Felix Siauw yang Culas: Membongkar Kesesatan Berfikir Felix Soal Iran dan Palestina - HWMI.or.id

Tuesday, 24 June 2025

Felix Siauw yang Culas: Membongkar Kesesatan Berfikir Felix Soal Iran dan Palestina

Ada yang lebih menyakitkan dari kebohongan musuh: kekeliruan sahabat. Dan jika kekeliruan itu diulang-ulang, dibingkai dengan dalil, disebarkan dengan percaya diri oleh seorang ustaz, maka ia tak lagi jadi kekeliruan. Ia menjelma jadi ideologi.

Felix Siauw, seorang dai yang dulu menggemakan anti-imperialisme, kini justru meminjam narasi Zionis. Tentang Iran, tentang sejarah Persia, tentang Palestina. Semuanya dibungkus dalam satu kesimpulan: Iran bukan Islam. Dan karenanya, ia bukan bagian dari barisan umat.

Ini bukan sekadar kesalahan, tapi keruntuhan nalar. Ia membaca sejarah dengan mata sebelah. Yang tampak hanyalah mazhab, bukan sikap. Yang terdengar hanyalah perbedaan, bukan perlawanan.

Pertama, mari kita buka lembar sejarah. Iran hari ini adalah Republik Islam yang lahir dari Revolusi 1979. Sebuah revolusi anti-Syah Pahlevi, anti-Amerika, dan anti-Israel. Ia bukan penerus kerajaan api, bukan kelanjutan dari Persia kuno. Ia adalah patahan.

Ayatollah Khomeini memimpin revolusi itu dengan satu semangat: bahwa Islam tidak tunduk pada imperialis. Dan sejak itu, Iran memutus hubungan dengan Israel dan Amerika Serikat. Kedutaan besar Israel di Teheran diubah menjadi kantor perwakilan Palestina. Sebuah simbol.

Pada tahun 1982, Iran mendukung pendirian Hizbullah di Lebanon Selatan sebagai respons atas invasi Israel ke Beirut. Kelompok ini menjadi kekuatan utama perlawanan di kawasan itu, dan hingga kini menjadi sekutu utama Iran di garis depan konfrontasi dengan Israel.

Iran tidak hanya mengutuk, ia membentuk front. Ia tidak hanya berdiri di mimbar, ia hadir di medan perang. Tapi Felix menghapus semua itu hanya dengan satu frase: "Iran menyerang karena diserang."

Lalu mengapa Felix menyeret nama Cyrus Agung ke dalam kritiknya terhadap Iran? Dengan enteng ia berkata: "Cyrus adalah penyembah api, dan ia membangunkan kuil untuk Yahudi." Seolah Iran hari ini adalah reinkarnasi Cyrus. Seolah sejarah berjalan linear, tanpa pertobatan politik.

Apakah benar Cyrus membangun kuil? Tidak. Yang ia lakukan hanyalah memberi izin kepada bangsa Yahudi yang diasingkan di Babilonia untuk kembali ke Yerusalem dan membangun sendiri Bait Suci mereka. Ia tidak ikut membangun. Ia tidak menyembah Tuhan Israel.

Kebijakan Cyrus adalah taktik kekaisaran: memperbolehkan rakyat taklukannya menjalankan agama agar stabilitas terjaga. Itu bukan solidaritas. Itu manajemen kolonial. Dan itu terjadi ratusan tahun sebelum Islam turun.

Menggunakannya untuk menuduh Iran hari ini sebagai pewarisnya adalah lompatan logika yang menyesatkan. Lebih fatal lagi, itu berarti mengadopsi cara pikir para pemimpin Israel: bahwa Iran harus dikembalikan ke era Syah.

Netanyahu dalam berbagai pidatonya selalu mengajak rakyat Iran untuk menumbangkan pemimpin mereka sendiri. Ia mengenang masa lalu saat Israel punya hubungan diplomatik dan dagang dengan Iran. Dan Felix, entah sadar atau tidak, mengulang narasi yang sama.

Padahal, masa Syah adalah masa ketika Mossad bercokol di Teheran. Ketika rakyat Iran dibungkam dan Zionis bersorak. Ketika para ulama dibuang, dan rezim bersulang anggur bersama diplomat Israel.

Iran pasca 1979 adalah kebalikannya. Menolak Israel, menolak Amerika. Memilih blok perlawanan. Memilih jalan sunyi yang disesaki sanksi dan sabotase. Tapi juga jalan yang membawa suara Palestina ke panggung dunia.

Felix menyebut Iran tidak membantu Palestina. Tapi fakta berkata lain. Setiap kali Gaza dibombardir, Iran adalah negara pertama yang menawarkan bantuan medis, keuangan, dan logistik. Bahkan saat dihina oleh sebagian faksi Arab, Iran tetap memberi.

Dalam sebuah wawancara pada 2022, Ismail Haniyeh menyebut Iran sebagai satu-satunya negara yang konsisten mendukung Palestina sejak 1979. Tak ada jeda. Tak ada syarat. Dan saat rudal Fajr-5 menghantam Tel Aviv, itu bukan datang dari doa-doa Arab Saudi. Tapi dari teknologi militer Iran. Dari pabrik kecil yang dibangun diam-diam di terowongan Gaza. Dari keberanian sebuah republik yang terus dijatuhkan oleh embargo.

Jika Iran hanya reaktif, seperti kata Felix, lalu mengapa bantuan itu mengalir bahkan saat Israel belum menyerang? Mengapa pelatihan dilakukan jauh sebelum rudal ditembakkan? Mengapa solidaritas dibangun bahkan saat Palestina sedang "sepi" di media?

Logika Felix runtuh di hadapan fakta. Tapi ia tetap bersandar pada asumsi. Ia berkata, Iran menyerang Israel hanya karena diserang. Bukan karena Palestina. Tapi ia lupa: sejak 1979, Iran menyebut pembebasan Palestina sebagai prinsip negara.

Setiap tahun, di hari Jumat terakhir Ramadhan, Iran memperingati Hari Al-Quds. Bendera Zionis dibakar. Jalan-jalan penuh poster. Bukan sekadar retorika. Tapi pesan: bahwa Palestina bukan isu Arab semata. Ia adalah luka Islam.

Felix bisa saja membenci Syiah. Tapi menyamakan seluruh gerak Iran hari ini dengan masa lalu kerajaan Persia adalah penyederhanaan sejarah yang brutal. Ia menghapus revolusi, menertawakan pengorbanan, dan menyamakan mimbar dengan monarki.

Kita bisa berbeda mazhab. Tapi kita tidak bisa berbeda soal penjajahan. Israel menjajah Palestina. Iran melawan Israel. Maka posisi Iran, suka atau tidak, berada di sisi yang benar.

Felix tak pernah mempertanyakan diamnya negara-negara Sunni. Padahal Saudi, UEA, Bahrain, bahkan Sudan telah menormalisasi hubungan dengan Tel Aviv. Mengapa yang diserang justru negara yang berani menentang? Dan disinilah sangat terlihat wajah sektarianisme Felix: lebih cepat menuduh Syiah daripada menyalahkan kolaborator Zionis. Lebih curiga kepada yang menentang Israel, daripada kepada yang diam dan berdagang.

Iran tidak sempurna. Tapi ia hadir. Ia tidak netral. Ia memihak. Dan di dunia yang bingung oleh kompromi, keberpihakan adalah bentuk tertinggi dari keberanian.

Ketika rudal Israel menghantam Gaza, dan hanya Iran yang merespons lewat Hizbullah dan Yaman, pertanyaannya bukan lagi: apakah Iran Syiah? Tapi: siapa lagi yang masih punya keberanian?

Logika Felix tidak berdiri di atas fakta, tapi di atas ketakutan. Ia takut Syiah memengaruhi umat. Ia takut solidaritas lintas mazhab merusak batas-batas ideologis. Maka ia hancurkan jembatan, dan menggali parit.

Padahal musuh kita bukan Syiah. Bukan Sunni. Tapi Zionis, yang menjajah bumi suci dan mengusir penduduknya. Jika ada satu negara yang berani berkata lantang melawan Israel, mengapa kita malah menyerangnya?

Sejarah tak akan mencatat siapa yang paling lantang menuduh sesat. Tapi ia akan mencatat siapa yang mengirim bantuan saat Gaza terbakar. Dan dalam catatan itu, Iran hadir.

Iran hadir bahkan ketika sekutunya diserang. Ketika pangkalan militernya disabotase. Ketika jenderalnya dibunuh. Dan tetap mengangkat bendera Palestina. Ia hadir di Damaskus, di Baghdad, di Beirut, dan bahkan di pinggiran Sinai, dalam bentuk sinyal, logistik, dan jaringan intelijen. Kehadirannya bukan simbolis. Ia substansial.

Sementara itu, negara-negara yang mengaku pembela Islam sibuk membuka jalur dagang, mencetak visa bisnis, dan membangun hotel bersama pengusaha Tel Aviv.

Felix menyebut Iran bukan Islam. Tapi bagaimana mungkin sebuah negara yang mendirikan Hari Al-Quds secara resmi, yang konstitusinya menolak Israel, yang rakyatnya mengarak bendera Palestina tiap Jumat, disebut di luar barisan umat?

Mungkin karena bagi Felix, Islam bukan soal keberpihakan. Tapi soal warna mazhab. Dan di situlah kesalahannya menjadi luka. Karena umat tak pernah menanyakan kamu Ja'fari atau Syafi'i ketika anak-anak mati di Gaza. Mereka hanya bertanya: siapa yang datang? Siapa yang melawan?

Ia tidak datang dari Riyadh. Tidak dari Abu Dhabi. Tidak dari Amman, apalagi Mesir. Ia datang dari Teheran, Dari Lebanon, dan saat ini dari Yaman, membawa rudal dan doktrin yang tak tunduk.

Bahkan dalam serangan langsung Iran ke Israel pada 2024—yang pertama dalam sejarah modern—alasan utama bukan hanya pembalasan, tapi pesan simbolik bahwa penjajahan tidak akan dibiarkan tanpa jawaban.

Serangan itu, dengan lebih dari 300 drone dan rudal, menjadi alarm paling keras bagi Tel Aviv sejak 1948. Dan itu bukan dari negeri Arab. Itu dari negeri Syiah, yang selalu dikucilkan dari forum-forum Sunni.

Apakah itu bukan pembelaan terhadap Palestina? Apakah itu hanya soal basis militer Iran yang diserang? Jika ya, mengapa serangan diarahkan ke wilayah Israel, bukan hanya fasilitas militer Amerika?

Felix melewatkan ini. Atau memilih melewatkannya. Karena mengakuinya berarti menyamakan musuh bersama. Dan itu terlalu berat bagi agenda sektarian.

Ia menyebut Syiah sebagai musuh, tanpa menyebut normalisasi UEA dan Bahrain. Ia menyebut Teheran sesat, tapi diam atas Riyadh yang menyambut kunjungan Menlu Israel bagai budak menyambut tuannya.

Dan ini lebih dari sekadar bias sejarah, logika yang culas, ini adalah pengkhianatan terhadap kebenaran. Bahwa di antara para penyeru tauhid, ada yang justru membela yang membantai tauhid di tanah suci Palestina.

Kita tak butuh pembela yang setengah-setengah. Kita butuh kejelasan. Bahwa musuh utama umat bukanlah perbedaan mazhab, tapi penjajahan yang terus dibiarkan oleh dunia Islam sendiri.

Dalam buku sejarah yang akan ditulis ulang kelak, nama Felix mungkin tak akan tercantum. Tapi kata-katanya akan tetap menjadi jejak: bahwa pernah ada seorang dai yang lebih percaya pidato Netanyahu ketimbang suara rakyat Gaza.

Dan jika itu bukan ironi paling getir dalam sejarah dakwah modern, entah apa lagi yang lebih layak disebut sebagai kemunduran akal umat.

Barangkali bukan hanya sejarah yang akan menghakimi. Tapi juga para anak yang mati tanpa selimut di Gaza. Mereka tak akan bertanya kamu Syiah atau bukan. Mereka hanya akan bertanya: mengapa kamu diam?

Mereka yang menjawab pertanyaan itu bukanlah mereka yang paling fasih berceramah. Tapi yang datang, mengirim, menolong, dan berdiri di sisi yang tertindas. Dan Iran ada di sana. Seperti yang ditulis Goenawan Mohamad: kadang yang paling terang tak butuh teriak. Ia hanya perlu hadir, ketika yang lain pergi.

Karena kebenaran, pada akhirnya, bukan milik yang paling nyaring. Tapi yang paling konsisten. Dan suara Iran, untuk Palestina, masih tetap terdengar. Meski kadang dari bawah tanah, kadang dari langit malam.

Kita semua akan ditanya kelak, bukan tentang mazhab. Tapi tentang keberpihakan.

***

Di tahun-tahun ketika dunia Arab sibuk membangun pencakar langit dan membungkam suara ulama, Iran diam-diam menyuplai drone ke Gaza. Bukan untuk dipamerkan, tapi untuk bertahan.

Di waktu yang sama, banyak dai memilih diam. Mereka mengutuk Israel tapi memeluk tangan para normalisator. Mereka mengangkat spanduk Palestina, tapi menolak berbicara soal Teheran.

Karena bagi mereka, kebenaran harus datang dari satu mazhab. Selebihnya dianggap ancaman. Selebihnya dianggap bukan bagian dari jamaah.

Tetapi para pejuang di Gaza, di Rafah, di Khan Younis, tak menanyakan itu. Mereka tahu dari mana senjata datang. Mereka tahu siapa yang mengirim sinyal komunikasi saat Israel memutus jaringan.

Dan tak ada satu pun dari mereka yang menyebut Riyadh. Yang mereka sebut adalah nama-nama dari Quds Force, dari Lebanon, dari Damaskus dibawah kepemimpinan Bashar. Dan, mereka semua terhubung dengan Iran.

Felix mungkin belum pernah mendengar bahwa ketika pemimpin Hamas bertemu Ayatollah Khamenei, mereka tak membahas fiqih. Mereka membahas logistik. Mereka bicara perbatasan, bukan perbedaan.

Karena saat peluru menembus dinding rumah, yang dibutuhkan bukan khutbah sektarian, tapi dukungan konkret. Dan itu yang datang dari negeri yang ia sebut bukan bagian dari Islam.

Iran menyuplai sistem navigasi, melatih komunikasi elektronik, mengajari pembuatan drone murah. Dan semua itu berlangsung diam-diam. Tanpa siaran. Tanpa perlu disebut dalam khutbah Jumat.

Sejak 1979, lebih dari 20.000 warga Iran gugur dalam perang melawan Irak yang didukung Amerika dan negara Arab. Tapi Iran tidak berhenti. Ia tetap kirim rudal ke Lebanon. Ia tetap buka jalur rahasia ke Gaza.

Sementara itu, negeri-negeri Sunni sibuk membangun stadion, menyelenggarakan konser, dan menyambut turis Israel. Palestina dijadikan simbol di poster, tapi dikubur di meja perundingan.

Adakah yang lebih kejam dari menuduh orang yang menolong sebagai bukan saudara? Adakah yang lebih culas dari menyamakan penjajah dengan pembebas hanya karena beda doktrin?

Dalam sejarahnya, Iran tidak pernah menjajah negeri Muslim lain. Tapi beberapa yang kini mengklaim Islam justru melapangkan jalan bagi penjajah dengan dalih investasi.

Ketika Qassem Soleimani dibunuh oleh drone Amerika, banyak pejuang di Gaza menangis. Mereka tahu siapa jenderal itu. Mereka tahu siapa yang membuat terowongan mereka tak runtuh.

Felix tidak tahu. Atau pura-pura tak mau tahu. Ia sibuk membaca kitab yang ia putar sesuai kebutuhan, bukan medan yang penuh darah dan serpihan.

Bahkan Presiden Mahmoud Abbas—yang sering dikritik terlalu lunak—pernah mengakui bahwa tanpa Iran, perlawanan bersenjata di Gaza akan lumpuh. Itu pengakuan yang tak keluar dari siapapun. Melainkan dari pemimpin Palestina.

Orang-orang seperti Felix mungkin lebih nyaman bicara bid’ah daripada bicara Zionisme, lebih nyaman membahas negara Islam sebagai cita-cita. Bahkan, mereka lebih seru debat sesat-menyesatkan ketimbang memperdebatkan negara-negara arab melakukan kontrak dagang dengan Israel. 

Dan di antara semua absurditas itu, Felix berdiri, mengutip musuh, menyalahkan kawan, dan menukar keberpihakan dengan propaganda.

Dan sejarah, seperti biasa, tidak akan mencatat semua nama. Tapi ia akan menggarisbawahi beberapa—bukan karena ketokohannya, tapi karena keterlanjurannya. Felix, dalam hal ini, bukan sekadar dai yang keliru. Ia adalah simbol dari betapa rendahnya keberanian intelektual bisa jatuh, ketika nalar lebih memilih sektarianisme daripada kebenaran.

Ia menjadi suara yang menyerang pembela Palestina, dan diam terhadap penjajahnya. Ia mengutip musuh umat untuk menyerang sesama umat. Ia lebih percaya pada propaganda Netanyahu daripada fakta-fakta yang hidup dan berdarah di Gaza. Di situ, Felix tak lagi sekadar keliru. Ia menjadi aib sejarah. Ia menjadi poster dari logika jongkok yang malu mengaku siapa musuh sebenarnya.

Dan entah ia sadar atau tidak, mulutnya kini menjadi corong bagi mereka yang menindas. Ucapan-ucapannya bukan sekadar salah, tapi berbahaya. Karena mengaburkan peta kebenaran di tengah perang yang butuh ketegasan. Ia tidak sedang memperjuangkan Islam, tapi sedang meminjam bendera Islam untuk melawan para pejuangnya. Itu bukan sekadar ironi. Itu tragedi.

Penulis:  M. Fazwan Wasahua


Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda