Pendapat Ulama Tentang Kaos / Pakaian Tauhid - HWMI.or.id

Wednesday 10 June 2020

Pendapat Ulama Tentang Kaos / Pakaian Tauhid

  • Pendapat Ulama Tentang Kaos / Pakaian Tauhid

Penggunaan pakaian yang mengandung lafal-lafal mulia yaitu kalimat tauhid dan lafal sejenis sempat mengemuka pada Muktamar Ke-25 NU di Surabaya pada 20-25 Desember 1971 M.

Para kiai peserta muktamar ketika itu dihadapkan pada masalah pembuatan sajadah dengan bertuliskan kalimat tauhid. “Dapatkah dibenarkan pembuatan sajadah yang dijual kepada umum dengan bertuliskan kalimat tauhid dan sesamanya?”

Setelah melalui kajian mendalam, para kiai memutuskan bahwa “Membuat/menjual sajadah yang bertuliskan kalimat tauhid dan sesamanya tidak bisa dibenarkan karena mumtahan (dihina), sebab sajadah itu disediakan untuk alas shalat.”

Para ulama juga membahas masalah terkait ini. Bagi mereka, lafal tauhid dan lafal mulia lain harus diperlakukan secara terhormat. Oleh karena itu, mereka mengharamkan seseorang menelan sesuatu yang mengandung kalimat dalam Al-Qur’an karena akan bercampur dengan cairan di dalam tubuh sekali pun itu tidak najis.

ويحرم بلع ما كتب عليه قران لملاقاته للنجاسة وقال سم لا يقال إن الملاقاة في الباطن لا تنجس لأنا نقول فيه امتهان وإن لم ينجس كما لو وضع القرآن على نجس جاف يحرم مع أنه لا ينجس

Artinya, “(Seseorang) diharamkan menelan catatan mengandung Al-Qur’an karena akan bercampur dengan najis. Sulaiman Bujairimi mengatakan, tidak bisa dikatakan bahwa pertemuan tulisan itu di dalam perut membuatnya najis karena kami mengatakan bahwa demikian itu terkandung penghinaan sekalipun tidak menjadi najis. Hal ini serupa dengan peletakan Al-Qur’an di atas benda najis yang telah kering sebagai tindakan haram meski tidak membuat Al-Qur’an menjadi najis,” (Lihat Sayyid Muhammad Syatha Ad-Dimyathi, I’anatut Thalibin, [tanpa catatan kota, Daru Ihyail Kutubil Arabiyyah: tanpa catatan tahun], juz I, halaman 69).

Sementara ulama lainnya membolehkan tindakan tersebut dengan asumsi bahwa bentuk lafal tauhid atau lafal mulia lainnya pada benda yang ditelan tersebut telah berubah sehingga tidak bisa lagi disebut sebagai lafal tauhid.

وقال في النهاية وإنما جوزنا أكله لأنه لا يصل إلى الجوف إلا وقد زالت صورة الكتابة اه ومثله في التحفة وزاد فيها ولا تضر ملاقاته للريق لأنه ما دام بمعدنه غير مستقذر

Artinya, “Di dalam An-Nihayah Syekh Ar-Ramli mengatakan, kami membolehkan menelannya karena tulisan Al-Qur’an itu takkan sampai ke dalam perut kecuali bentuk tulisannya telah hilang. Selesai. Serupa dengan pandangan ini adalah komentar Syekh Ibnu Hajar di Tuhfah. Ia menambahkan di dalamnya, pertemuan tulisan Al-Qur’an dan air liur tidak masalah karena air liur itu selama berada di dalam tubuh bukan barang kotor,” (Lihat Sayyid Muhammad Syatha Ad-Dimyathi, I’anatut Thalibin, [tanpa catatan kota, Daru Ihyail Kutubil Arabiyyah: tanpa catatan tahun], juz I, halaman 69).

Lalu bagaimana dengan lafal tauhid dan lafal mulia lain yang melekat pada pakaian? Sementara tubuh seseorang itu mengeluarkan keringat. Bagaimana juga ketika pakaian berlafal tauhid itu kotor dan dicampur dengan pakaian kotor lainnya?

Keterangan terakhir dari Sayyid Muhammad Syatha Ad-Dimyathi di atas sudah menjawab kedua pertanyaan ini sekaligus. Air liur dan cairan lain selama berada di dalam tubuh tidak terbilang sebagai benda kotor.

Sebaliknya, ketika berada di luar tubuh, maka cairan tersebut yaitu air liur, riak, keringat terbilang benda kotor (meski tidak najis) yang haram melekat dengan lafal tauhid dan lafal mulia lainnya.

Kami menyarankan sebaiknya kita menghindari sajadah dan pakaian yang mengandung lafal tauhid atau lafal mulia lainnya agar kita tetap dapat menjaga kehormatan lafal tersebut.

Follow :
Instagram HWMI :
https://www.instagram.com/hubbul_wathon_

Twitter HWMI :
https://twitter.com/Hubbul_Wathon26

Subscribe Juga Youtube Channel Kami:
https://www.youtube.com/channel/UC6VYPhQt75ogtA9vQF6b0kQ

#HubbulWathonMinalIman

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda