Pindah Ibukota dalam Sejarah Politik Islam - HWMI.or.id

Tuesday 25 January 2022

Pindah Ibukota dalam Sejarah Politik Islam

Oleh: Islah Bahrawi

Makkah,Madinah,Damaskus,Baghdad,Kairo,Istanbul,dan Cordoba adalah pusat kota pemerintahan islam dari masa ke masa. Dalam setiap perpindahan ibukota masa itu, kaum khawarij selalu menentang. Mengapa?

Kekuatan-kekuatan baru dibangun oleh kaum Khawarij di seputaran Madinah, Kuffah dan pusat pemerintahan Islam lainnya selama ratusan tahun. Ini terjadi sejak zaman khalifah Ali bin Abi Tholib, Bani Umayyah hingga ke era Abbasiyah. 

Perpindahan ibu kota yang terjadi pada masa itu biasanya untuk menghindar dari berbagai pertikaian politik, termasuk agitasi politik dari Khawarij yang tidak ada habisnya. Pada era Abbasiyah, beberapa pemerintahan bahkan sempat berpusat di Raqqa dan Samarra, meski sebagian besar tetap berpusat di Bagdad. Selama berabad-abad pusat pemerintahan Islam selalu berubah - meninggalkan pola primitif untuk membentuk kota dengan fungsi sosialnya sendiri.

Dinasti Abbasiyah memindahkan ibu kotanya dari Damaskus ke Baghdad pada 762 M. Bani Abbasiyah sangat bergantung pada dukungan Persia dalam menggulingkan Bani Umayyah, sehingga pergeseran geografis itu dilakukan untuk memenuhi keinginan basis pendukung dari non-Arab itu. Karenanya, khalifah Al-Mansur lebih membuka pintu bagi Muslim non-Arab ke istananya dibanding suku-suku Arab. Dia menganggap orang-orang Arab tidak sepenuhnya loyal dan mudah terhasut oleh kaum Khawarij. Dia berupaya mengasingkan pemerintahannya dari orang-orang Arab meski sebagian mendukungnya dalam pertempuran melawan Bani Umayyah di pinggiran sungai Zab di Iraq. 

Merujuk kepada Martin Hinds dalam "Studies in Early Islamic History"; kelompok Khawarij selalu menganggu pemerintahan Islam sejak era khalifah Ali, hingga sang pemimpin itu harus memindahkan pusat kekuasaannya ke Kuffah dari Madinah. Kelompok Khawarij menentang pemindahan itu. Hingga berabad-abad berikutnya, mereka selalu menentang keputusan setiap khalifah untuk memindahkan ibu kota dan memintanya untuk mengembalikannya ke Madinah. Alasannya; ibu kota pemerintahan harus tetap berada dalam tata kelola aristokrasi suku-suku Arab. Menurut Hinds, alasan ini hanya strategi Khawarij saja. Mereka ingin kembali ke Madinah supaya mudah memobilisir jaringan politik yang sudah terbentuk sejak akhir perang Shiffin.

Ini sejarah. "Masa lalu membaca hari ini, dan hari ini membaca masa lalu", kata Goenawan Mohamad.

(Hwmi Online)

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda