Oleh : KH. Ahmad Ishomuddin
Rais Syuriah PBNU
Anugerah istimewa dari Sang Pencipta kepada setiap manusia adalah akal. Saya sebut sifat akal sebagai sesuatu yang istimewa karena keunggulan dan keluhuran manusia dibandingkan dengan makluk lainnya itu terletak pada kecerdasan akalnya. Berbeda dari binatang, misalnya, karena manusia mampu secara relatif maksimal dalam mendayagunakan dengan tepat dan baik kecerdasan akalnya.
Keberadaan manusia antara lain diwarnai oleh akalnya, yang padanya terletak potensi dan aktifitas untuk menimbang, berpikir, menentukan pilihan-pilihan, atau mengambil satu alternatif keputusan atas rangkaian setiap masalah yang datang silih berganti sepanjang hayatnya. Oleh sebab itu, eksistensi manusia sangat ditentukan oleh keberadaan dan kewarasan akalnya.
Perbedaan antar manusia yang sama-sama berakal dalam segala halnya dari perspektif yang melingkupinya sepertinya bukan karena manusia lebih berakal dari manusia lain, melainkan karena setiap atau sebagian manusia mengarahkan potensi akalnya itu ke arah atau jalur yang berbeda, atau mungkin juga karena tingkat potensi kecerdasan manusia yang berbeda sehingga sebagiannya melihat dengan akurat apa yang tidak terlihat oleh yang lainnya. Dengan kata lain dapat dinyatakan bahwa kehidupan manusia di dunia ini menjadi statis atau dinamis, mundur atau maju, primitif atau berperadaban maju dan seterusnya adalah sangat dipengaruhi oleh aktifitas kecerdasan akal manusia yang terus berpikir, berinovasi, menentukan pilihan, dan atau memiliki kehendak yang berbeda-beda.
Bahkan agama samawi menjadikan akal sebagai syarat taklif (pembebanan hukum), sehingga manusia yang tidak waras akalnya (gila) sama sekali tidak dibebani kewajiban untuk melaksanakan ajaran agamanya. Hal ini menjadi bukti bahwa agama itu sejatinya hanya untuk manusia yang waras akalnya. Oleh sebab itu pula, maka dalam beragama pun setiap orang berkewajiban menjaga kewarasan akalnya, yakni tidak memahami maksud dan menjalankan agama berdasarkan dorongan hawa nafsunya. Banyak bencana kemanusiaan muncul justru karena manusia tidak menggunakan akalnya secara cerdas dalam beragama.
Maksud baik dari diturunkannya agama di antaranya adalah untuk menjaga kewarasan akal manusia beserta segala potensinya. Ajaran Islam misalnya mengharamkan manusia mengkonsumsi segala zat yang memabukkan, dalam kadar yang sedikit atau banyak, adalah untuk tujuan memelihara kewarasan akalnya. Kewarasan dan kecerdasan akal sangat penting untuk terus menerus dipelihara, karena dengan kecerdasan akalnya itu manusia dapat membedakan mana yang bermanfaat dari yang sia-sia, mana yang benar dari yang batil, apa yang halal dari yang haram, atau apa yang maslahat dari yang mafsadat, lebih-lebih jika akal itu dibimbing oleh wahyu, sedangkan wahyu dari Tuhan itu dipahami dengan sebenar-benarnya oleh akal yang waras lagi berisi ilmu. Dengan demikian, maka akal sehat itu menjadi penerang bagi pemiliknya menuju jalan kebenaran, kebaikan, hidayah dan segala kebajikan dunia dan akhirat.
Agama sangat mengecam manusia yang tidak menggunakan akalnya, dan sebaliknya memotivasi kita untuk banyak berpikir dan merenung agar memperoleh kebenaran yang hakiki, terhindar dari apa saja yang merusak, merugikan, dan apa saja yang bisa nembahayakan diri sendiri dan atau orang lain. Beragama tanpa kewarasan dan kecerdasan akal berarti beragama dengan cara memperturutkan hawa nafsu yang memerintahkan kepada keseluruhan keburukan dan bahkan mungkin mengarah kepada bencana kemanusiaan. Akal sehat adalah pilar terpenting dalam beragama secara benar, manusiawi, lebih bijak, bermanfaat, dan lebih bermartabat.