Prediksi Pencalonan Ketum PBNU Menjelang Muktamar
Dikutip dari dakwahnu.id, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH. Said Aqil Siroj dan Katib Aam PBNU Yahya Cholil Staquf, mengumumkan keikutsertaannya untuk mencalonkan diri sebagai ketua umum di Muktamar NU Desember mendatang.
“Kalau banyak permintaan ya saya siap dong, kader harus siap kalau banyak permintaan. Walaupun sampai saat ini saya belum mendeklarasikan secara resmi, tetapi permintaan sudah sangat banyak,” kata kiai Said Aqil di Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Rabu (6/10/21).
Sementara Katib Aam PBNU Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) mengaku telah bertemu dan mendapat restu dari Kiai Said Aqil serta melakukan banyak dialog dengan para pengurus NU di daerah sejak September 2021, untuk menawarkan gagasannya sebagai calon ketua umum.
Di antaranya dari Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Barat, Lampung, Sumatera Selatan, Bengkulu, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Sulawesi Barat, dan Maluku Utara.
“Saya sendiri agak terkejut karena dengan cepat menarik perhatian pengurus-pengurus wilayah dan cabang, sehingga permintaan untuk bisa melakukan diskusi itu terus sampai sekarang,” ujar Gus Yahya.
Adapun gagasan yang ditawarkan Gus Yahya antara lain reorientasi program-program NU dengan melakukan desentralisasi secara terkonslidasi, dan melakukan repositioning politik agar NU tidak menjadi pihak dalam kompetisi politik, khususnya Pemilu 2024.
Sebelumnya, nama Kiai Said Aqil maupun Gus Yahya muncul dalam survei Institute for Democracy and Strategic Affairs (IndoStrategic). Menurut survei tersebut, Kiai Said masih menjadi calon kuat untuk mempertahankan jabatannya, meskipun juga disebutkan di tataran internal PBNU muncul aspirasi untuk melakukan regenerasi kepemimpinan.
Beberapa nama lain yang muncul adalah tokoh kiai dari Jawa Barat, tokoh Kiai Jawa Timur, seperti Marzuki Mustamar dan Mutawakil Alallah, dan juga kiai muda asal Jawa Tengah, Gus Baha dan Yahya Staquf.
“Kemungkinan besar yang bersaing adalah nama-nama itu,” kata Direktur IndoStrategic Ahmad Khoirul Umam.
Khoirul mengatakan kandidat terkuat pada akhirnya nanti akan bergantung pada dinamika dan independensi sikap dan keputusan PWNU dan PCNU. Selain itu, Khoirul juga melihat ada potensi sikap itu dipengaruhi oleh kekuatan politik yang digerakkan oleh elemen eksternal NU seperti PKB dan bahkan Kementerian Agama.
Adi Prayitno, pengamat politik dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, memperkirakan pencalonan ketua umum PBNU akan mengerucut pada dua pilihan besar, yaitu Kiai Said dan Gus Yahya. Kalau pun ada nama lain seperti Muhaimin Iskandar, Adi menilai Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa itu masih dianggap 1 mazhab dengan Kiai Said Aqil.
Menurut Adi, Gus Yahya dapat menjadi calon kuat lantaran sosoknya yang mewakili para pendukung Presiden keempat Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. “Apalagi Gus Yahya mantan jubir Gus Dur. Trah politiknya mirip Gus Dur dan relatif membawa NU menjauh dari urusan politik,” ujar Adi.
Sedangkan, Kiai Said Aqil sebagai inkumben, kata Adi, menjadi faktor yang menguntungkan karena dapat meraih dukungan dari pengurus-pengurus yang memiliki suara.
Namun, kehadiran Gus Yahya pun tak bisa dianggap remeh.
Adi mengatakan, jika Gus Yahya didukung adiknya, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, maka peluang terpilihnya akan kuat dan solid. Sebab, Gus Yaqut dinilai bisa mengkonsolidasikan jaringannya, seperti Gerakan Pemuda Ansor, untuk memaksimalkan dukungan ke Gus Yahya.
Selain itu, ketua umum PBNU yang akan terpilih akan mempengaruhi sikap organisasi saat Pemilu 2024. Adi mengungkapkan, jika Kiai Said Aqil lagi yang terpilih, kecenderungan NU akan tetap dekat dengan politik dan kekuasaan. “Itu tidak bisa menutup mata, karena banyak aktivis NU juga menjadi bagian dari pemerintah. Bahkan, kiai Said juga komisaris utama,” ucapnya.
Jika PBNU di tangan Gus Yahya, kata Adi, harapan publik secara umum adalah organisasi tersebut kembali ke khittahnya sebagai gerakan civil society, yang mengadvokasi kepentingan publik. Sebab, NU belakangan relatif tidak memiliki sikap politik yang kritis.
“Ketika ada isu revisi UU KPK, Cipta Kerja nyaris tidak pernah mendengar sikap politik NU yang jelas. Padahal, NU sebagai ormas besar, sekalipun ormas agama penting untuk punya sikap,” kata Adi.
Koordinator Jaringan Muslim Madani (JMM) Syukron Jamal mengatakan dinamika dan kontestasi menjelang Muktamar ke-34 NU adalah hal yang wajar.
Mantan aktivis PMII itu mengatakan dinamika dan konstelasi jelang Muktamar harus tetap menjaga dan mengedepankan marwah NU dan para kiai atau ulama di dalamnya. Beliau berharap konstelasi yang terjadi lebih mengedepankan pada pertarungan ide dan gagasan, visi misi membawa NU semakin berperan baik di nasional maupun global sekaligus pada sisi lain menjawab berbagai tantangan keumatan.
“Bagaimanapun, NU bukan organisasi politik atau partai politik, melainkan organisasi keumatan. Siapapun yang berkontestasi tentu adalah merupakan figur-figur yang terbaik dan mumpuni serta patut dihormati sehingga harus dihindari upaya saling menjatuhkan secara personal,” kata Syukron.
Syukron berharap Muktamar NU dapat melahirkan kebijakan dan produk hukum organisasi serta kepemimpinan yang terus membawa NU maju, berkembang dan modern.
Selain itu, PBNU juga dapat berperan dalam kerja-kerja keumatan melalui berbagai program pemberdayaan umat, penguatan ekonomi, pendidikan, kesehatan, pengembangan sains teknologi dan tentu saja tetap menjadi garda terdepan membumikan “Islam rahmatan lil alamin” yang ramah, moderat dan toleran.