Perdebatan mengenai posisi Syuriah sebagai ulil amri dalam tubuh Nahdlatul Ulama seringkali menimbulkan salah paham. Banyak yang menempatkan konsep keagamaan ini seolah berlaku secara mutlak, padahal ia harus dipahami dalam konteks organisasi yang diikat oleh AD/ART serta prinsip-prinsip tata kelola modern. Ketika istilah ulil amri diterapkan pada struktur organisasi, ruang lingkupnya menjadi terbatas: ia berlaku dalam koridor hukum organisasi, bukan seperti ulil amri dalam konteks negara atau imamah kubra.
1. Ulil Amri dalam NU: Ketaatan yang Terikat AD/ART
Jika Syuriah dipandang sebagai ulil amri jam’iyyah, maka sifat ketaatan kepada mereka pun harus dipahami sebagai ketaatan yang bersyarat. Dalam fiqih, berlaku kaidah:
تَصَرُّفُ الْإِمَامِ عَلَى الرَّعِيَّةِ مَنُوطٌ بِالْمَصْلَحَةِ
Kebijakan pemimpin harus selalu terikat pada kemaslahatan rakyatnya.
Dalam konteks organisasi, maslahah itu tidak bisa ditentukan secara sepihak. Ia harus sejalan dengan tujuan NU, AD/ART, dan prinsip keadilan organisasi. Jika sebuah keputusan justru melahirkan mafsadah yang jauh lebih besar—baik berupa konflik internal, keretakan struktural, maupun krisis kepercayaan publik—maka keputusan tersebut layak dipertanyakan. Apalagi jika tindakan tersebut diketahui melampaui batas kewenangan yang telah digariskan dalam konstitusi organisasi.
Pertanyaannya: ketika kemaslahatan tidak tercapai, bahkan mafsadah membesar, apakah keputusan itu masih dapat dibenarkan atas nama ulil amri?
2. Klaim Pelanggaran, Bayyinah, dan Budaya Transparansi Organisasi
Keputusan yang menyangkut eksistensi organisasi—seperti pemberhentian ketua umum—bukan perkara kecil. Ia memerlukan standar bukti yang kuat, proses yang transparan, dan mekanisme yang akuntabel. Kaidah fiqih:
الْبَيِّنَةُ عَلَى مَنِ ادَّعَى وَالْيَمِينُ عَلَى مَنْ أَنْكَرَ
menuntut agar penuduh menghadirkan bukti yang konkret dan dapat diverifikasi. Dalam organisasi modern, “bayyinah” setara dengan proses hukum internal yang jelas: audit, klarifikasi, tabayyun, dan verifikasi berlapis. Keputusan yang berdampak besar tidak boleh bergantung pada narasi sepihak, apalagi jika diambil tanpa mekanisme check and balance yang memadai.
NU memang berlandaskan syariat, tetapi manajemen organisasi tunduk pada prinsip:
- transparansi,
- akuntabilitas,
- hak pembelaan diri,
- serta kepatuhan terhadap AD/ART.
Mereka yang menuntut transparansi bukan “buzzer”, bukan pula perusak marwah. Justru transparansi adalah fondasi good governance, sebuah akhlak organisasi yang seharusnya dijunjung tinggi.
3. Kaidah Ushul Fiqh: Penempatan Konteks yang Tepat
Ada yang mengutip kaidah:
أْخِيرُ الْبَيَانِ عَنْ وَقْتِ الْحَاجَةِ لَا يَجُوزُ
Menunda penjelasan hukum pada saat dibutuhkan tidak dibolehkan.
Namun kaidah ini terkait dengan kewajiban Nabi menyampaikan hukum, bukan pembenaran terhadap keputusan pemecatan yang tergesa-gesa. Dalam konteks organisasi, justru kaidah الْيَقِينُ لَا يُزَالُ بِالشَّكِّ lebih relevan:
status ketua umum adalah yaqin,
tuduhan pelanggaran adalah syak, kecuali dibuktikan secara sah.
Ditambah prinsip tabayyun:
تَثَبَّتُوا فِي الْأُمُور
Teguhkan dulu setiap perkara.
Karena itu, keputusan drastis tanpa proses tabayyun yang menyeluruh berpotensi melahirkan mafsadah dan menggerus legitimasi.
4. Maslahah, Mafsadah, dan Risiko Salah Diagnosa
Dalam teori maslahah, kita mengenal dua kaidah besar:
دَفْعُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ
Menghindari mafsadah didahulukan daripada menarik kemaslahatan.
إِذَا تَعَارَضَتْ مَفْسَدَتَانِ…
Jika dua mafsadah bertentangan, maka dipilih yang lebih kecil.
Namun bahaya terbesar adalah misdiagnosis: salah menilai mana mafsadah kecil dan mana yang besar.
Pemecatan yang tidak sesuai prosedur dapat menjadi mafsadah besar karena:
- melanggar konstitusi organisasi,
- merusak marwah kelembagaan,
- menciptakan preseden buruk,
- dan memecah belah jamaah.
Padahal penyelesaian terbaik—sesuai kaidah:
الْخُرُوجُ مِنَ الْخِلَافِ مُسْتَحَبٌّ
Keluar dari perbedaan (dengan cara damai) adalah sesuatu yang dianjurkan.
adalah islah dan dialog. Mengorbankan satu pihak bukanlah cara yang selaras dengan nilai jam’iyyah.
5. AD/ART sebagai Konstitusi: Bukan Furu’, Tetapi Ijma’ Organisasi
Dalam organisasi, AD/ART bukan sekadar dokumen administratif; ia adalah bentuk al-‘adah al-muhakkamah—adat atau kesepakatan yang memiliki kekuatan hukum. Ia juga merupakan “ijma’ pemilik kepentingan” yang wajib dihormati;
الْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ
Kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat yang mereka sepakati.
Karena itu, perbedaan penafsiran AD/ART harus diselesaikan melalui forum tertinggi—muktamar—bukan otoritas sepihak. Syuriah sebagai ulil amri jam’iyyah pun wajib tunduk pada AD/ART, karena ketaatan pada hukum yang disepakati bersama adalah bentuk tertinggi dari jalb al-mashalih dan dar’ al-mafasid dalam sistem organisasi.
Jika keputusan pemecatan lahir dari penafsiran ushul yang bersifat subjektif dan menghasilkan mafsadah yang masif, maka keputusan tersebut gagal memenuhi kaidah ushul itu sendiri.
Penutup
Ketika fiqih dipinjam untuk membenarkan tindakan organisasi, ia harus ditempatkan secara proporsional. Fiqih mengajarkan keadilan, kehati-hatian, tabayyun, maslahah yang bersifat obyektif, dan kepatuhan terhadap kesepakatan bersama. Semua ini menjadi relevan hanya jika disertai mekanisme yang jelas, akuntabel, dan sesuai konstitusi.
Pada akhirnya, marwah organisasi tidak dijaga dengan keputusan yang terburu-buru, tetapi dengan proses yang berkeadilan, transparan, dan jujur pada prinsip-prinsip yang disepakati bersama.
Wallahu A'lam
(Admin HWMI)
===
KAMI BERSAMA KIAI-KIAI SESEPUH NU
يا نهضة العلماء أنت محبتي و مودتي و مسرتي و رضائي
يا نهضة العلماء أنت وسيلتي لتمسكي بجماعة العلماء
Wahai Nahdlatul Ulama, Engkaulah cintaku, kasih sayangku, kebahagiaanku, dan kepuasanku.
Wahai Nahdlatul Ulama, Engkaulah sarana bagiku untuk tetap setia pada komunitas para Kiai.
(KH. Fuad Hasyim Buntet Cirebon)
