Moment Iconic - HWMI.or.id

Wednesday, 24 December 2025

Moment Iconic

Gus Yahya,Ketua Umum PBNU saat Musyawarah Besar di Pondok Pesantren Lirboyo Kediri Jawa Timur 

Di saat para kiai sepuh Dewan Mustasyar satu per satu menyampaikan pandangan mereka, tiba-tiba terjadi sesuatu yang membuat ruangan seolah menahan napas. Dari barisan peserta Musyawarah Kubro, Gus Yahya berdiri. 

Tanpa suara keras, tanpa gestur berlebihan—hanya satu gerakan sederhana: tangan terangkat tinggi, memohon izin untuk berbicara. Sesaat, ruang itu diliputi keraguan. Para Mustasyar tampak saling berpandangan, mungkin agak ragu, atau mungkin sedikit terkejut. 

Waktu seakan berjalan lambat. Namun Gus Yahya tetap berdiri tegak, tidak goyah, tidak pula memaksa. Ada keteguhan yang sunyi, kepercayaan diri yang lahir bukan dari ambisi, melainkan dari keyakinan bahwa kebenaran perlu disampaikan, tentu dengan adab.

Akhirnya, izin itu diberikan

Dalam waktu singkat yang beliau peroleh, Gus Yahya menyampaikan klarifikasi atas berbagai tuduhan yang selama ini diarahkan kepadanya. 

Gus Yahya berbicara tenang, runtut, disertai data dan fakta. Tidak emosional, tidak menyerang balik. Namun yang paling terasa bukanlah isi materinya semata.

Yang menyentuh hati justru sikapnya

Di hadapan para kiai sepuh, beliau tetap menunduk dalam adab dan akhlak seorang santri. Tidak merebut mikrofon. Tidak mengambil panggung. Beliau meminta izin—karena baginya, penghormatan lebih tinggi nilainya daripada sekadar membela diri.

Dalam ketenangan itu, terpancar ketawaduan. Dalam kalimat-kalimat singkatnya, terasa ketegasan. Dalam keberaniannya berdiri sendiri, tampak kejujuran. Dan di balik semua itu, barangkali ada rasa lelah karena lama tidak diberi ruang untuk menjelaskan.

Dan beliau merasa ini adalah momen yang tepat untuk mengatakan sesuatu yang memang harus disampaikan. Beliau menyampaikan itu dengan kalimat-kalimat yang tidak bernada menyerang, tidak mengancam.

Gus Yahya tetap menghormati pihak yang berbeda, dengan cara berpegang pada keputusan para kiai sepuh yang menjadi dewan mustasyar,

Apa yang beliau sampaikan itu singkat. Namun dampaknya tak terduga.

Banyak peserta terdiam. Wajah-wajah yang semula tegang karena terkejut, berubah menjadi semacam kekaguman dan keharuan. 

Gus Yahya, dengan suara yang mengandung kejujuran, ketegasan sekaligus ketenangan, dengan keberanian untuk mengambil tanggung jawab, telah membuka mata banyak orang, tentang apa yang sebenarnya sedang beliau perjuangkan. Tidak sedikit audien yang mbrabak, matanya berkaca-kaca, oleh rasa haru yang sulit dijelaskan dengan kata-kata.  

Sejenak ruangan hening, lalu, aplaus pun menggema. Bukan sekadar tepuk tangan, melainkan penghormatan. Sebuah pengakuan tanpa kata-kata bahwa yang baru saja berdiri bukan hanya seorang pemimpin, tetapi seorang santri yang menjaga adab dan akhlak, yang memiliki ketenangan hati, seorang manusia yang memilih keterbukaan, kejujuran, dan berpegang teguh pada aturan yang telah disepakati oleh para ulama besar di masa lalu. 

Tepuk tangan itu barangkali juga mewakili kelegaan hati sebagian besar hadirin karena mereka melihat langsung, bukan melalui kabar-kabar tak jelas, seperti apa sikap Gus Yahya yang sebenarnya.

Pada akhirnya, Gus Yahya melalui klarifikasi singkat itu menunjukkan bahwa apapun masalahnya, setiap pihak yang terlibat harus berani bertanggung jawab untuk menyelesaikannya secara ksatria, dengan cara-cara yang bermartabat dan damai. 

Gus Yahya menunjukkan bahwa orang yang merdeka dan tak tersandera oleh kepentingan duniawi tidak perlu ragu untuk mengatakan sesuatu yang dia yakini ada dasarnya, tidak perlu takut berdiskusi dan berdialog, dan tidak menghindari upaya-upaya penyelesaian dan perdamaian. 

karena Gus Yahya, dan juga umat muslim pada umumnya, tahu betul bahwa Nabi sendiri juga telah memberi contoh betapa pentingnya islah dan musyawarah demi menjaga kedamaian dalam kehidupan sosial. Bukankah ‘Islam’ itu sendiri juga berarti damai, selamat, aman?.

HR. Sukabul.

Lirboyo, 21 Desember 2025.

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda