Ulama Kok Menolak Diberi Sertifikat Ulama? - HWMI.or.id

Friday 11 September 2020

Ulama Kok Menolak Diberi Sertifikat Ulama?

 ULAMA KOK MENOLAK DIBERI SERIFIKAT ULAMA ?

Menjadi anggota MUI itu gampang-gampang sulit. Kalau berangkat dari NU saya bilang sulit. Karena di NU terlalu banyak ulama. Kyai-kyai di struktur NU yang dikirim ke MUI memang kebanyakan betul-betul ulama. Bukan kebetulan ulama. KH Sahal Mahfudz di MUI berangkat dari NU, beliau kyai terbaik di NU. Demikian pula KH Ma'ruf Amin dan sebagainya, hingga di tingkatan provinsi dan kabupaten/kota.

Agak gampang itu jika berangkat dari selain ormas besar. Sebab saat MUI mengadakan Munas Nasional mengundang sejumlah Ormas Islam. Undangan yang datang dan mengisi daftar hadir itulah yang biasanya dianggap sebagai representasi organisasinya, kemudian diberi jabatan wakil ketua, wakil sekretaris dan sebagainya. Tanpa ada jaminan dirinya betul-betul seorang ulama.

Anehnya, lama-kelamaan mereka inilah yang mendominasi suara di luar. Sementara yang betul-betul ulama lebih banyak silent. Namun ketika ada wacana sertifikasi ulama justru mereka ini yang ramai menolak. Sementara yang betul-betul ulama tidak menolak bahkan sudah menerima sertifikat tersebut.

Coba perhatikan, jika ada organisasi persatuan dokter spesialis jantung, spesialis mata dan lainnya ketika akan disertifikasi ada yang menolak. Jangan-jangan memang ada yang bukan spesialis jantung dan mata? Demikian pula ketika perkumpulan para ulama tidak berkenan disertifikasi sebagai ulama, jangan-jangan....

Di bawah ini ulasan lengkap tentang keahlian ulama dan ilmu tertentu sejak zaman Nabi, Sahabat dan ulama Mujtahid:

Feed: Ulama dan Sertifikasi Ulama?

Oleh KH. Ma’ruf Khozin, Direktur Aswaja NU Center Jawa Timur 

Di zaman ini, spesialisasi keilmuan ditandai dengan bukti sebuah pengakuan dalam selembar kertas yang disebut dengan syahadah atau yang lazim dikenal dengan ijazah atau sertifikat. 

Pertanyaannya, adakah landasannya dalam syariat agama kita? 

Mari kita menilik sejarah untuk mencari tahu faktanya. 

Di Zaman Nabi Muhammad ﷺ

Petunjuk dalil secara umum ada, meskipun tidak berbentuk legal formal seperti saat ini. Kita tahu bahwa Nabi Muhammad ﷺ mendidik langsung para sahabatnya. Dan para sahabat pun dengan tekun mempelajari berbagai macam ilmu dari sang Nabi ﷺ. 

Dari ragam ilmu yang dipelajari, para sahabat pun lambat laun memiliki keahlian yang berbeda di antara satu dengan yang lain. Nabi ﷺ pun memberi pengakuan atas keahlian yang dimiliki para sahabatnya di bidang-bidang ilmu tertentu.

Nabi Muhammad ﷺ pernah bersabda: 

وَأَفْرَضُهُمْ زَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ وَأَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللَّهِ أُبَيُّ بْنُ كَعْبٍ وَأَعْلَمُهُمْ بِالْحَلَالِ وَالْحَرَامِ مُعَاذُ بْنُ جَبَلٍ

Dan yang paling tahu tentang ilmu warisan adalah Zaid bin Tsabit, dan yang paling tahu tentang ilmu bacaan Kitab Allah (Al-Qur’an) adalahUbay bin Ka'b, dan yang paling tahu halal dan haram (ilmu fikih) adalahMu'adz bin Jabal (HR. Ahmad no. 13479). 

Di masa Nabi Muhammad ﷺ jangan ditanya berapa banyak sahabat yang hafal dan ahli di bidang Al-Qur'an. Meski demikian, Nabi Muhammad ﷺ hanya merekomendasikan empat sahabat:

خُذُوا الْقُرْآنَ مِنْ أَرْبَعَةٍ مِنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ ـ فَبَدَأَ بِهِ ـ وَسَالِمٍ مَوْلَى أَبِي حُذَيْفَةَ، وَمُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ، وَأُبَىِّ بْنِ كَعْبٍ

Ambillah (pelajarilah) bacaan Al-Qur'an dari empat orang: Abdullah bin Mas'ud, beliau ﷺ menyebutnya lebih dahulu, Salim (budak yang dimerdekakan Hudzaifah), Mu'adz bin Jabal, dan Ubay bin Ka'ab (HR. Bukhari no. 3808). 

Di masa selanjutnya, seorang sahabat yang juga sepupu Nabi Muhammad ﷺ bernama Ibnu Abbas menjadi rujukan dalam ilmu tafsir Al-Qur'an. Dikisahkan bahwa saat anak-anak seusianya sedang asyik bermain, Ibnu Abbas justru gigih mencari ilmu dan ngaji kepada sahabat-sahabat yang lebih senior. Terkadang beliau rela menunggu berjam-jam di luar rumah sahabat-sahabat tersebut guna mendapatkan ilmu yang ada pada mereka. 

Selain berkat kegigihannya, Ibnu Abbas juga pernah didoakan oleh Nabi Muhammad ﷺ agar menjadi seorang ulama ahli Al-Qur’an. Ibnu Abbas bercerita bahwa Nabi Muhammad ﷺ pernah meletakkan tangan beliau ﷺ di atas bahunya lalu berdoa: 

اللَّهُـمَّ فَقِّهْهُ فِي الدِّينِ وَعَلِّمْهُ التَّأْوِيلَ

Ya Allah, pahamkanlah dia terhadap agama dan ajarkanlah (ilmu) takwil (penafsiran Al-Qur’an) kepadanya (HR. Ibnu Hibban no. 7055). 

Di Zaman Para Mujtahid

Standar keilmuan juga dikenal di masa kejayaan ijtihad Islam yang melahirkan banyak ulama besar. Kita sering mendengar bahwa saat Imam Syafii baru berusia 15 tahun dan masih berstatus murid dari Imam Malik, Imam Syafii telah diberi izin oleh sang guru untuk memberi fatwa. 

Hal ini menunjukkan bahwa sekalipun Imam Syafii saat itu terbilang muda belia, keilmuan beliau sudah memenuhi standar sebagai seorang mufti (pemberi fatwa). Dan sejak dulu, otoritas yang berhak menyeleksi serta merekomendasikan adalah guru yang bersangkutan. 

Di masa Imam Syafii ada tiga ilmu yang beliau nilai penting untuk dikuasai:

الْعِلْمُ عِلْمَانِ عِلْمُ الْأَبْدَانِ وَعِلْمُ الْأَدْيَانِ

Ilmu itu ada dua: ilmu untuk kesehatan tubuh (kedokteran) dan ilmu untuk menjalankan agama (ilmu fikih) (Hilyatul Aulia 9:142).  

Dalam riwayat lain, Imam Syafii berkata:

شَيْئَانِ أَغْفَلَهُمَا النَّاسُ: النَّظَرُ فِي الطِّبِّ، وَالنَّظَرُ فِي النُّجُومِ

Ada dua ilmu yang dilalaikan manusia: ilmu kedokteran dan ilmu astronomi (Hilyatul Aulia 9:136).  

Singkatnya, ilmu yang diperhatikan oleh Imam Syafii di zamannya adalah ilmu fikih, kedokteran, dan astronomi. Nah, untuk saat ini, tentunya ada lebih banyak ilmu yang perlu diperhatikan seperti ilmu teknik, perkapalan, kedirgantaraan, teknologi, dsb. 

Di Zaman Now 

Saat ini, semua ilmu telah memiliki standar baku. Untuk meraih gelar tertentu juga harus ditempuh dengan memenuhi beberapa prosedur, kecuali dalam ilmu agama—dan hal ini sangat disayangkan. 

Imbasnya, gelar "ustadz" dapat dengan mudah disematkan kepada seseorang yang tidak menguasai beragam ilmu seperti Al-Qur'an, hadis, fikih, dan sebagainya. Sosok yang dipanggil "kiai" pun akhirnya belum tentu dikarenakan kompetensi, kharisma, serta pengabdiannya dalam mengajarkan ilmu agama kepada khalayak luas.

Kedua gelar penting itu kini dapat diraih dengan aksesoris sorban, jubah, tasbih, dan kehadiran orang yang menciumi tangannya—tidak peduli apakah yang diciumi tangannya itu menguasai ilmu agama atau tidak. Tidak jelas apakah jika sang “ustadz” atau “kiai” yang berfatwa itu fatwanya bertentangan dengan dalil dan Ijma' atau tidak. 

Lalu Siapakah yang Disebut Ulama?

Allah memberi kriteria khusus dalam Al-Qur'an:

اِنَّمَا يَخْشَى اللّٰهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمٰۤؤُاۗ

Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama (QS. Fatir [35]:28). 

Maksudnya, orang yang berilmu dan dengan ilmunya itu membuat dirinya takut kepada Allah dialah ulama. 

Sementara itu, dalam hadis yang sudah populer Nabi Muhammad ﷺ pernah bersabda: 

الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الأَنْبِيَاءِ

Para ulama adalah pewaris para nabi (HR. Abu Dawud no. 3641).

KH.Achmad Siddiq menjelaskan bahwa yang diwariskan oleh para nabi ada tiga, yaitu ibadah, ilmu, dan akhlak. Maka kriteria ulama adalah:

1.  Abid, ahli ibadah.

2. Alim, memiliki keilmuan yang memadai. Minimal dalam hal fikih ketika ditanya tentang hukum, dia mampu menjawab dengan merujuk kepada mazhab yang diikutinya.

3. Arif, yakni bijaksana dalam mengambil keputusan, tidak emosi, tidak menunjukkan perangai buruk yang membuat orang ketakutan hingga menjauh dan sebagainya. 

Di beberapa negara mayoritas muslim, seorang ulama diakui oleh negerinya dalam bentuk "tauliyah" (pemberian wewenang) seperti di Negeri Jiran, Malaysia. Sebenarnya di Arab Saudi dan lainnya juga sama. Bagi mereka yang tidak memiliki izin berfatwa dan berceramah tentu tidak boleh berfatwa maupun ceramah. Sebagaimana dokter yang tidak memiliki izin membuka praktek pengobatan pun tidak akan diperkenankan untuk melakukan hal tersebut.(kesan)

Sumber photo/painting: Rudolf Ernst, Evening Prayer.

www.hwmi.or.id

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda