Cium Tangan Orang Tua, Syirik ? - HWMI.or.id

Sunday 16 April 2023

Cium Tangan Orang Tua, Syirik ?

Sebentar lagi lebaran. Biasanya ada tradisi saling berkunjung dan saling memaafkan, terutama dari anak kepada kedua orang tua yang diiringi dengan cium tangan. Hal ini dilakukan, dalam rangka memuliakan dan menghormati keduanya. Tradisi baik ini sudah berjalan cukup lama. Sayangnya, ada sebagian pihak yang menyatakan bahwa cium tangan orang tua itu haram, bahkan sampai ada yang mensyirikkan. Katanya, kening/jidat itu untuk sujud, bukan untuk mencium tangan.

Anggapan ini tidak benar. Imam Ibnu Muflih Al-Hanbali (w. 763 H) rhm berkata : 

وَتُبَاحُ الْمُعَانَقَةُ وَتَقْبِيلُ الْيَدِ وَالرَّأْسِ تَدَيُّنًا وَإِكْرَامًا وَاحْتِرَامًا مَعَ أَمْنِ الشَّهْوَةِ، وَظَاهِرُ هَذَا عَدَمُ إبَاحَتِهِ لِأَمْرِ الدُّنْيَا، وَاخْتَارَهُ بَعْضُ الشَّافِعِيَّةِ، وَالْكَرَاهَةُ أَوْلَى. وَكَذَا عِنْدَ الشَّافِعِيَّةِ تَقْبِيلُ رِجْلِهِ.

“Dibolehkan untuk berpelukan, mencium tangan dan kepala karena faktor agama (seperti kepada guru), pemuliaan, penghormatan (seperti kepada orang tua) selama aman dari syahwat. Sekilas pernyataan ini menunjukkan tidak bolehnya hal itu jika didasari oleh faktor duniawi. Dan pendapat ini dipilih oleh para ulama Syafi’iyyah. Namun yang lebih utama untuk dinyatakan makruh saja. Dan dibolehkan juga menurut ulama Syafi’iyyah untuk mencium kaki."

وَقَالَ الْمَرُّوذِيُّ سَأَلْت أَبَا عَبْدِ اللَّهِ عَنْ قُبْلَةِ الْيَدِ فَقَالَ: إنْ كَانَ عَلَى طَرِيقِ التَّدَيُّنِ فَلَا بَأْسَ قَدْ قَبَّلَ أَبُو عُبَيْدَةَ يَدَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا - وَإِنْ كَانَ عَلَى طَرِيقِ الدُّنْيَا فَلَا، إلَّا رَجُلًا يُخَافُ سَيْفُهُ أَوْ سَوْطُهُ.

“Al-Marudzi menyatakan ; Aku pernah bertanya kepada Abu Abdullah (Imam Ahmad bin Hanbal) tentang mencium tangan. Maka beliau menjawab ; “Jika karena faktor agama, maka tidak mengapa (boleh). Abu Ubaidah pernah mencium tangan Umar bin Al-Khathab ra. Namun jika karena faktor duniawi, maka tidak boleh, kecuali seorang yang dikhawatirkan pedang atau cemetinya.” (Al-Adab Asy-Syar’iyyah ; 2/258)

Semoga bermanfaat.


Penulis: Abdullah Al-Jirani

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda