HTI, Yahudi Madinah, dan Perongrong Negara Kesepakatan. (Bagian kedua) - HWMI.or.id

Wednesday 15 July 2020

HTI, Yahudi Madinah, dan Perongrong Negara Kesepakatan. (Bagian kedua)


oleh: Ahmad Sahal

Patut dicatat, watak mengikat dari kesepakatan dan perjanjian ini tidak hanya berlaku antara sesama muslim, melainkan juga  antara pihak muslim dan non-muslim. Dengan demikian, bahkan kalau NKRI divonis sebagai negara kafirpun sebagaimana yang sering dikampanyekan HTI, tak lantas warga negara Indonesia yang muslim boleh seenaknya mengkhianati NKRI. 

Dari sudut pandang hukum Islam, orang Islam yang tinggal dan menjadi warga negara di negara kafir tetaplah terikat kontrak dengan negara tersebut selama negara tersebut memberikan jaminan keamanan kepada muslim. Dan patut diingat, kontrak dengan pihak non muslim punya kekuatan mengikat juga. Dengan begitu, jika ia merongrong konstitusi negara tersebut, apalagi maka ia sesunggunya menjadi pengkhianat kesepakatan. Di Indonesia, kaum muslim mendapatkan jaminan keamanan penuh serta bebas menjalankan agamanya. 

Ibnu Qudamah, ulama bermazhab Hanbali abad 6 H, menulis dalam magnum opusnya Al Mughni: “Muslim yang tinggal di negara kaum kafir dalam keadaan aman haruslah mematuhi kontraknya terhadap negara tersebut, karena mereka memberikan jaminan keamanan semata-mata karena adanya kontrak bahwa si muslim tidak akan berkhianat. Ketahuilah, pengkhianatan terhadap kontrak (ghadr) adalah tindakan yang dilarang dalam Islam. Nabi bersabda: “Al muslimun ‘inda syuruthihim“: kaum Muslim terikat dengan perjanjian yang telah mereka sepakati.”  

Senada dengan pendapat Ibnu Qudamah, Imam Al-Sarakhsi, ulama abad 5 H bermazhab Hanafi  menyatakan dalam Kitab Al Mabsuth: “Sungguh tercela bagi seorang muslim yang memohon keamanan dari (negara kafir) berdasarkan perjanjian, tapi lalu menngkhianatinya. Rasul berkata: “Sesiapa mengkhianati suatu kesepakatan, maka pada hari kiamat nanti, ditubuhnya dipasang bendera sehingga perbuatan khianatnya akan diketahui secara terbuka.” Artinya, bahkan seandainya  klaim HTI yang memvonis NKRi sebagai negara kafir atau thaghut diterima, tak lantas kampanye khilafah HTI di NKRI bisa dibenarkan secara syar’i.  

Ketaatan terhadap konstitusi hukumnya wajib secara syar’I, karena itu sama artinya dengan memenuhi kesepakatan, yang diwajibkan dalam Islam. Mempertentangakan antara ketaatan terhadap konstitusi dan ketaatan terhadap Kitab Allah adalah pandangan yang salah alamat, karena menaati konstitusi merupakan manifestasi dari menaati Kitab Allah.

Ini berarti, kalangan muslim Indonesia yang mengkampanyekan khilafah atau negara Islam sejatinya telah melakukan pengingkaran sepihak terhadap kesepakatan bersama. Mereka mengkampanyekan penegakan syariah, tapi yang mereka lakukan justru melanggar syariah. 

Kalau mereka memang konsisten dengan syariah, hanya ada dua opsi yang tersedia: menjadi warga negara yang mematuhi NKRI sebagai Negara Kesepakatan, atau tetap memperjuangkan khilafah tapi dengan syarat melepaskan kewarganegaraan Indonesia mereka. Mengkampanyekan khilafah sambil tetap mempertahankan kewarganegaraan RI bukan hanya sebuah hipokrisi, tapi juga pelanggaran terhadap ajaran Syariah yang justru mewajibkan muslim untuk mematuhi kesepakatan. 

Kalau terus dibiarkan, para perongrong Negara Kesepakatan akan menjadi benalu yang bisa mencekik mati NKRI sebagai pohon induknya. Sudah waktunya pemerintah bersikap tegas menindak para perongrong Negara kesepakatan, sebagaimana Nabi Muhammad dulu juga bersikap tegas menghukum perongrong Negara Kesepakatan Madinah. Kalau mereka ngotot dengan khilafah boleh-boleh saja, asalkan jangan di NKRI. Atau dalam Bahasa mendiang Imam Besar Masjid Istiqlal KH. Mustofa Ya’qub, silakan pejuang khilafah untuk angkat kaki dari Indonesia.

Akhmad Sahal

www.hwmi.or.id

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda