HABAIB DAN NU SATU KONSEP PERJUANGAN SEJAK DULU KALA HINGGA KINI - HWMI.or.id

Wednesday 3 June 2020

HABAIB DAN NU SATU KONSEP PERJUANGAN SEJAK DULU KALA HINGGA KINI



Sangat indah apa yg digambarkan oleh salah seorang peminat study agama dan filsafat  serta direktur lembaga study of philosophy Jakarta yg telah menulis banyak buku dan ratusan artikel di berbagai media nasional Husein Ja'far Alhaddar, yg juga semalam menjadi nara sumber dalam acara halal bihalal online yg diadakan oleh keluarga besar MATAN ( mahasiswa thariqah) se-indonesia, dalam sebuah artikel yg dia tulis, dimana dia mengatakan bahwa bila Islam diibaratkan dg seekor burung, maka habaib dan para kyai NU bagai dua sayapnya, keduanya harus selalu bersinergi dalam membangun Islam dan mengokohkan bangsa. Tanpa hal itu, mungkin kita bangsa Indonesia hanya akan menunggu krisis Islam di Timur Tengah akan segera singgah di negeri ini.

Oleh karena itu, NU dan Habaib tak dapat dipisahkan, mereka selalu selaras, seirama, seperjuangan, seiya dan sekata, sejak dulu hingga kini, keduanya merupakan kekuatan yg sangat besar di negeri tercinta Indonesia ini, sehingga tak heran bila para pembenci NU 
dari kelompok Wahhaby Salafy dan kaki tangan mereka yg memang cenderung ekstrem dan anti-cinta, anti-kebudayaan, anti-tasawuf, anti-NKRI terus berupaya untuk membenturkan antara keduanya.

Saya sempat berfikir lama dan berdiskusi kecil bersama teman-teman dekat kami yg memiliki konsep dakwah, pemikiran dan perjuangan yg sama usai membaca sebuah artikel yg ditulis oleh saudara Firman Syah Ali salah seorang pengurus NU dan IKA PMII Jawa Timur dalam artikelnya yg berjudul "HABIB NU DAN HABIB FPI" dimana dia membahas secara rinci tentang sejarah para habaib dan saadah alawiyin beserta perjuangan dan kiprah mereka, sejak generasi awal di negeri para leluhur dan kakek moyang mereka Basyrah  Iraq, Hadhramut Yaman, India Barat, Asia Tengah, Cina, hingga Cempa, Cambodia Vietnam dan Nusantara,  dari mulai ulama, negarawan, pejuang, politikus, wartawan, presenter, pemusik, artis hingga penyayi, dari yg terkenal hingga yg tidak diketahui banyak orang.

Lalu beliau membagi generasi diaspora para habaib dan saadah alawiyyin tersebut menjadi tiga bagian, yaitu diaspora keturunan Imam Al-Muhajir satu, dua dan tiga, ketiga generasi diaspora tersebut memiliki corak, warna perjuangan dan konsep dakwah yg tersendiri. 

Istilah diaspora digunakan untuk merujuk kepada bangsa atau penduduk etnis manapun yang terpaksa atau terdorong untuk meninggalkan tanah air etnis tradisional mereka; penyebaran mereka di berbagai bagian lain dunia, dan perkembangan yang dihasilkan karena penyebaran dan budaya.

Setelah panjang lebar menjelaskan tentang ketiga generasi diaspora tersebut, ada satu hal yg menggelitik pikiran dan otak kami saat penulis artikel tersebut memberikan keterangan dan itu merupakan ending dari artikelnya yg cukup panjang bahwa ketiga generasi diaspora tersebut memiliki titik temu dan titik pisah. 

Titik temu antara Bani Muhajir Gelombang I, II dan III sebetulnya sangat kuat, yaitu titik temu genealogis, sesama keturunan Fathimah Az-zahra ra dan titik temu teologis, yaitu sama-sama menganut teologi Ahlussunah Wal Jamaah, Asy'ariyyah Almaturidiyyah.

Namun kedua titik temu tersebut kemudian menjadi titik pisah karena para Bani Muhajir gelombang III memunculkan Thariqah Alawiyah dan FPI, sedangkan Bani Muhajir gelombang I dan II memunculkan Ahlusunnah Wal Jamaah An-Nahdliyyah dan Islam Nusantara.

Hal itulah yg membuat kami terdorong untuk menggerakkan tangan kami untuk menulis tulisan yg sederhana ini, semoga dapat memberikan manfaat untuk diri kami dan untuk orang lain.

Ada beberapa point penting berkaitan dengan hal itu yang  harus dikaji ulang, sehingga dapat memberikan kesimpulan yang tepat dan memberikan penilaian yang benar.

Menurut kami bahwa HABAIB DAN NU BERADA DALAM SATU KONSEP DAKWAH DAN PERJUANGAN, SEJAK DULU KALA HINGGA KINI.

Tidak ada titik pemisah, baik dalam generasi diaspora Bani Muhajir gelombang satu, dua maupun tiga, semua berakidahkan sama yaitu Ahlussunah Wal Jamaah, Alasy'ariyah (Imam Abu Al-Hasan Al-Asy'ari) dan Al-Maturidiyah (Imam Abu Mansur Al-Maturidi) dan mengikuti salah satu dari empat madzhab, yaitu Hanafi, Maliki, Syafii dan Hambali serta menerapkan dan mengamalkan dalam keagamaannya konsep tasawuf dan thoriqah, dan dalam berdakwah menggunakan metode hikmah, lemah lembut dan uswatun hasanah.

Adapun bila ada sekelompok habaib yang tidak sejalan dg konsep tersebut, maka itu adalah oknum dan dalam sejarah pasti ada, dan itupun tidak mewakili, hal itu terjadi karena beberapa faktor, seperti asal pendidikan, guru, keluarga dan lain- lain.

Mengapa mereka yg hanya segelintir, karena kevokalannya dan ketenarannya, lalu dijadikan tolok ukur dan standar dalam sebuah penilaian, bukankah di bumi nusantara ini ada ribuan dari Bani Muhajir gelombang III yg masih murni dan jernih dalam konsep perjuangan dan dakwah mereka, baik itu dari alumni lembaga pendidikan dalam negeri maupun luar negeri, yaman, mesir maupun negeri yg lain. 

Sebagai contoh di Jawa ada Maulana Habib Luthfi bin Yahya, di Jakarta ada Habib Jindan dan saudaranya Habib Ahmad Bin Jindan, di Semarang ada Habib Umar Muthohhar, di solo ada ada Habib Syekh Assegaf, Habib Muhammad bin Husein Alhabsyi, di Lampung ada Habib Yahya Assegaf, di sulawesi ada Habib Abdurrahman Assegaf Puang Makkah, di Palu ada Habib Segaf Aljufri dan masih banyak lagi yg jumlahnya sangat banyak, dan mereka tersebar di berbagai kota di seluruh penjuru negeri Indonesia. 

Mereka bukan saja sebagai ulama yg memiliki banyak ilmu, juga sebagai dai, memiliki santri, majlis taklim, pesantren, penutan umat, sangat santun dalam berdakwah dan moderat. 

Bila kita melihat tentang sejarah kaum Alawiyin secara detail, manhaj dan metode dakwah mereka, dari mulai era Madinah, Irak, Hadhramut, lalu membaca tentang akidah dan thariqah mereka serta mempelajari tentang kehidupan keagamaan mereka saat berada di Tarim, lalu keluar berdakwah menuju India, Cempa, dan Nusantara, dan juga kiprah mereka dalam membangun beradaban dan seterusnya, maka mungkin dapat kita tarik kesimpulan beberapa hal.

1. Kesantunan adalah petanda atau karakter dalam aktivisme dakwah, muamalah dan dagang para habib saat mereka mengembara di berbagai wilayah, termasuk nusantara. Melalui kesantunan inilah para habib mendapat tempat dimanapun mereka berada.

Karakter lain yang dimiliki mereka adalah kealiman, tidak hanya pengetahuan dalam bidang agama semata, tetapi juga dalam bidang ekonomi dan politik. 

Kesantunan dan kealiman multi disiplin inilah yg harus digali, dimengerti dan dimiliki oleh para habib dimasa kini.

Sebagai misal adalah kesantunan dikalangan para habib dan dakwah bilhal melului berbagai tradisi, seperti haul, pembacaan maulid dan shalawat serta qashidah serta kontribusi lain yg juga merupakan hazanah pembentuk karakter masyarakat di bumi dimana mereka perpijak dan berdakwah..

2. Disamping kesantunan, keilmuan, baik dalam ilmu ekonomi maupun politik, mereka juga adalah sosok ulama sufi, tasawuf dan ahli thoriqah. 

Ketika bangsa ini dipimpin oleh ulama sufi, tasawuf atau ahli thoriqah, baik itu di era walisongo maupun di era perjuangan kemerdekaan, mengusir penjajah berhasil dilakukan dg mudah, mestinya membangun negeri yg telah merdeka jauh lebih mudah daripada mengusir pejajah, melepaskan derita pengagguran jauh lebih mudah dari pada melepaskan derita penjajah bangsa yg terlanjur dijajah. Namun kenyataanya,  kini, untuk mempertahankan ketentraman saja rasanya kita kewalahan. Ketika sedang terjajah, leluhur kita masih bisa berkonsentrasi untuk beribadah dan memerdulikan orang lain, sedangkan sekarang, banyak dari kita yg sudah merdeka hidup dalam kegelisahan sehingga tidak bisa berkonstrasi untuk ibadah dan memperdulikan orang lain. Ini adalah sebuah kelemahan yg memperihatinkan dan kelemahan ini tidak lain karena kita telah jauh dari pengalaman tasawuf dan thoriqah sebagaimana yg mereka telah lakukan.

Menurut kami ada empat konsep utama yg menjadi titik temu antara habaib dan NU.

Pertama, konsep religiusitas atau keagamaan.  
Habaib dan NU keduanya sama-sama berfondasi, mengusung, dan bervisi pada Islam moderat (tawassuth), toleran (tasamuh), dan cinta-kasih (rahmat).

Kedua, kultural. Gerakan dakwah Islam ke selatan hingga ke Asia Tenggara, khususnya ke Nusantara, yang salah satunya dipelopori oleh diaspora habaib dari Hadhramaut. 
Dakwah mereka berbasis akulturasi budaya. Seperti kental tampak dalam metode dakwah Walisongo , mereka bukan memberangus budaya Nusantara yang telah ada saat itu. Alih-alih justru menjadikannya gerbang dan media dalam dakwah.

Ketiga,  spiritualitas. Habaib dan NU sama-sama pendaki jalan spiritual tasawuf, sebagaimana kami uraikan di atas.

Keempat, kebangsaan. Habaib dan NU sama-sama mengimani hubbul wathon (cinta Tanah Air). Jamiatul Khair (1903) yang merupakan lembaga pendidikan habaib tertua di Indonesia dan juga NU (1926) menjadi dua kekuatan Islam yang terbesar dan terdepan dalam menentang dan mengusir penjajah melalui pencerdasan anak bangsa.

Mereka juga yang sejak awal meyakinkan founding fathers bangsa ini bahwa meskipun negeri ini tak memilih untuk menjadi negara Islam atau daarul Islam, negeri ini tetaplah negeri islami atau daarus salaam dengan prinsip Pancasila-nya yang memang tak menerapkan Islam secara simbolik namun substantif berupa tauhid, kemanusiaan, dan keadilan.

Prinsip itu dipegang kuat hingga kini oleh keduanya, sebagai contoh, salah satunya tokoh habaib kontemporer yaitu Maulana Habib Luthfi bin Yahya Pekalongan, dimana beliau menggelar pengajian di mana- mana dengan tema ’ “Bela Negara”.

Jika diperhatikan, keempat konsep pokok tersebut sebenarnya menjadi titik pembeda antara habaib, NU dan kalangan muslim lain yg no moderat, yang memiliki sikap anti-cinta, anti-kebudayaan, anti-tasawuf, anti-NKRI.

Dimana keduanya yakni NU DAN HABAIB akan  menjadi identitas Islam Indonesia yang membawa Islam di negeri ini kian menjadi kiblat bagi muslim dunia.

Wallahu alam.
Pml, 7 Syawal 1441 H
Sayid Muhdor Assegaf
Dari berbagai sumber.
Semoga bermanfaat.

#HubbulWathonMinalIman

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda