Mengapa Perang Palestina-Israel Tak Kunjung Usai? - HWMI.or.id

Friday 21 May 2021

Mengapa Perang Palestina-Israel Tak Kunjung Usai?


MENGAPA PERANG PALESTINA-ISRAEL TAK KUNJUNG USAI?

Oleh: Prof. Dr. KH. Imam Ghazali Said 

Jika kita telusuri jejak sejarah Palestina Modern melalui dua judul buku: تاريخ فلسطين الحديث oleh Dr. Abd Wahab al-Kayali dan  الصهيونية عير اليهودية  وجذورها التاريخي فى المجتمع الغربى oleh  Dr. Regina Sherief, dua penulis ini asli beretnik Arab Palestina.  Dua buku ini merekonstruksi Sejarah Pertarungan bangsa Arab Palestina dengan ideologi Zionisme yang kemudin menjelma menjadi negara Israel pada 14 Mei 1948 yang diakui secara resmi oleh PBB. Perjuangan diplomasi yang beriring dengan perang telah dilakukan. Tapi "kegagalan" selalu menemani bangsa Palestina. Mengapa ?

Pertama, sebagai bangsa,  Palestina tidak mampu merumuskan ideologi nasionalismenya. Apakah nasionalisme itu harus menyatu dengan nasionalisme Arab dalam skala besar (terikat dengan liga Arab), atau nasionalisme dalam skala menengah (Palestina satu nation dengan Syiria), atau nasionalisme dalam skala sempit (bangsa Palestina secara mandiri, tak terikat dengan bangsa lain)? Kegagalan perumusan  nasionalisme yang dimaksud berakibat "remangnya" teknis diplomasi dan permakluman perang yang mengiringinya.

Kedua, Percaya diri yang berlebihan. Palestina, negara-negara Arab pendukung utamanya dan negara-negara mayoritas muslim sangat yakin, bahwa aksi militer untuk mengennyahkan  negara zionis Israel itu sangat mudah. Perang 1948, perang 1967, perang 1973 dan bentrok-bentrok militer kecil yang lain tak mampu menggoyahkan kedigdayaan Israel. Mesir pada perang 6 Oktober 1973 mengklaim menang. Menang dimana ?  Wong dua provinsi : Sinai Utara dan Sinai Selatan masih diduduki Israel. Itu klaim kemenangan palsu. 

Ketiga, Palestina over idealis. Pada awal pembentukan PLO 1964, berideologi mengenyahkan Israel dari peta negara dunia sebagai negara yang merdeka dan berdaulat. Idealisme ini menjadi penghambat utama terjadinya perundingan damai Arab-Palestina. Walaupun dalam dinamikanya Palestina "terpaksa" mundur dari over idealismenya itu. Perubahan sikap idealis menjadi sedikit realistis itulah yang menghasilkan Pemerintahan Otonomi  Palestina di Jalur  Gaza dan Tepi Batat (West Bank) berdasarkan Perjanjan Oslo 1993. Kiranya akan lebih sukses, andaikan perjanjian Oslo ini dijadikan entry point bagi perundingan-perundingan berikutnya menuju Palestina merdeka.

Keempat, Elite Palestina dan para pemimpin negara Arab yang lain, mengabaikan penerapan kaidah: "Segala sesuatu yang tidak bisa dicapai semua, tak boleh ditinggal semua". Maksudnya bersikap purik, dengan cara tidak mau berunding. Dan membiarkan pendudukan dan kezalimaan Israel terus berlangsung. Atau  melakukan aksi militer yang secara matematik tidak akan menang, bahkan tega mengorbankan rakyat sipil Palestina menjadi korban.

Kelima, Problem Palestina adalah pertarungan eksistensi kebangsaan yang sebetulnya tak terkait langsung dengan Islam dan Yahudi sebagai agama.  Pejuang kemerdekaan Palestina itu ada kaum muslim, Kristen, Katolik, Komunis bahkan kaum Yahudi yang anti zionisme.

 Jadi, merespon persolan Palestina dengan ayat :ولن ترضى  .... itu tidak pada tempatnya.  Demikian, semoga bisa menjadi wacana alternatif.

* judul dari Nurul Fahmi

** Guru Besar UINSA Surabaya

Sumber: https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=3944276499019496&id=100003115543112

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda