HTI, Yahudi Madinah, dan Perongrong Negara Kesepakatan (Bagian pertama) - HWMI.or.id

Wednesday 15 July 2020

HTI, Yahudi Madinah, dan Perongrong Negara Kesepakatan (Bagian pertama)


Dari perspektif sejarah Islam, HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) yang merongrong NKRI tampaknya bisa disejajarkan dengan Yahudi Madinah yang merongrong Piagam Madinah di era Nabi. 

Ketika Nabi membangun tatanan politik di Yastrib (nama asal Madinah), beliau tidak mendirikan Negara Syariah dengan menjadikan Islam sebagai agama resmi negara, dan Al-Qur’an sebagai konstitusinya. Nabi justru mendasarkan Negara Madinah pada kesepakatan bersama antar warganya. Kesepakatan bersama yang dikenal dengan “Piagam Madinah” ini menjadi landasan bagi kehidupan bernegara untuk masyarakat Madinah yang majemuk, agar kaum Muhajirin dari Mekkah, kaum Ansor, penganut Yahudi, Kristen, Majusi, dan agama pagan di Madinah bisa hidup berdampingan dan bersama-sama mempertahankan wilayahnya dari agresi musuh. 

Dalam Konstitusi Madinah, misalnya, terdapat pasal yang menegaskan bahwa kaum muslim dan Yahudi merupakan satu umat. “Kaum Yahudi dari Bani ‘Awf adalah satu umat dengan kaum muslim. Bagi kaum Yahudi agama mereka, dan bagi kaum muslimin agama mereka.” Juga ada pasal tentang perlindungan terhadap kebebasan menjalankan keyakinan agama masing-masing. 

Pakta ini memang menempatkan Nabi Muhammad sebagai wasit dan pemutus perkara manakala ada perselisihan. Tapi ingat, posisi Nabi di sini bukan lantaran beliau adalah Rasulullah, karena warga Madinah yang non muslim jelas tidak mengimaninya, dan tidak ada paksaan bagi mereka untuk mengakui kerasulannya, melainkan karena seluruh komponen yang terlibat dalam Piagam Madinah bersepakat mendapuknya sebagai kepala negara Madinah. Dengan kata lain, dasarnya adalah kesepakatan bersama warga Madinah. 

Nabi begitu kukuh memegang kesepakatan yang tertuang dalam Konstitusi Madinah dan dengan tegas memberi sanksi pada para pelanggarnya, apapun agamanya. Ketika ada satu kabilah yang muslim melanggar Konstitusi Madinah, Nabi tak segan menghukum mereka. Begitu juga terhadap beberapa kabilah Yahudi mengkhianati Konstitusi Madinah dengan perbuatan makar mereka. Nabi pun mengusir dan memerangi mereka. Itulah yang dilakukan Nabi terhadap kaum Yahudi Madinah dari Bani Nadzir, Bani Qainuqa’, dan Bani Quraidzah. Mereka masih terikat dengan kesepakatan Piagam Madinah, tapi mereka merongrongnya. 

Penting untuk dicatat, pengusiran kaum Yahudi dari Madinah ini sama sekali bukan karena keyakinan agama mereka, bukan karena mereka nonmuslim. Buktinya, kalangan Yahudi dan non muslim lain yang loyal terhadap Piagam Madinah tetap hidup damai di Madinah. Kaum Yahudi Madinah diusir karena pengingkaran mereka terhadap kesepakatan yang mendasari berdirinya Negara Madinah.

NKRI Sebagai Negara Kesepakatan

Sebagaimana Negara Madinah adalah Negara Kesepakatan, republik kita juga lahir sebagai hasil kesepakatan para pendirinya. Pancasila dipilih sebagai dasar negara karena dengan cara itulah kebhinnekaan terjaga. Ikatan politik yang mendasarinya bukanlah sentimen primordial, melainkan kesatuan sebagai bangsa. Sebagaimana Piagam Madinah menjadi titik temu yang menyatukan kaum muslim dan Yahudi Madinah dalam persaudaraan keumatan, maka Pancasila menjadi titik temu yang menyatukan warga muslim dan non muslim dalam persaudaraan kebangsaan.

Para tokoh islam yang ikut dalam kesepakatan tersebut sebagai wakil umat Islam menyatakan setuju dengan negara kebangsaan tersebut ketimbang mendesakkan berlakunya Piagam Jakarta yang memberi mandat kepada negara untuk mewajibkan penerapan syariah pada pemeluknya. Dengan keputusannya itu, mereka selintas tampak tidak menerapkan syariah dalam bernegara. Tapi itu hanya lahiriahnya saja. Dari segi substansinya, mereka justru menerapkan tujuan utama syariah,  yakni merealisasikan kemaslahatan bersama yang nota bene merupakan tujuan syariah. Para tokoh islam tersebut meyadari, tuntutan menegakkan dawlah Islamiyah atau khilafah dalam konteks Indonesia yang majemuk akan berujung pada perpecahan bangsa dan sektarianisme politiik yang justru bertentangan dengan prinsip maslahat.

Kesepakatan bersama yang mendasari Negara Pancasila termanifestasi dalam konstitusi RI. Konstitusi merupakan dokumen kontrak sosial yang mengikat semua pihak yang terlibat, langsung ataupun tidak langsung. Artinya, kontrak sosial tersebut juga mengikat warga negara yang lahir belakangan. Setiap warga Negara harus memiliki kesetiaan terhadap konstitusi, karena konstitusi merupakan manifestasi dari perjanjian sosial seluruh warga Negara. Jadi, meskipun warga negara yang hidup pada masa sekarang tidak ikut merumuskan konstitusi, ia tetap harus loyal terhadapnya. 

Mengapa? Karena begitu seseorang menjadi warga negara dan memanfaatkan fasilitas dan infrastruktur negara, membayar pajak, menggunakan sertifikat tanah, akte kelahiran, KTP, SIM, surat nikah, paspor dan dokumen-dokumen negara lainnya, maka sesungguhnya itu mengekspresikan persetujuannya terhadap negara dan kesepakatan yang mendasarinya. Dalam nomenklatur ilmu politik, persetujuan yang tak dinyatakan secara eksplisit ini dikenal dengan istilah "tacit consent." 

Dengan kata lain, kewarganegaraan adalah penanda bagi persetujuan untuk terikat dengan kontrak sosial yang termaktub dalam konstitusi. Tentu saja kesepakatan bisa diubah, konstitusi bisa diamandemen, ditambah, atau dikurangi sesuai dengan kalkulasi kemaslahatan hidup yang dinamis. Namun selama itu belum terjadi, maka warga negara harus menaati konstitusi yang ada. 

Mengingkari Kesepakatan: Kontra Syariah

HTI berkeras menegakkan khilafah karena dalam pandangan mereka, penerapan syariah tidak akan lengkap dan sempurna tanpa berdirinya institusi kekhilafahan. Absurdnya, upaya mereka menerapkan syariah justru bertolak dari pelanggaran terhadap ajaran syariah itu sendiri.

Dalam pandangan Islam, menaati kesepakatan sama artinya dengan memenuhi janji yang wajib sifatnya Pengingkaran sepihak terhadap kesepakatan adalah perbuatan yang sangat tercela.
Al-Qur’an dengan tegas mewajibkan umatnya untuk menaati kesepakatan yang mereka buat, seperti dalam ayat “Penuhilah perjanjian kalian; sesungguhnya janji itu akan dituntut pertanggungjawabannya” (QS 17:34). Ayat yang senada bisa kita temukan pada QS 5:1, 2: 177, 16: 91, dan 13: 19. Di samping itu, Nabi Muhammad juga bersabda, “umat Islam terikat dengan perjanjian yang mereka buat.” Karena itulah tatkala terlibat dalam kesepakatan, Nabi mewajibkan umatnya untuk menaatinya  dan menindak tegas para pelanggar. Bersambung....
(bagian kedua) 

Akhmad Sahal

www.hwmi.or.id

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda