi tradisi.

Berdasarkan riwayat berikut:

عَنْ عَبْدِ اللهِ قَالَ : مَا رَأَى الْمُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ وَمَا رَآهُ الْمُسْلِمُوْنَ سَيّئًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ سَيِّىءٌ وَقَدْ رَأَى الصَّحَابَةُ جَمِيْعًا أَنْ يَسْتَخْلِفُوْا أَبَا بَكْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ (رواه احمد والحاكم والطبراني والبزار . قال الذهبي قي التلخيص : صحيح وقال الهيثمي رجاله ثقات)

Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud, ia berkata: “Apa yang dilihat baik oleh umat Islam, maka baik pula bagi Allah. Dan apa yang dilihat buruk oleh umat Islam, maka buruk pula bagi Allah. Para sahabat kesemuanya telah berpandangan untuk mengangkat khalifah Abu Bakar”. 

(Riwayat Ahmad, al-Hakim, al-Thabrani dan al-Bazzar. Al-Dzahabi berkata: Sahih. Al-Haitsami berkata: Para perawinya terpercaya)

Hampir kebanyakan ulama Mazhab menjadijan riwayat di atas sebagai dalil penerimaan terhadap tradisi. Sebagian ulama juga menyebut riwayat tersebut berstatus marfu', seperti yang disampaikan oleh Syekh Musthafa Azzarqa:

ﻭﺇﻧﻪ ﻭﺇﻥ ﻛﺎﻥ ﻣﻮﻗﻮﻓﺎ ﻋﻠﻴﻪ ﻓﻠﻪ ﺣﻜﻢ اﻟﻤﺮﻓﻮﻉ، ﻷﻧﻪ ﻻ ﻣﺪﺧﻞ ﻟﻠﺮﺃﻱ ﻓﻴﻪ.

"Riwayat ini meskipun terhenti pada Ibnu Mas'ud namun hukumnya adalah marfu'. Sebab tidak ada ruang masuk bagi nalar di dalamnya". (Syarah Qawaid Fiqhiyyah, 219)

Kesimpulan ini pula yang banyak ditemukan di beberapa kitab klasik:

اِنَّ الشَّرْعَ اعْتَبَرَ عَادَةَ النَّاسِ لِقَوْلِهِ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ مَا رَآهُ الْمُؤْمِنُونَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ تَعَالَى حَسَنٌ (مجمع الأنهر في شرح ملتقى الأبحر الشيخ زاده الحنفي – ج 5 / ص 361)

“Sesungguhnya syariat membenarkan tradisi umat Islam, sesuai sabda Nabi: Apa yang dilihat baik oleh kaum mukminin, maka baik pula bagi Allah”. (Majma’ al-Anhar 5/361) 

وَعُرْفُ الْمُسْلِمِينَ وَعَادَتُهُمْ حُجَّةٌ مُطْلَقَةٌ قَالَ النَّبِيُّ : عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ مَا رَآهُ الْمُسْلِمُونَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ (بدائع الصنائع في ترتيب الشرائع - ج 11 / ص 437)

“Kebiasaan umat Islam dan tradisinya adalah sebuah dalil. Nabi bersabda: Apa yang dilihat baik oleh umat Islam, maka baik pula bagi Allah”. (Badai’ al-Shanai’, 11/437)

Bagi sebagian ulama fikih, teks ini memang populer sebagai hadis. Namun al-Hafidz al-Suyuthi menegaskan bahwa teks tersebut bukan hadis, namun atsar dari Abdullah bin Mas’ud seperti dalam al-Asybah wa al-Nadzair 1/164. Namun sekali lagi statusnya sebagai marfu'.

Tentu penerimaan tradisi tetap harus sesuai dengan hukum dalam Islam:

وَهَذَا الْأَثَرُ اسْتَدَلَّ بِهِ جُمْهُوْرُ الْعُلَمَاءِ عَلَى أَنَّ الْعُرْفَ حُجَّةٌ فىِ التَّشْرِيْعِ وَلَكِنْ بِشَرْطِ عَدَمِ تَعَارُضِهِ مَعَ النُّصُوْصِ الصَّرِيْحَةِ وَالْأُصُوْلِ الْمُقَرَّرَةِ ....

"Atsar ini dijadikan dalil oleh mayoritas ulama bahwa urf atau tradisi adalah sebuah dalil dalam agaman, namun dengan syarat tidak bertentangan dengan ajaran agama dan kaidah ushul yang telah ditetapkan...” (Fatawa al-Azhar 10/336).

Ada sekian banyak amalan yang mentradisi di lingkungan kita, sekali lagi kesemuanya dibenarkan dan boleh diamalkan, seperti yasinan, berkatan, zikir bersama, maulidan dan sebagainya.

Penulis : KH. Ma'ruf Khozin

Sunday, 30 April 2023

Perempuan Khutbah Jum'at, Bolehkah?

Khutbah jumat bukanlah pidato atau orasi bebas sebagaimana disangka oleh beberapa orang awam. Ia adalah bagian dari ritual ibadah yang mempunyai syarat, rukun dan kesunnahan. Di antara rukun khutbah yang harus ada adalah sebagaimana disebutkan oleh Imam Sirajuddin al-Bulqini berikut:

وأما الخطبة فيعتبر فيها اثنا عشر أمرا :

١ - كون الخطيب بحيث تصح الجمعة خلفه.

"Adapun khutbah, maka yang dianggap sah di dalamnya adalah 12 perkara: Pertama, khatibnya adalah orang yang sah menjadi imam shalat Jumat." (at-Tadrib, I/205). 

Dengan demikian, Khatib yang tidak sah untuk menjadi imam shalat jumat juga tidak sah apabila dia berkhutbah. Di antara yang tidak sah tersebut tentu saja wanita sebab wanita dilarang menjadi imam shalat bagi laki-laki sebagaimana maklum dalam semua kitab mazhab fikih. 

Tidak perlu baper soal ini sebab ini bukan soal emansipasi, bukan pula karena wanita dianggap "najis amat" sebagaimana disangka oleh orang yang tidak paham fikih.

Ini murni tentang ritual ibadah yang sah tidaknya hanya bergantung pada satu hal, yakni sesuai petunjuk Nabi Muhammad atau tidak. Tak ada urusannya persoalan fikih ibadah dengan emansipasi atau pemikiran Soekarno. 

Benar bahwa fikih memang selalu berkembang, tidak statis, tapi yang berkembang adalah objek pembahasannya di mana banyak kejadian di masa kini yang belum terjadi di masa lalu, bukan berkembang dan bisa berubah syarat-rukun ibadahnya sebagaimana disangka oleh Bapak Panji Gumilang pemimpin al-Zaitun yang mengaku bahwa dirinya mengikuti "mazhab Soekarno" dan merujuk pada buku "Di Bawah Bendera Revolusi".

Sebagaimana sampai kiamat nanti orang shalat harus berwudhu dulu tidak cukup hanya dengan mandi bersih pakai sabun, sampai kiamat juga imam shalat Jumat dan Khatib Jumat baru sah apabila dilakukan oleh lelaki, dan itupun tak sembarang lelaki tapi lelaki yang memenuhi syarat sebagaimana dibahas dalam kitab fikih. 

Sebab itu, ide Bapak Panji untuk menjadikan perempuan sebagai Khatib Jumat, yang diucapkan dengan nada gregetan sambil menepuk-nepuk meja, bukanlah ide yang revolusioner dan bahkan tidak ada hubungannya dengan revolusi sebagaimana sering dibicarakan oleh Bapak Soekarno di masa lalu. 

Ide semacam itu hanya menggambarkan ketidakpahaman terhadap fikih. Membawa-bawa isu emansipasi dalam hal ibadah ini hanyalah kebaperan yang kira-kira sama dengan kebaperan lelaki junub yang ditolak menjadi Khatib Jumat lalu marah-marah menggedor meja seolah tidak dihargai padahal dirinya adalah pejabat sukses. 

Persoalan fikih ini sudah jelas dan tidak layak dibahas panjang lebar. Yang barangkali perlu diketahui masyarakat umum adalah ada perbedaan antara seorang fakih (ahli fikih yang punya kapasitas untuk menjadi rujukan dalam masalah fikih) dan seorang manajer pesantren (orang yang memimpin tata kelola pesantren). Masyarakat kita banyak yang tidak mampu memahami perbedaan antara kedua istilah ini sehingga manajer pesantren biasanya dianggap fakih, padahal dalam urusan fikih dia masih awam. 

Orang yang mampu menjalankan tata kelola pesantren hanya layak dianggap sebagai manajer pesantren. Ia tidak punya kapabilitas untuk berbicara soal fikih apabila tidak mendalami persoalan fikih yang tertulis dalam kitab-kitab mazhab fikih. 

Apa pun gelar sosial yang diberikan masyarakat kepadanya, atau dipakai oleh dirinya sendiri, seperti gelar Syaikh, Kyai, Ustadz, Gus, atau semacamnya tak otomatis menjadikan dia sebagai ahli fikih apabila faktanya dia hanya bisa menjadi manajer saja. Cukuplah seorang manajer yang baik berbicara atau dirujuk dalam hal manajerial saja, jangan berbicara atau dirujuk dalam hal yang berada di luar kapasitasnya.

Penulis : Gus AWA

Ken Setiawan: 34 Pesantren Di Jateng Diduga Berafiliasi Jaringan Terorisme

Pendiri Negara Islam Indonesia (NII) Crisis Center yang juga mantan aktifis NII Ken Setiawan menyampaikan bahwa menurut rilis Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) di Provinsi Jawa Tengah termasuk paling banyak pesantren yang diduga teridentifikasi berafiliasi dengan jaringan terorisme. 

BNPT menyebutkan ada 198 pondok pesantren yang berafiliasi dengan jaringan terorisme, 34 diantaranya ada di wilayah Jawa Tengah. Harusnya Gubernur Jateng dapat penghargaan dari MURI. Jelas Ken. 

Uniknya di Indonesia, kalau hanya radikal secara pemikiran maka orang atau organisasi tersebut tidak bisa ditangkap dengan pasal terorisme sebelum dia melakukan aksi, jadi aparat hanya bisa melakukan monitoring terus menerus. 

Lemahnya hukum menjadi kendala dalam hal penindakan terkait jaringan radikalisme yang mengarah pada terorisme. Jadi minimal harus ada dua alat bukti maka baru bisa ditahan dengan pasal terorisme. 

Ken Setiawan membandingkan dengan hukum penindakan terorisme di Malaysia yang memberlakukan penahanan tanpa persidangan kepada tersangka teroris dan bisa ditahan selama 2 tahun. Bahkan bisa diperpanjang tanpa batas waktu maksimal berdasarkan Internal Security Act (ISA). 

Pembiaran dan ketidaktegasan pemerintah akhirnya banyak masyarakat yang berprasangka buruk jangan jangan pesantren pesantren radikal itu dipelihara oleh pemerintah atau tokoh politik untuk melanggengkan kekuasaanya, karena memang pesantren pesantren tersebut punya banyak massa sehingga diperhitungkan suaranya. Tutup Ken. 

Tuesday, 25 April 2023

Pilih Hadits Imam Madzhab Atau Hadits Shahihain (Bukhari Muslim)?

Penting kiranya faham riwayat hidup para Ulama Salafus shalih.

Kenapa para Imam Mazhab seperti Imam Abu Hanifah, Malik, Syafii dan Ahmad, tidak menggunakan hadits shahih Bukhari dan shahih Muslim yang katanya merupakan 2 kitab hadits tershahih?

 Untuk tahu jawabannya, kita mesti paham sejarah.

- Imam Abu Hanifah lahir tahun 80 H, 

- Imam Malik lahir tahun 93 H, 

- Imam Syafii lahir tahun 150 H dan 

- Imam Ahmad lahir tahun 164 H.

Sementara itu, 

- Imam Bukhari lahir tahun 196 H, 

- Imam Muslim lahir tahun 202 H.

(Artinya para imam Madzhab lebih dahulu lahir dari kedua muhadist tersebut).

Lalu, apakah hadits para Imam Mazhab lebih lemah dari Shohih Bukhari dan Shohih Muslim?"

Jawabannya : "Justru "sebaliknya". Hadits-hadits para Imam Madzhab lebih kuat dari hadits-hadits para Imam Hadits, karena para Imam Madzhab hidup lebih awal daripada Imam-imam Hadits".

Rasululloh bersabda :

خير الناس قرني ثم الذين يلونهم ثم الذين يلونهم

Sebaik-baik manusia adalah pada kurunku, kemudian kurun sesudahnya (sahabat), kemudian yang sesudahnya (Tabi’in).”

(HR متفق عليه / mutafaqu'alaih). 

Apa itu mutafaqu'alaih? Artinya hadist tersebut riwayat Bukhari, Muslim.

Jadi kalau ada manusia zaman sekarang yang mengklaim sebagai ahli hadits, lalu menghakimi bahwa pendapat Imam-imam Mazhab adalah salah dengan menggunakan alat ukur hadits-hadits Shahih Bukhori, Muslim, maka boleh dibilang orang itu TIDAK FAHAM Tarikh (sejarah).

Sadarilah oleh kita bahwa, para Imam Mazhab itu, seperti Imam Malik, melihat langsung cara shalat puluhan ribu anak-anak sahabat Nabi di Madinah. Anak-anak sahabat ini belajar langsung ke Sahabat Nabi yang jadi bapak mereka. Jadi lebih kuat ketimbang 2-3 hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari 100 tahun kemudian. 

Bahkan Imam Abu Hanifah bukan hanya melihat puluhan ribu anak-anak para sahabat melainkan beliau telah berjumpa dengan para sahabat Rasulullah SAW.

Imam Bukhari dan Muslim, meski termasuk pakar hadits PALING TOP, mereka tetap bermazhab. Mereka mengikuti mazhab Imam Syafi’ie.

 Berikut ini di antara para Imam Hadits yang mengikuti Mazhab Syafi’ie:

 - Imam Bukhori,

 - Muslim,

 - Abu Daud, 

 - An Nasa’i, 

 - Baihaqi, 

 - At Turmudzi, 

 - Ibnu Majah, 

 - At Thabari, 

 - At Thabrani, 

 - Ibnu Hajar Asqalani, 

 - An Nawawi, 

 - Ar Ramli, 

 - As Subki, 

 - As-Suyuthi, 

 - Ibnu Katsir 

 - dll.

Lalu ada yang bertanya, "Lho apa kita tidak boleh mengikuti hadits Shahih Bukhari, Sahih Muslim?" 

"Ya tentu boleh saja, tetapi bukan sebagai landasan utama melainkan hanya sebagai pelengkap.

Jika ada hadits yang bertentangan dengan ajaran Imam Mazhab, maka yang kita pakai adalah ajaran Imam Mazhab. Bukan hadits tersebut." 

"Kenapa seperti itu?" 

"Karena para Imam Hadits saja bermazhab.

Hampir seluruh imam Hadits, sekitar 70 % mengikuti Mazhab imam Syafi’ie?" 

"Kenapa tidak pakai hadis mereka sendiri para imam Hadist?" 

"Karena keilmuan agama mereka masih jauh di bawah para imam mazhab yang mengerti berbagai disiplin ilmu." 

Cukup banyak orang awam yang tersesat karena mendapatkan informasi yang sengaja disesatkan oleh kalangan tertentu yg penuh dengan rasa dengki dan benci.

Menurut kelompok itu Imam Mazhab yang 4 itu kerjaannya cuma merusak agama dengan mengarang-ngarang agama dan menambah-nambahi seenaknya.

Itulah fitnah kaum akhir zaman terhadap ulama salaf yg asli.

Padahal Imam Mazhab tersebut menguasai banyak hadits. 

Imam Malik merupakan penyusun Kitab Hadits Al Muwaththa. Dengan jarak hanya 3 level perawi hadits ke Nabi, jelas jauh lebih murni ketimbang Shahih Bukhari yang jaraknya ke Nabi bisa 6-7 level. 

Begitu juga dg Imam Syafii, selain mumpuni ilmu Fiqih, ilmu ushul fiqih, ilmu balaghoh, ilmu tafsir, dan disiplin ilmu agama lainnya, beliau juga sangat mumpuni dalam ilmu hadits. Beliau memiliki kitab hadis yang dikenal dengan Musnad Imam Syafii.

Sama halnya dengan Imam Ahmad, yang menguasai 750.000 hadits lebih, dikenal sebagai Ahli Hadits ketimbang Imam Mazhab.

Jadi, kesimpulannya kenapa Para Imam Mazhab yang empat sama sekali tidak pernah menggunakan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim?

Pertama, karena mereka lahir jauh lebih dulu sebelum Imam Bukhari (194) dan Imam Muslim (204 dilahirkan).

Kedua, karena keempat Imam Mazhab itu merupakan pakar hadits paling top di zamannya. Tidak ada ahli hadits yang lebih baik dari mereka.

Ketiga, karena keempat Imam Mazhab itu hidup di zaman yang lebih dekat kepada Rasulullah dibanding Imam Bukhori, Muslim, maka hadits mereka lebih kuat dan lebih terjamin keasliannya ketimbang di masa-masa berikutnya.

Jika dalam teknologi, makin baru maka makin canggih. Seperti Komputer, HP, dsb makin ke sini makin bagus kualitasnya. Tapi kalau hadits Nabi, justru makin lama makin murni.

Keempat, justru Imam Bukhari, Muslim malah bermazhab Syafi’ie. Hal itu karena hadits yang mereka kuasai jumlahnya tidak memadai untuk menjadi Imam Mazhab.

Imam Ahmad berkata; untuk menjadi Mujtahid, selain hafal al Qur’an juga harus menguasai minimal 500.000 hadits. Nah hadits Shahih yang dibukukan Imam Bukhari cuma 7000-an. Sementara Imam Muslim cuma 9000-an. Tidak cukup.

Ada beberapa tokoh yang anti terhadap Mazhab Fiqih yang 4 itu kemudian mengarang-ngarang sebuah nama khayalan yang tidak pernah ada dalam sejarah, yaitu "Manhaj Salaf”.

Mereka talfiq mencampur sesuatu sesuai selera dalam hal bermadzhab. Seolah-olah jika tidak bermanhaj salaf berarti tidak mengikuti ulama salaf?

Jikalau ada yang namanya Manhaj Salaf yang berfungsi sebagai metodologi istimbath hukum, lalu mana ushul fiqihnya? Mana kaidah-kaidah yang digunakan dalam mengistimbathkan hukumnya?

Apakah cuma sekedar menggunakan sistem gugur, bila ada dua hadits, yang satu kalah shahih dengan yang lain, maka yang kalah dibuang?

Lalu yang shahih wajib diikuti?

Lalu bagimana kalau ada hadits sama-sama dishahihkan oleh Bukhori dan Muslim, tetapi isinya bertentangan dan bertabrakan tidak bisa dipertemukan....???

Imam Syafi’ie membahas masalah kalau ada beberapa hadits sama-sama shahihnya tetapi matan-nya saling bertentangan, apa yang harus kita lakukan?

 Beliau telah menulis kaidah itu dalam kitabnya Ikhtilaaful Hadits.

Jika hanya baru tahu suatu hadits itu shohih, pekerjaan melakukan istimbath hukum belumlah selesai. Meneliti keshahihan hadits baru langkah pertama dari 23 langkah dalam proses istimbath hukum, yang hanya bisa dilakukan oleh para mujtahid.

Entah orientalis mana yang datang menyesatkan, tiba-tiba muncul generasi yang awam agama dan dicuci otaknya, dengan lancang menuduh keempat Imam Mazhab itu sebagai orang bodoh dalam ilmu hadits.

Hadits shahih versi Bukhari dibanding-bandingkan secara zahir dengan pendapat keempat mazhab, seolah-olah pendapat mazhab itu buatan manusia dan hadits shahih versi Bukhori itu datang dari Allah yang sudah pasti benar.

 Padahal cuma Al Qur’an yang dijamin kebenarannya. 

Hadits shahih secara sanad, belum tentu shohih secara matan.

Meski banyak hadits yang mutawatir secara sanad, sedikit sekali hadits yang mutawattir secara matan. 

Orang-orang awam itu dengan seenaknya menyelewengkan ungkapan para Imam Mazhab dari maksud aslinya :

“Bila suatu hadits itu shohih, maka itulah mazhabku”.

Kesannya, para Imam Mazhab itu tidak paham dengan hadits shahih, lalu menggantungkan mazhabnya kepada orang-orang yang hidup jauh setelahnya hanya dengan berdasarkan hadits shahih.

Padahal para Ulama Mazhab itu menolak suatu pendapat, karena menurut mereka hadits yang mendasarinya itu tidak shahih. Maka pendapat itu mereka tolak sambil berkata, ”Kalau hadits itu shahih, pasti saya pun akan menerima pendapat itu. Tetapi berhubung hadits itu tidak shahih menurut saya, maka saya tidak menerima pendapat itu”.

"Yang bicara bahwa hadits itu tidak shahih adalah profesor ahli hadits", yaitu para Imam Madzhab sendiri. Maka wajar kalau mereka menolaknya. Kalimat ungkapan tersebut untuk mereka para mujtahid bukan untuk kita para muqaliddin (pengekor ulama).


Penulis : Gus Musa Muhammad 

Makam KH Ahmad Siddiq, Rais Am PBNU 1984-1992

 

Makam Gus Miek, yang terletak di ujung selatan Kediri berbatasan dengan Tulungagung, sudah sangat masyhur dan menjadi kunjungan ziarah bersama Walisongo.

Di dekat beliau, tepatnya di sebelah selatannya, ada makam KH Ahmad Siddiq. Beliau adalah Rais Am PBNU yang terpilih bersama Gus Dur di Situbondo pada 1984, dengan pengangkatan sistem Ahlul Halli wal Aqdi yang dikomandani oleh KH As'ad Syamsul Arifin.

Kiai Ahmad Siddiq inilah salah satu pencetus dan perumus Khittah NU, hingga hari ini tetap dijadikan rel dalam berorganisasi sebagai organisasi keagamaan, sosial dan pendidikan.

Beliaulah yang menjelaskan apa itu ajaran Islam yang tawassuth, tawazun, i'tidal. Dan dari penjelasan beliau pula saya mengerti makna hadis:

العلماء ورثة الأنبياء

Para ulama adalah pewaris para Nabi (HR Tirmidzi dan lainnya).

Kriteria ulama yang mewarisi para Nabi, menurut KH Ahmad Siddiq ini ada 3A, yaitu harus Alim (berilmu), Abid (ahli ibadah) dan Arif (tahu kondisi dan keadaan umat dan zamannya sehingga bersikap bijaksana).

Bagi para peziarah makam Walisongo yang juga pengurus NU di semua tingkatan, sesudah dari makam Gus Miek, selayaknya melanjutkan ziarah tabaruk ke makam KH Ahmad Siddiq dan meminta kepada Allah agar diberi pertolongan dan kemudahan selama diberi amanah menjadi pengurus NU. Amin.

 Penulis: H. Ma'ruf Khozin 

Sunday, 23 April 2023

Sangat Keliru Jika Membagi Tauhid menjadi 3

Akhir-akhir ini ajaran Aqidah Salafi W4h4b1 yang membagi Tauhid menjadi 3 bagian (Rububiyah, Uluhiyah, Asma wa Sifat), semakin marak di Tanah Air. Banyak umat Islam Ahlussunnah Wal Jama´ah (ASWAJA) terpengaruh oleh ajaran itu.

Sebelum tahun 90-an pelajaran Aqidah Islam di sekolah-sekolah baik sekolah negeri maupun sekolah swasta mengajarkan Aqidah ASWAJA yang dikenal dengan Sifat 20 yang disusun oleh Ulama Tauhid ASWAJA yaitu Imam Abul Hasan Al Asy´ari (wafat 324H) dan Imam Abu Mansur Al Maturidi (wafat 333H). Aqidah ASWAJA dibawa oleh pendakwah-pendakwah dan ulama yang pertama datang ke Nusantara ini.

Dengan kelemah-lembutan dan kegigihan para pendakwah dan ulama itu Islam dapat diterima oleh masyarakat Indonesia secara luas. Rasulullah shallallahu alaihi wa aalihi wassalam telah memberi isyarat membenarkan Aqidah ASWAJA Asy’ariyyah / Maturidiyah yang berfiqih dengan bermazhab dan mendidik akhlaq dengan bertasauf.

Umat Islam ASWAJA telah secara tidak sadar terpengaruh oleh ajaran 3 bagian Tauhid ini, disebabkan selain oleh gencarnya dakwah ajaran Salafi W4h4b1 ini yang disponsori oleh suatu negara Petrodollar, juga kelemahan umat Islam ASWAJA sendiri, karena kita kurang intensiv dan gencar mengajarkan Aqidah ASWAJA kepada generasi penerus kita.

Tulisan ini kami sampaikan untuk membantu menjelaskan kepada Umat Islam ASWAJA akan kekeliruan ajaran Salafi W4h4b1 dalam membagi Tauhid menjadi 3 itu, dengan dalil Qur'an dan Sunnah. 

Selain itu marilah kita memperdalam dan memperkuat kefahaman kita tentang Aqidah ASWAJA yang telah disampaikan oleh Ulama-Ulama ASWAJA dari zaman ke zaman, untuk kemudian kita sampaikan kepada generasi setelah kita.

Secara singkat, Kekeliruan utama mereka adalah disebabkan menolak Ilmu Mantiq (Logika), bahkan mereka menuduh bahwa ilmu ini berasal dari Yunani, sehingga mereka menolak ilmu Aqidah ASWAJA (Sifat 20). 

Ilmu Mantiq disusun agar umat Islam tidak keliru dalam berfikir atau keliru menggunakan akal seperti yang berlaku pada kepercayaan Yunani, sebagaimana ilmu Tajwid disusun agar umat Islam tidak keliru dalam membaca Al Qur’an.

Ilmu ini semua sudah ada dan diamalkan dari zaman Rasulullah Shallallahu alaihi wa alihi wassalam, tetapi belum disusun sebab belum diperlukan. Tanpa ilmu Mantiq mengakibatkan keliru dalam berfikir atau menggunakan akal, sebagaimana tanpa ilmu Tajwid mengakibatkan keliru dalam membaca Al Qur’an. 

Keliru membaca Al Qur’an dapat membawa pada perubahan arti. Kekeliruan menggunakan akal berakibat keliru memahami Aqidah.

Berikut beberapa kekeliruan yang amat mendasar akibat keliru memahami Aqidah

1. Tidak dimasukannya Sifat Maha Pendidik dan Maha Pengasih dan Penyayang sebagai Sifat utama Rububiyah Allah dalam pembahasan Tauhid Rububiyah. Sedangkan arti Robb dan Rububiyah sangat erat dengan makna Pendidik dan Kasih Sayang. Ini menyebabkan hilang sensitifitas penganutnya terhadap Allah sebagai Robb dengan Sifat utama Rububiyah yaitu Yang Maha Pendidik dan Pemelihara serta Yang Maha Pengasih Dan Penyayang.

Sehingga pemahaman mereka sering jauh dari rahmat (kasih sayang) terhadap umat Islam lain, bahkan terhadap orang tua Rasulullah Shallallahu alaihi wa alihi wassalam. Mereka berani membuat tuduhan yang tidak patut kepada ayah dan ibunda Rasulullah Shallallahu alaihi wa alihi wassalam.

2. Dengan definisi Sifat Rububiyah yang tidak memasukan Sifat Maha Mendidik / Memelihara dan Sifat Rahmat (Kasih Sayang) sebagai Sifat Utama Rububiyah Allah, keluar pernyataan bahwa orang kafir mengakui Tauhid Rububiyah sebagaimana orang beriman. Pernyataan orang kafir mengakui Tauhid Rububiyah adalah mustahil. Karena Tauhid Uluhiyah dan Tauhid Rububiyah tidak dapat dipisahkan. 

Selain itu orang kafir berputus asa terhadap Sifat Utama Rububiyah yakni Rahmat Allah. Dalam Al Quran hanya ada pernyataan orang kafir mengakui adanya Allah tetapi bukan sebagai Robb bagi mereka. Bahkan Al Quran menyatakan bahwa orang kafir mengakui robb-robb selain Allah.

3. Dalam pembahasan Tauhid Asma Wa Sifat, metode pemahaman Asma dan Sifat Allah yang di satu sisi seolah-olah mempertahankan makna aslinya sedemikian rupa sehingga tidak mau bergeming dari mana zahirnya itu, sehingga menjerumuskan kepada pemahaman Mujassimah yaitu meyakini Allah mempunyai jism (sosok tubuh) misalnya menyifatkan Allah punya dua tangan, punya Wajah, punya kaki, Istawa alal arsy (bersemayam di atas arasy). Bahkan disebut dalam satu video bahwa Allah mempunyai sifat fisik.

Cara pemahaman seperti ini adalah melawan fitrah akal manusia, karena telah membahas dan memikirkan Dzat Allah secara tidak sadar. Rasulullah shallallahu alaihi wassalam jelas melarang kita berfikir tentang Dzat Allah. 

Akibat membicarakan Ayat Mutasyabihat ini menyebabkan seorang Ustad bergelar doktor menjadi lupa atau tidak tahu lagi hal pokok agama, bahwa Arasy adalah makhluk Allah. Ketika ditanya apakah Arasy itu makhluk, beliau jawab tidak tahu, alasan beliau adalah Arasy adalah tempatnya Allah bersemayam dan larangan Rasulullah shallallahu alaihi wassalam untuk berbicara di Dzat Allah.

Apakah menurutnya berbicara tentang Arasy sama dengan berbicara di Dzat Allah? Kita berlindung kepada Allah dari keyakinan seperti ini.

Tetapi dalam memahami Sifat Rububiyah dalam pembahasan Tauhid Rububiyah justru melanggar kaidah Tauhid Asma Wa Sifat yaitu menta´thil (menolak/membuang) makna zahirnya yaitu Maha Pendidik dan Pemelihara serta Yang Maha Pengasih dan Penyayang, Sehingga terlihat jelas Anomali Tauhid Asma Wa Sifat yang memahami sifat Allah sesuai lafaz zahir Asma dan Sifat Allah, kecuali Nama Robb dan Sifat RububiyahNya, Sikap anomali mereka lagi adalah mengatakan ulama bukanlah maksum, namun anehnya mereka tidak amalkan perkataan mereka ini pada ulama mereka sendiri.

Mereka amat meyakini bahwa perkataan ulama mereka adalah pasti benar walaupun ulama mereka tidak maksum. Dan menganggap perkataan ulama lain yang berbeda dengan mereka adalah salah, karena ulama bukan maksum. Hal ini dibahas dalam Bagian penting Kitab Risalah Ahlussunnah wal Jama’ah susunan KH Hasyim Asy’ari yang tidak diterangkan oleh Ustad Adi Hidayat.

4. Keliru menggunakan akal membawa kepada kerancuan dan kekacauan dalam kaidah tauhid yang memisahkan syahadat kepada Allah SWT dari syahadat kepada Rasulullah SAW. 

Kekeliruan Aqidah membawa kepada kekeliruan dalam cara dakwah mereka yang mengajak umat Islam untuk kembali kepada Qur´an dan Sunnah yang justru menjauhkan umat Islam dari ulama yang mengajarkan Qur´an dan Sunnah. dan anomali sikap pengikutnya yang percaya sesuatu hal kepada ahlinya kecuali dalam hal agama.

Semoga Allah memperkuat Umat Islam ASWAJA di tanah air kita tercinta ini hingga akhir zaman.

Sumber : Peci Hitam

Saturday, 22 April 2023

Memaafkan Tidaklah Wajib

"Aku kan sudah minta maaf, ya udah urusanku sudah selesai. Tinggal urusanmu sama Tuhan kalau nggak mau memaafkan"

"Yang penting aku sudah minta maaf, terserah dia mau memaafkan atau tidak".

"Aku kan sudah minta maaf. Kalau kamu tak memaafkan maka kamu yang jahat"

Pernah mendengar ucapan senada itu? Kalau pernah, maka anda harus membaca ini hingga tuntas.

Memaafkan adalah perintah Allah dan Rasulullah, tapi perintahnya bukan perintah wajib namun perintah sunnah. Kalau mau memaafkan orang yang zalim, maka itu adalah akhlak yang sangat mulia. 

Siapa yang mau memaafkan orang yang bersalah kepadanya, maka Allah akan memaafkan maksiat-maksiat yang ia lakukan, itu kata al-Qur'an.

Namun, saya merasa perlu menulis ini sebab saya lihat beberapa da'i overdosis dalam menekankan pentingnya memaafkan. Ada yang menyatakan bahwa memaafkan hukumnya wajib. Ada juga yang tidak secara tegas menyatakan wajib tetapi nadanya malah menyalah-nyalahkan orang yang tidak mau memberi maaf pada orang yang zalim kepadanya. 

Akhirnya tidak sedikit kita jumpai orang yang berbuat salah lalu malah ngelunjak dengan alasan sudah meminta maaf. Kasihan sekali, sudah dizalimi orang lain, malah dizalimi lagi dengan cara disalah-salahkan karena tidak memaafkan.

Berikut ini dalil bahwa memaafkan tidaklah wajib:

وَإِنْ عَاقَبْتُمْ فَعَاقِبُوا بِمِثْلِ مَا عُوقِبْتُمْ بِهِ وَلَئِنْ صَبَرْتُمْ لَهُوَ خَيْرٌ لِلصَّابِرِينَ (النحل: 126)

"Kalau kamu menuntut balas (tidak mau memafkan), maka balaslah dengan setimpal. Tetapi kalau kalian bersabar maka itu lebih baik bagi mereka yang mau bersabar"

وَجَزَاءُ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِثْلُهَا فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الظَّالِمِينَِ {الشورى:40- 43}.

"Balasan keburukan adalah keburukan yang setimpal. Siapa yang memberi maaf maka balasannya atas Allah. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang zalim"

Dalam kedua ayat tersebut, seseorang diizinkan membalas keburukan orang lain selama balasannya setimpal. Ayat ini adalah legalitas bagi seseorang yang dizalimi untuk melapor pada penegak hukum agar yang berbuat zalim kepadanya dihukum setimpal. 

Bila kezalimannya berbentuk penyiksaan fisik, maka al-Qur'an menjamin pihak yang dizalimi dengan jaminan hak untuk menuntut qishash. Siapa yang membunuh berhak dituntut hukuman mati; siapa yang membuat cacat berhak dituntut agar dicacatkan juga. 

Akan tetapi bagi yang mau memberi maaf tersedia pahala yang besar dan ampunan dari Allah. Hanya saja sama sekali tidak tercela apabila tidak mau memaafkan kezaliman orang lain. Memaafkan adalah keutamaan, tidak memaafkan adalah hak. Memaafkan adalah kebesaran hati, tidak memaafkan adalah keadilan.

Bagaimana nasib si zalim apabila sudah minta maaf tapi tidak dimaafkan? Nasibnya akan merana dan bangkrut di akhirat. Kezalimannya akan dibayar lunas kelak. Kalau bukan pahalanya yang diberikan pada orang yang dizalimi, maka dosa orang yang dizalimi yang dia angkut sebagai harga kezaliman yang ia lakukan di dunia. 

Tidak ada ceritanya kezaliman selesai begitu saja dengan minta maaf, bahkan dengan jutaan istighfar pun tidak akan bisa. Allah tidak akan mengambil alih pelanggaran haqqul adami (hak yang berhubungan dengan hubungan antar manusia) meskipun anda memohon-mohon kepada-Nya. Kata maaf orang yang dizalimi itu mutlak dan maha penting sebab itu satu-satunya kunci agar terbebas dari tuntutan di akhirat.

Sebagian ulama, seperti as-Syanqiti, justru menegaskan bahwa memberi maaf kadang tidak baik. Terkadang ada situasi yang justru tercela apabila memaafkan sebab menunjukkan kelemahan dan kehinaan. Misalnya saja istrinya diperkosa tetangga, maka tuntut saja biar tahu rasa jangan malah diimaafkan. 

Akan menjadi hina orang yang tidak bisa tegas menuntut balas atas setiap penghinaan dan pelecehan yang dia terima. Kalau diapa-apain saja memaafkan, maka tidak akan ada harga dirinya sehingga dia akan menjadi objek bullyan dan kezaliman. Sebab itu, ada kalanya perlu tidak memberi maaf dan menuntut balas dengan cara yang dibenarkan oleh hukum.

Semoga bermanfaat.

Penulis : Gus AWA