RIDA HESTI RATNASARI UNGKAP NARASI YANG DIMAINKAN HTI.
Mantan Pengurus DPP Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia periode 2002-2008 Rida Hesti Ratnasari mengungkapkan, cara HTI untuk memikat banyak kalangan adalah dengan memainkan narasi secara utuh. Mulai dari gagasan besar hingga ke cabang tentang sistem kehidupan.
Dengan begitu, kata Rida, HTI dengan penuh percaya diri mengklaim telah paling siap ketika Islam kaffah menemukan momentum untuk diterapkan di dalam seluruh aspek kehidupan. Bahkan, HTI mengklaim pihaknya telah memiliki pemikiran dan metode yang baik untuk menerapkan khilafah.
“Itu biasanya yang memikat bagi kalangan yang rindu perubahan totalitas atas carut-marutnya kondisi yang menurut mereka (HTI) hanya bisa diatasi dengan tegaknya khilafah,” ungkapnya, dalam webinar yang disiarkan langsung Media Sang Khalifah bertajuk ‘Mengungkap Narasi Kelompok Khilafahisme, Ekstremisme, dan Terorisme di Media Sosial’, pada Sabtu (31/10).
Menurut Rida, pemaknaan terhadap istilah khilafah secara umum sangat berbeda sama sekali dengan pemaknaan yang dimiliki HTI. Khilafah bagi HTI adalah metode untuk menerapkan Islam. Bagi HTI, penerapan Islam hanya bisa dilakukan dengan khilafah.
“Bagi mereka, tanpa daulah khilafah maka Islam tidak bisa tegak. Ini narasi dasarnya. Maka mereka berupaya keras mencapai cita-cita ini. Membentuk kesadaran kolektif bersama umat, jangan melawan umat,” tutur Rida.
Selanjutnya, cara HTI dalam mengemas metode untuk menerapkan Islam disajikan dengan sebaik mungkin, sehingga seolah-olah konsep yang dimiliki HTI sudah sangat sempurna.
“Walapun sedikit sekali yang menyadari bahwa apa yang ditawarkan itu telah menabrak hukum, bertentangan dengan konsep negara-bangsa, dan bertabrakan dengan bentuk negara republik,” katanya.
Tak hanya itu, Rida menjelaskan bahwa banyak orang awam yang terpikat dengan HTI lantaran memainkan aspek histori sebagai faktor pendukung untuk menguatkan narasi mereka.
“Bahwa secara histori, memang pernah tegak khilafah itu. Khilafah yang berjaya ke seluruh dunia, meliputi banyak sekali negara bergabung di dalam satu kibaran bendera khilafah,” jelas Rida.
“Mereka memanfaatkan tinjauan histori untuk menguatkan narasi khilafah,” lanjutnya.
Dukungan Normatif
Di dalam kitab-kitab fikih, kata Rida, terdapat narasi khilafah yang diadopsi HTI untuk dinyatakan perlahan-lahan menjadi milik umat. Hal ini, perlu diwaspadai karena di dalam ajaran HT ada proses yang disebut dukhulul mujtama’.
“(Artinya) memasuki masyarakat dengan perlahan-lahan menjadikan ide yang semula diadopsi oleh kelompoknya menjadi milik umat. Supaya perjuangannya nanti bersama umat,” jelas Rida.
Dukungan Sosiologis
Menurut Rida, sebagian masyarakat merindukan sistem sosial yang sejalan untuk membentuk akhlakul karimah. Tak hanya itu, masyarakat pun merindukan bentuk sistem sosial yang sejalan dengan penerapan Islam kaffah.
“(Yang) menurut mereka tidak bisa tegak apabila sistem yang diterapkan masih seperti sekarang. Ini cara mereka yang berusaha atau berjuang agar seluruh gagasan yang diadopsi oleh kelompok ini menjadi milik umat dan diperjuangkan bersama umat,” ungkap Rida.
Oleh karena itu, HTI kelak menggunakan kekuatan massa (people power) di dalam memperjuangkan khilafah. Namun mobilisasi massa ini tidak sama dengan yang diperjuangkan melalui sosialisme, melainkan karena tumbuh berdasarkan kesadaran kolektif.
Diungkapkan Rida, HTI lebih tidak terkendali setelah 2017 dibubarkan. Setelah itu, HTI berubah menjadi organisasi tanpa bentuk. Kemudian, HTI memainkan narasi bahwa penghalang atas tegaknya khilafah adalah dua ideologi lainnya, yakni sosialisme dan kapitalisme.
“Maka sesungguhnya kontranarasi yang selevel adalah yang mengerti betul perbandingan ideologi ini, yang nanti mesti dikemas dengan cantik bisa menjangkau seluruh usia dan level intelektualitas di media sosial,” katanya.
Di samping itu, HTI hanya mengadopsi hal-hal yang terkait dengan sistem kehidupan masyarakat, bukan yang sifatnya individual, sehingga tidak terasa perbedaan dan pertentangannya.
“Narasi mereka tidak terasa perbedaannya. Misalnya, qunut atau tidak qunut bagi mereka tidak masalah dan tidak diadopsi menjadi narasi. Karena mereka hanya fokus agar bagaimana sistem politik Islam bisa ditegakkan,” katanya.
“Maka kalau kita tidak hati-hati dalam melakukan kontranarasi, seperti kita masuk dengan (narasi) antara wahabi dan aswaja, sesungguhnya mereka tidak mempermasalahkan cara beribadah mahdlah,” lanjut Rida.
Cara berpakaian HTI
HTI itu, imbuhnya, hanya mengadopsi seperti yang bersifat sistem kehidupan masyarakat, termasuk cara berpakaian. Di dalam kitab nidzhomul ijtima’I fil Islam misalnya, jelas Rida, pakaian jilbab adalah satu potong pakaian yang menjulur sampai bawah.
Penutup kepala disebutnya sebagai khimar. Sementara jilbab adalah baju yang menjulur satu potong ke bawah.
“Sehingga nanti kalau ada adik-adik yang mulai menyambung-nyambung baju seragam yang semula dua potong disambung menjadi satu, mereka mengadopsi dan menerapkan cara berpakaian yang diatur HT di dalam kehidupan umum di ruang publik. Itu pakaian wajib HT untuk kalangannya,” jelas Rida.
Rekomendasi Kepada Pemerintah
Pertama, moderasi beragama. Dalam penelitian Rida di sepuluh kota/kabupaten di Papua Barat, dua kota di Papua, dan tiga kota/kabupaten di Riau menunjukkan bahwa penguatan kearifan lokal yang menjadi dasar moderasi beragama jauh lebih efektif.
“Misalnya, jargon toleransi satu tungku tiga batu di Papua Barat,” kata Rida.
Kedua, Rida merekomendasikan agar diciptakan regulasi di dunia maya sehingga jangan sampai inovasi penyebaran informasi melalui medsos mendahului regulasi di dunia nyata.
Saat ini, kata Rida, warganet di dunia maya tidak merasa seperti warga negara. Sementara apabila di dunia nyata sudah dilengkapi dengan perangkat hukum yang memadai.
“Di sinilah peran pemerintah yang sangat penting agar bagaimana partai politik luar parlemen seperti HTI diatur dengan regulasi yang memadai, baik di dunia nyata maupun dunia maya,” ungkapnya.
Ketiga, Rekomendasi Rida adalah kontranarasi yang dilakukan harus berimbang dan selevel. Menurutnya, kontranarasi jangan sampai menjadi bumerang sehingga berhadapan dengan umat.
“Karena mereka memastikan perjuangannya bersama umat. Kalau kita keliru melakukan kontranarasi justru akan menguatkan dukungan kepada pengemban ideologi radikal. Karena mereka bersama umat, tapi kita malah dilawan umat. Itu harus hati-hati,” katanya.
Keempat, Ia merekomendasikan agar kemasan konten kontranarasi harus menjangkau semua rentang usia dan kelompok intelektual, sebagaimana yang juga HTI lakukan.
Kelima, Pemetaan narasi jangan sampai menguatkan oposisi biner. Misalnya, dikotomi antara isu kekerasan seksual dengan pendukung kekerasan seksual. Ini seolah hanya ada dua kutub.
“Kita harus menolong umat yang berada di spektrum di antara area tadi. Kita hentikan dikotomi itu. Kita menyadarkan umat menjadikan kesadaran kolektif bahwa ada spektrum yang tidak harus membelah umat menjadi dua,” pungkas Rida.
Sumber: Sangkhalifah.com