Sumpah Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari saat Ramadhan di Tanah Suci Makkah
Sebelum Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari kembali ke Indonesia, pada saat menimba ilmu di Tanah Suci Makkah, ia sempat bertemu dengan beberapa sahabatnya dari Afrika, Asia, dan juga negara-negara Arab lainnya. Ada satu yang menyamakan mereka, tanah airnya masih dalam kondisi terjajah bangsa lain.
Pertemuan itu berlangsung pada suatu hari di bulan Ramadhan, di Masjidil Haram. Dalam pertemuan tersebut lahirlah kesepakatan di antara mereka untuk mengangkat sumpah di hadapan Multazam, dekat pintu di Ka’bah.
Isi dari sumpah itu harus ditepati apabila mereka sudah sampai dan berada di negara masing-masing. Janji tersebut berupa tekad untuk berjuang di jalan Allah SWT demi tegaknya agama Islam dan berusaha mempersatukan umat Islam dalam kegiatan penyebaran ilmu pengetahuan serta pendalaman ilmu agama Islam.
Menurut Choirul Anam dalam Pertumbuhan dan Perkembangan NU, kisah itu tercantum dalam buku Muhammad Asad Shahab berjudul Al-‘allamah Muhammad Hasyim Asy’ari.
Choirul Anam berpendapat, mudah dimengerti apabila tekad tersebut perlu dicetuskan bersama dan dengan mengangkat sumpah karena pada saat itu kondisi sosial politik di negara-negara Timur hampir bernasib sama, yakni berada di bawah kekuasaan penjajahan bangsa Barat.
Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari menepati janjinya saat ia tiba di Tanah Air. Pada 1899 Masehi, ia mendirikan pesantren Tebuireng di Jombang. Dari pesantren ini kemudian dihimpun calon-calon pejuang Muslim yang tangguh, yang mampu memelihara, melestarikan, mengamalkan dan mengembangkan ajaran Islam ke pelosok Nusantara.
Menurut catatan Jepang, sebagaimana dikutip Choirul Anam di buku yang sama, pada 1942, santri Tebuireng yang telah menjadi alumni dan masih mondok sekitar 25.000 orang.
Namun, sejak kolonial Belanda, gerak-gerik Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari tidak pernah luput dari sorotan mata-mata Belanda. Pesantren Tebuireng banyak menemui hambatan dengan tuduhan bermacam-macam. Tuduhan yang biasa dilontarkan adalah sebagai biang kerusuhan dan pembunuhan. Setiap terjadi pembunuhan di sekitar Jombang, pastilah santri Tebuireng yang menjadi sasaran untuk dikriminalisasikan.
Dengan dalih tuduhan-tuduhan itulah, pemerintah Hindia Belanda seringkali memberikan teguran yang inti pokoknya meminta Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari untuk menghentikan kegiatannya. Namun hal itu sama sekali tidak mempengaruhi semangat juangnya. Bahkan nama Tebuireng semakin hari bertambah harum dan menjadi pusat perhatian masyarakat luas. Pihak Belanda pun memandang perlu mencari jalan pintas guna menghentikan kegiatan pesantren Tebuireng.
Pada sekitar tahun 1913 pondok Tebuireng diserang dengan ganasnya oleh tentara Belanda. Bangunan pondok dihancurkan hingga berkeping-keping. Kitab-kitab agama yang diajarkan di pondok pesantren dirampas dan sebagian dimusnahkan. Namun, tidak dijelaskan mengenai jatuhnya korban jiwa.
Kemudian diberitakan bahwa pesantren Tebuireng sebagai markas pemberontak dan pusat ektremis Muslim.
Kepada para santrinya, KH Hasyim Asy’ari mengatakan, kejadian ini justru menambah semangat kita untuk terus berjuang menegakkan Islam dan kemerdekaan yang hakiki.
Penulis: Abdullah Alawi/NU Online Jabar