Masalah Akidah Dalam Tafsir Kemenag - HWMI.or.id

Friday 31 July 2020

Masalah Akidah Dalam Tafsir Kemenag




MASALAH AKIDAH DALAM TAFSIR KEMENAG
Oleh : Kyai Abdul Wahab Ahmad

Sebenarnya saya tidak kaget melihat tafsir kemenag melakukan kesalahan seperti yang sedang viral ini. Jangankan orang kemenag, seseorang yang sudah mengarang tafsir berjilid-jilid tebal pun juga ada yang melakukan kontradiksi yang sama yang tentu saja dibantah oleh Mufassir lainnya yang lebih tahqiq.

Ingat, tafsir adalah salah satu spesialisasi ilmu keislaman. Menjadi ahli tafsir bukan berarti lantas menjadi ahli fikih, ahli ushul fikih, ahli tasawuf atau ahli teologi. Semua ada bidang spesialisasinya masing-masing sehingga tidak perlu kaget. 

Kontradiksi dalam tafsir kemenag ini adalah sebagai berikut:

Pertama dia katakan: 

"JANGANLAH sekali-kali digambarkan seperti SEORANG RAJA YANG DUDUK di atas singgasananya"

Lalu dia menyarankan agar memahaminya seperti berikut:

"Mempercayai ungkapan sebagaimana tercantum di atas Arasy (DUDUK DI ATAS TAHTA ) tetapi dengan cara atau kaifiatnya duduk diatas Tahta  tidak boleh disamakan dengan CARA DUDUKNYA makhluk, seperti seseorang yang duduk di atas kursi".

Bagaimana cara akal kita memahami makna "DUDUK DI ATAS TAHTA" tetapi bukan dengan cara seperti duduknya sesuatu yang punya badan dengan ukuran tertentu yang pantatnya menyentuh makhluk yang ia duduki? Siapakah yang bisa menjawab ini dengan logis? 

Semua jawaban atas kontradiksi ini biasanya bersifat "ngeles", tidak betul-betul menjawab inti persoalan tentang makna duduk di atas makhluk yang bernama Arasy yang diminta agar diyakini. Andai kemudian ngelesnya dengan berkata bahwa maknanya BUKAN duduknya sesuatu yang punya badan dengan ukuran tertentu yang pantatnya menyentuh makhluk yang ia duduki, lantas mengapa disebut duduk? Bukankah yang bukan makna itu berarti bukan duduk? 

Jadi, inti masalahnya adalah ayat itu dia maknai sekenanya menurut seleranya sendiri sebagai "duduk", lalu ia repot sendiri menjelaskannya agar tak terkesan menyerupakan dengan makhluk. Tapi ya tetap saja kontradiktif sebab kesalahannya ada dalam langkah pertama berupa pemaknaan istawa dengan duduk itu tadi. Apalagi pakai bawa-bawa Ibnu Katsir segala seolah beliau pernah berkata bahwa Allah duduk (qa'ada/jalasa). 

Seandainya penulis tafsir kemenag itu mengikuti cara para imam yang ahli tahqiq, tentu beres masalahnya. Misalnya seperti ini:

1. Tidak menerjemah kata istawa sama sekali sebab artinya banyak dan kita tidak tahu persis makna mana yang dikehendaki Allah. Biarkan saja ayat itu apa adanya sehingga maknanya "Allah istawa atas Arasy" tanpa menerjemah kata istawa pada kata lainnya. Ini adalah pilihan Imam Ibnu Suraij Rahimahullahu. 

2. Pasrahkan saja maknanya bulat-bulat pada Allah tanpa kita tentukan apa itu. Bilang saja bahwa kita mengimani maknanya sesuai makna yang dikehendaki oleh Allah lalu cukup berhenti di poin itu. Tak ada makna "duduk" atau makna "bersemayam" sebab itu bukanlah makna yang dinyatakan oleh Allah tetapi makna yang dinyatakan oleh penafsir kemenag dan orang-orang yang sepertinya. Ini adalah langkah yang dipilih oleh Imam Syafi'i, Sufyan bin Uyainah dan salaf secara umum. Prakteknya akan sama dengan pilihan pertama hanya saja pilihan kedua ini tidak punya penekanan anti terjemah. 

3. Memakai makna global pada kata istawa. Yang jelas istawa adalah salah satu tindakan Allah, maka artikan saja ayat itu sebagai "Allah melakukan tindakan tertentu atas Arasy yang ia sebut sebagai tindakan istiwa'". Tak perlu dibahas bagaimana kaifiyah atau teknis tindakan Tuhan sebab sudah maklum bahwa itu di luar pengetahuan manusia. Yang jelas itu sebuah tindakan yang terjadi atas Arasy, tak perlu ditakwil atau dibahas mendetail maknanya. Ini adalah langkah yang dipakai Imam Abul Hasan al-Asy'ari Rahimahullahu.

4. Memakai makna yang hendak disampaikan oleh konteks ayat itu secara utuh. Jadi bukan makna kata "istawa" yang dibahas tetapi pesan yang ingin diajarkan oleh seluruh rangkaian kata dalam ayat itu agar diimani oleh kaum muslimin. Pesan ayat itu adalah Allah hendak menunjukkan kehebatan dan kemahakuasaannya atas seluruh alam semesta. Inilah yang wajib diimani kaum muslimin dan cukup ini saja yang ditekankan, bukan makna yang mengisyaratkan adanya batasan-batasan fisikal. Ini adalah langkah beberapa ahli tafsir semisal Imam at-Thabary, Abul Qasim al-Qusyairi dan al-Qurthubi. 

5. Memaknai istawa dengan makna menguasai. Jadi artinya Allah berkuasa atas Arasy. Sebagai makhluk terbesar di alam semesta yang paling tinggi posisinya, penyebutan menguasai Arasy berarti menguasai seluruh alam semesta. Ini adalah penafsiran paling simpel yang paling mudah dipahami oleh orang paling awam sekali pun. Ini adalah langkah yang dipilih banyak sekali ahli tafsir. Saya ulangi, ini adalah pilihan banyak, sangat banyak ulama ahli tafsir yang keilmuannya diakui dunia. Sekedar contoh, di antara mereka ada Imam Abu Manshur al-Maturidi (333 H), Abul Laits As-Samarqandi (373 H), Abu Ishaq ats-Tsa'labi (427 H) Abu Hasan al-Mawardi (450 H), Ibnu Athiyyah al-Andalusi (546 H) dan terlalu banyak lainnya untuk disebutkan. Berusaha menegasikan apalagi menyesatkan pemaknaan kelima ini adalah hal yang tidak punya dasar kuat secara ilmiah. Hanya fanatisme saja yang menjadi dasar antipati terhadap makna "menguasai" ini. Tidak sepakat boleh saja, tapi kalau antipati maka berlebihan.

Dengan pemaknaan seperti di atas, tidak akan ada kontradiksi sama sekali dalam tafsirannya. Simpel dan beres. Akan tetapi apabila istawa dimaknai duduk bersemayam, maka ruwet jadinya. Imam Syafi'i sampai mengafirkan orang yang mengatakan Allah duduk karena saking bermasalahnya. Dulu saya pernah menulis  gugatan Imam Syafi'i itu di link berikut:

https://islam.nu.or.id/post/read/94918/bolehkah-mengatakan-allah-bersemayam-di-atas-arasy

Silakan dibaca bila ingin tambahan informasi. Semoga bermanfaat.

www.hwmi.or.id

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda