Kyai Said Tegas dan Bangkitkan Kepercayaan Diri Kembali Warga Nahdliyin - HWMI.or.id

Thursday 7 October 2021

Kyai Said Tegas dan Bangkitkan Kepercayaan Diri Kembali Warga Nahdliyin

Kyai Said Bangkitkan Kepercayaan Diri Kembali Warga Nahdliyin

NU sejak awal tak pernah mendukung segala macam aksi dan gerakan berkedok agama untuk menumbangkan pemerintah yang sah. KH. Said Aqil Siradj menentang keras aksi-aksi Tersebut, baik sebelum dan sesudah aksi 212 di Monas tahun 2018. NU menganggap 212 adalah gerakan berkedok agama yang ingin menumbangkan pemerintah yang sah, yakni pemerintahan Jokowi. 

Di kutip dari dakwahnu.id, “Walaupun diancam atau dirayu, tidak sedikitpun kita bergeser menolak Jumatan di Monas. Satu, karena shalat Jumat di Monas bukan shalat, tapi politik. Kedua, saya tahu siapa di belakangnya yang biayain” Kata Kiyai Said waktu itu.

Akibatnya, pendukung 212 mengerdilkan NU di mana-mana. NU dianggap bukan lagi representasi mayoritas umat Islam di Indonesia. Pengurus NU di daerah-daerah jadi sasaran buly dan caci-maki oleh kelompok 212. Di Solo dan Madura, massa Banser dan Pagar Nusa nyaris bentrok dengan massa 212 karena dianggap sebagai pendukung penista agama dan penjilat penguasa. Kejadian pembakaran bendera HTI saat peringatan Hari Santri di alun-alun Garut oleh Banser semakin menambah panas suasana dan menambah hebat kebencian kepada NU.

Komentar-komentar Kiyai Said sangat pedas kepada kelompok-kelompok radikal, meski resikonya ia dihujat, dicaci, dibuly, dan difitnah di sana-sini. Ia dituduh ulama penjilat, menerima bayaran dari rezim, agen syiah, dan divonis sesat serta kafir oleh orang-orang yang tak senang dengan komentar-komentarnya. Menghadapi berbagai cacian dan fitnah tersebut, Kiyai Said tetap santuy. Ia membalasnya hanya dengan bait-bait syair berikut ini:

يَعْرِفُنَا لاَ مَنْ نَظْرِ فِى عَادِيٌّ اَشْخَاص كُلُّنَا

“Kita semua adalah orang biasa dalam pandangan orang-orang yang tidak mengenal kita”.

يَفْهَمُنَا مَنْ نَظْرِ فِى رَائِعُوْنَ اَشْخَاصٌ وَكُلُّنَا

“Kita adalah orang yang menarik di mata orang yang memahami kita”.

يُحِبُّنَا مَنْ نَظْرِ فِى مُمَيِّزُوْنَ اَشْخَاصٌ وَكُلُّنَا

“Kita istimewa dalam penglihatan orang-orang yang mencintai kita ”.

يَحْسُدُنَا مَنْ نَظْرِ فِى مَغْرُوْرُوْنَ اَشْخَاصٌ وَكُلُّنَا

“Kita adalah pribadi yang menjengkelkan bagi orang yang penuh kedengkian ”.

عَلَيْنَا يَحْقِدُ مَنْ نَظْرِ فِى سَيِّئُوْنَ اَشْخَاصٌ وَكُلُّنَا

“Kita adalah orang-orang jahat di dalam tatapan orang-orang yang iri”.

الآخَرِيْنَ عِنْدَ لِتُحْسِنَ نَفْسَكَ تَتْعَبْ فَلاَ نَظْرَتُهُ شَخْصٍ لِكُلِّ

“Pada akhirnya, setiap orang memiliki pandangannya masing masing, maka tak usah berlelah lelah agar tampak baik di mata orang lain”.

تُدْرَك لاَ غَايَةٌ النَّاسِ رِضَا عَنْكَ اللّٰهُ رِضَا يَكْفِيْكَ

“Cukuplah dengan ridha Allah bagi kita, sungguh mencari ridha manusia adalah tujuan yang tak kan pernah tergapai”.

يُتْرَكْ لاَ مَا وَاَدْرِكْ يُدْرَكْ لاَ مَا فَاتْرُكْ تُتْرَك لاَ غَايَةٌ اللّٰهُ رِضَا

“Sedangkan Ridha Allah, destinasi yang pasti sampai, maka tinggalkan segala upaya mencari keridhaan manusia, dan fokus saja pada ridha Allah”.

Makna bait-bait syair di atas adalah pendirian seorang sufi, mengingatkan saya pada definisi tasawuf dari seorang Sufi besar Ma’ruf Al Karkhi. Kata Al Karkhi: “Tasawuf adalah merengkuh segenap hakikat ilahi, dan berpaling dari segenap yang ada di tangan makhluk”. Seorang sufi, tak membutuhkan pujian dan tak memperdulikan cacian dari makhluk sebab tujuannya hanya Allah SWT. Seorang sufi akan mengatakan apa yang dia yakini benar, tak peduli dengan pujian dan cacian orang karena yang dituju semata-mata hanya ridha Allah.

Kiyai Said adalah murid Gus Dur. Ia sendiri sering mengatakan bahwa Gus Dur-lah yang membentuk ilmu-ilmu yang diperolehnya selama puluhan tahun di Lirboyo, Krapyak, dan Timur Tengah. Gus Dur mengajarkannya bagaimana cara menggunakan ilmu-ilmunya. Dan seperti gurunya, yang tak menghiraukan apapun pujian dan cacian orang kepadanya, demikian pula Kiyai Said dalam menghadapi badai cacian dan fitnah kepadanya. Dalam berbagai kesempatan di hadapan para pengurus NU, beliau selalu mengatakan: “Jadi ketua NU itu harus nekat, berani, dan siap dicaci maki. Mental dan keberanian ketua umum PBNU harus melebihi pengurus NU yang lainnya”.

Di tengah badai cacian dan fitnah yang melanda NU, baik sebelum dan sesudah aksi 212 -yang mengakibatkan runtuhnya kepercayaan diri para pengurus NU dan warga nahdliyin- Kiyai Said tampil mengembalikan kembali kepercayaan diri warga NU. Ia menginstruksikan kepada kader-kader NU untuk memenangkan pertarungan isu di media sosial. Ia menyerukan seluruh elemen NU untuk melawan radikalisme dan intoleransi di berbagai media. Ia terang-terangan menyatakan Wahabi adalah pintu masuk terorisme. Ia konsisten menyerukan pembubaran ormas-ormas radikal seperti HTI dan FPI. Kiyai said menginstruksikan, kader-kader NU yang berbasis pada karakter tawasuth (jalan tengah) harus mengisi seluruh peran dalam masyarakat, baik peran agama maupun lainnya. Kalau peran-peran di masyarakat tidak diisi oleh kader NU, maka akan menjurus pada penanaman ideologi ekstrem radikal di tengah-tengah masyarakat. Dalam bahasa khas Kiyai Said: “Khotib, Imam Masjid, dai kalau bukan NU salah semua”.

Menurut saya, peran Kiyai Said dalam mengembalikan kepercayaan diri warga NU, sama dengan peran KH. Wahab Hasbullah (meski mungkin, karena faktor adab, Kiyai said akan menolak analogi saya ini) pada tahun 1950-1960-an. Pada tahun 1950-1965 KH. Wahab Hasbullah berhasil mengembalikan kepercayaan warga NU yang dicaci maki hebat karena NU keluar dari Masyumi. Kiyai Wahab keliling Indonesia, Beliau berpidato di hadapan massa NU: “Banyak pemimpin NU di daerah-daerah dan juga pusat yang tidak yakin akan kekuatan NU, mereka lebih meyakini kekuatan golongan lain. Orang-orang ini terpengaruh oleh bisikan orang yang menghembuskan propaganda agar tidak yakin dengan kekuatan yang dimilikinya. Kekuatan NU itu ibarat senjata adalah meriam, betul-betul meriam. Tetapi digoncangkan hati mereka oleh propaganda luar biasa yang menghasut seolah-olah senjata itu bukan meriam, tetapi hanya gelugu alias batang kelapa.” Pidato Kiyai Wahab ini begitu dahsyat pengaruhnya, hingga berhasil mengembalikan kembali kepercayaan diri para pengurus dan warga NU. Terbukti pada tahun 1955 Partai NU berhasil menjadi pemenang pemilu ketiga setelah PNI dan Masyumi.

Sama dengan Kiyai Wahab, Kiyai Said sukses mengkonsolidasikan warga NU dan menyatukan warga NU secara politik untuk memenangkan kader terbaiknya, KH. Ma’ruf Amin menjadi wakil presiden mendampingi Pak Jokowi. Pasangan Jokowi dan KH. Ma’ruf Amin terpilih sebagai presiden dan wakil presiden pada Pemilu 2019 . Baru kali ini suara NU bulat mendukung kadernya dalam pilpres. Biasanya pilihan warga NU tak pernah kompak dalam setiap pilpres atau pilkada sekalipun.

Oleh: Kyai M. Imaduddin (Gus Imad)

Koordinator Jaringan Santri Nusantara

(Hwmi Online)

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda