Oleh: Sivana Khamdi Syukria in Suara Kita
3 Pilar Kemaslahatan Bangsa; Umara, Ulama, Umat
Lontaran provokasi seputar pembatalan haji tampaknya belum surut. Setelah viral cuitan Haikal Hassan Baras di Twitter, kini beredar video ceramah Ustaz Abdul Shomad yang menuding pemerintah menggunakan dana haji untuk membiayai proyek infrastruktur. Entah apa jadinya bangsa ini di masa depan manakala segala kebijakan pemerintah dipelintir, dipolitisasi dan dibingkai ke dalam narasi yang memecah-belah.
Barangkali saat ini merupakan titik nadir dalam perjalanan demokrasi kita. Di satu sisi, kita menikmati alam kebebasan berekspresi dan berpendapat dengan nyaris tanpa batasan. Namun, di saat yang sama, kita dilanda gelombang tsunami hoaks, kebencian dan provokasi. Dan, sasaran utama dari semburan hoaks, kebencian dan provokasi itu tiada lain ialah pemerintah.
Produsen dan distributor hoaks, kebencian dan provokasi yang lalulalang di ruang publik kita selama ini sebenarnya kelompok yang itu-itu saja. Siapa lagi jika bukan kelompok radikal-ekstrem yang anti-pemerintah. Mereka senantiasa membonceng isu sosial, politik dan agama demi menyerang pemerintahan yang sah. Tujuannya tidak lain ialah mendelegitimasi wibawa pemerintah di hadapan rakyatnya.
Maslahat Umat sebagai Tujuan Bernegara
Pembukaan UUD 1945 sebagai konstitusi RI dengan jelas menyebutkan bahwa tujuan bernegara ialah mewujudkan kesejahteraan umum. Di dalam Islam, kesejahteraan umum ini bisa kita rujukkan dengan konsep maslahah al ammah. Ini membuktikan bahwa meski NKRI bukan negara agama, namun nuansa Islam begitu kental mewarnai konstitusinya.
Kesejahteraan umum atau maslahah al ammah sebagai tujuan bernegara ini merupakan tanggung jawab bersama, antara pemerintah (umara), tokoh agama (ulama) dan masyarakat (umat). Ulama memiliki kedudukan penting dalam struktur sosial-politik di Indonesia. Ulama dengan modal intelektual dan sosial yang dimilikinya memungkinkan untuk membangun narasi atau opini yang diikuti publik. Meminjam istilah Weberian, ulama ialah agent of social change and control. Fungsi ulama ialah menggulirkan perubahan sosial sekaligus mengawasi transformasi dan dinamika yang terjadi di dalamnya.
Maka, jika NKRI ini kita ibaratkan rumah dan tujuannya ialah kemaslahatan bangsa maka, pilarnya tidak lain ialah umara, ulama dan umat. Salah satu saja mengalami disfungsionalitas, maka rumah bersama itu akan timpang bahkan terancam ambruk. Selain itu, ketiga pilar itu pun tidak berdiri terpisah, melainkan saling terhubung. Maka satu pilar ambruk akan berpengaruh pada pilar lain. Oleh karena itu, penting untuk memperkuat ketiga pilar itu dengan membangun sinergi antarketiganya.
Memperkuat Pilar Kebangsaan
Realita yang mengemuka selama ini masih menunjukkan bahwa corak relasi antara ketiga pilar itu masih kurang harmonis. Ketidakharmonisan itu terutama terjadi dalam satu dekade belakangan ini ketika ruang dakwah kita diwarnai oleh ulama yang sberpandangan radikal-ekstrem. Mereka membajak mimbar dakwah untuk menebarkan kebencian dan provokasi kepada pemerintah.
Hal itu pula yang mengemuka belakangan ini dalam konteks pembatalan haji 2021. Sejumlah ulama yang idealnya menjadi sumber pengetahuan (knowledge resource), teladan moral (moral guidance) dan pembuat opini publik (public opinion maker) justru menjadi aktor penyebar hoaks dan provokasi. Hal urgen yang wajib kita lakukan saat ini ialah memperkuat jejaring tiga pilar kebangsaan tersebut. Isu pembatalan haji kiranya menjadi momentum bersama untuk saling menginterospeksi diri.
Pemerintah perlu menjalin komunikasi yang lebih intens dengan para ulama, terutama yang selama ini memposisikan dirinya sebagai oposan. Bagaimana pun juga, komunikasi yang efektif dan efisien akan meminimalisasi bahkan menganulir semburan hoaks dan provokasi yang menunggangi sebuah kebijakan. Tugas umara ialah menjadi pengatur kehidupan berbangsa dan bernegara. Di titik ini, umara idealnya mampu mengakomodasi seluruh entitas bangsa, termasuk para ulama.
Di saat yang sama, ulama kiranya juga bisa memainkan perannya sebagai sumber ilmu, teladan perilaku dan pembuat opini publik yang layak dijadikan panutan. Ulama bukanlah gelar main-main yang bisa dibeli dengan uang. Ulama ialah gelar pemberian masyarakat sebagai tanda bahwa masyarakat menaruh hormat sekaligus harap. Penghormatan akan pengetahuan dan spiritualitas yang luas. Harapan bahwa dengan berkhidmat pada ulama, jalan kehidupan umat akan lebih terang.
Dalam bahasa Ali Syari’ati ulama harus mampu mengemban peran sebagai rausyan fikr, yakni pribadi yang tidak hanya pintar, namun juga tercerahkan. Pribadi yang tercerahkan, niscaya akan selalu menjadi figur yang membumi, tak lelah membersamai umat dan menjalin hubungan yang harmonis dengan pemerintah. Demikian juga pilar terakhir, yakni umat idealnya harus mampu mengonsolidasikan diri sebagai sebuah jejaring masyarakat sipil (civil society).
Ciri civil society ialah masyarakat yang rasional, kritis, independen, namun beradab. Poin terakhir ini, yakni beradab menjadi unsur yang sangat penting. Terutama dalam konteks kekinsian ketika kebebasan berekspresi dan berpendapat di muka umum kerap ditafsirkan secara brutal dan vulgar. Dengan memperkuat tiga pilar tersebut (ulama, umara dan umat), kita patut optimistik kemaslahatan bangsa akan terwujud.