Habib Alwi Azmatkhan, Sang Pemberi Nama Nahdlatul Ulama - HWMI.or.id

Thursday 28 January 2021

Habib Alwi Azmatkhan, Sang Pemberi Nama Nahdlatul Ulama

 Habib Alwi Azmatkhan, Sang Pemberi Nama Nahdlatul Ulama

Habib Alwi Azmatkhan, Sang Pemberi Nama NU yang Terlupakan, Makamnya pun Pernah Hilang. Sosok pemberi nama Nahdlatul Ulama (NU) adalah Sayid Alwi Abdul Aziz al-Zamadghon atau dikenal juga Habib Alwi Abdul Aziz Azmatkhan. Lazim disebut Kiai Mas Alwi. Ia putra kiai besar, Abdul Aziz al-Zamadghon. Bersepupu dengan KH. Mas Mansyur dan termasuk keluarga besar Sunan Ampel, yang juga pendiri sekolah Nahdlatul Waton dan pernah belajar di pesantren Syaikhona Kholil Bangkalan, Madura. Dari pulau garam, ia melanjutkan sekolah di Pesantren Siwalan Panji, Sidoarjo, lalu memungkasi rihlah ‘ilmiyah-nya di Makkah al-Mukarromah.

Setelah pulang dari keliling Eropa, ia membuka warung di Jalan Sasak Ampel, Surabaya. Sebagaimana disebutkan dalam kisah berdirinya NU oleh Kiai As’ad Syamsul Arifin, bahwa sebelum 1926, Kiai Hasyim Asy’ari telah berencana membuat organisasi Jami’iyah Ulama (Perkumpulan Ulama). Para kiai mengusulkan nama berbeda. Namun Kiai Mas Alwi mengusulkan nama Nahdlatul Ulama. Lantas Kiai Hasyim bertanya, “kenapa mesti pakai Nahdlatul, kok tidak jam’iyah ulama saja? Sayid Alwi pun menjawab, “karena tidak semua kiai memiliki jiwa nahdlah (bangkit). Ada kiai yang sekadar mengurusi pondoknya saja, tidak mau peduli terhadap jam’iyah.”

Akhirnya para kiai menyepakati nama Nahdlatul Ulama yang diusulkan Kiai Mas Alwi. Seorang ulama berdarah Hadramaut, Yaman. Lantas siapakah sosok penting yang namanya jarang disebut dalam kancah pergerakan NU selama ini?

Penyelidik Isu Pembaharuan Islam

Kiai Mas Alwi adalah salah seorang pendiri NU bersama Kiai Hasyim Asy’ari, Kiai Abdul Wahab Chasbullah, Kiai Ridlwan Abdullah, dan beberapa kiai besar lain. Mereka bergerak secara aktif di masyarakat sejak NU belum didirikan. Kiai Mas Alwi lah yang pertama mengusulkan nama Nahdlatul Ulama dalam versi riwayat keluarga Kiai Ridlwan Abdullah.

Namun nama Kiai Mas Alwi hampir jarang disebut dalam literatur sejarah NU. Apa sebabnya? Lantaran ia tidak memiliki keturunan dan dikeluarkan dari silsilah keluarga, sebagaimana yang akan tertulis di bawah ini. Hasil olah data dari karangan Maruf Khozin, Wakil Katib Syuriyah NU Kota Surabaya dan Anggota LBM PWNU Jatim. Riwayat ini berdasarkan kisah langsung dari Gus Sholahuddin Azmi, putra Kiai Mujib Ridlwan dan cucu Pendiri NU, Kiai Ridlwan Abdullah (pencipta lambang NU) .

Memang tidak ada data pasti mengenai kelahiran Kiai Mas Alwi. Hanya ditemukan petunjuk dari kisah Kiai Mujib Ridlwan bahwa ketiga kiai yang bersahabat semasa (Kiai Ridlwan Abdullah, Kiai Wahab Chasbullah dan Kiai Mas Alwi), secara usia tidak terlalu jauh jaraknya. Pada masa awal NU berdiri (1926), usia Kiai Ridlwan 40 tahun, Kiai Wahab 37 tahun, dan Kiai Mas Alwi 35 tahun. Maka, Kiai Mas Alwi diperkirakan lahir pada sekitar 1890-an.

Ketiga Kiai tersebut, bukan sosok yang baru bersahabat ketika mendirikan sekolah Nahdlatul Wathon, namun jauh sebelum itu, ketiganya telah menjalin persaudaraan sejak berada di Pesantren Syaikhona Kholil Bangkalan, Madura.

Kiai Wahab dan Kiai Mas Alwi adalah dua kiai yang sudah terlihat hebat sejak masih nyantri di pondok, terutama dari sisi kecerdasan dan kecakapannya sebagai santri. Bersama Kiai Ridlwan Abdullah, Kiai Wahab Chasbullah, dan saudara sepupunya, Kiai Mas Mansur, Kiai Mas Alwi turut membidani pendirian Nahdlatul Wathon. Saat itu, Kiai Mas Mansur menjabat sebagai kepala sekolah, sebelum terpengaruh pemikiran pembaharuan Islam di Mesir yang kemudian menjadi pengikut Muhammadiyah.

Mendalami Renaisans Islam

Saat merebak isu Pembaharuan Islam (Renaissance), Kiai Mas Mansur, adik sepupu Kiai Mas Alwi, mempelajarinya langsung pada Muhammad Abduh, rektor Universitas al-Azhar, Mesir. Maklum, Kiai Mas Mansur berasal dari keluarga yang mampu secara material, sehingga dapat mencari ilmu hingga ke Aleksandria (Mesir) sana.

Kiai Mas Alwi yang bukan dari keluarga kaya pun, bertanyatanya tentang apa yang sejatinya dicari Kiai Mas Mansur hingga ke negeri Mesir. Padahal Renaissance (pembaharuan) itu berasal dari Eropa. Maka ia pun berusaha mengetahui apa sebenarnya Renaissance itu ke Eropa, melalui Belanda dan Prancis–dengan menggabungkan diri dalam pelayaran.

Pada masa itu, orang yang bekerja di pelayaran mendapat stigma buruk di masyarakat dan memalukan bagi keluarga. Sebab pada umumnya pekerja pelayaran selalu melakukan perjudian, zina, mabuk, dan tindak asusila lainnya. Sejak saat itulah keluarga Kiai Mas Alwi mengeluarkannya dari silsilah keluarga dan diusir dari rumah.

Setelah Kiai Mas Alwi berhasil mendapat jawaban dari kegelisahannya, ia pun kembali ke Hindia Belanda. Setiba di tanah air, ia langsung dikucilkan oleh para sahabat, rekan sejawat, dan para tetangga. Tak patah arang, Kiai Mas Alwi membuka warung kecil di Jalan Sasak, dekat wilayah Ampel, demi memenuhi hajat hidupnya. Mengetahui ia telah pulang dari perantauan, Kiai Ridlwan pun datang menyambang.

Najis mughalladzah

Kenapa sampean datang ke sini, Kang? Nanti sampean dicuci pakai debu sama para kiai lain, sebab warung saya ini sudah dianggap najis mughalladzah?

Kiai Ridlwan malah balik bertanya.

Dik Mas Alwi, sebenarnya apa yang sampean lakukan sampai pergi berlayar ke Eropa?

Begini, Kang Ridlwan. Saya ingin memahami apa sih sebenarnya Renaissance itu? Lah, Dik Mansur mendatangi Mesir untuk mempelajari Renaissance itu salah, sebab tempatnya ada di Eropa. Coba sampean lihat nanti kalau Dik Mansur datang, dia pasti akan berkata begini, begini dan begini… (maksudnya adalah kembali ke al-Quran-Hadits, tidak bermadzhab, tuduhan bidah dan sebagainya)

Renaisans di Mesir itu sudah tidak murni lagi, Kang Ridlwan, sudah dibawa makelar. Lha orang-orang itu mau melakukan pembaharuan apa dalam tubuh Islam? Agama Islam sudah sempurna. Tidak ada lagi yang harus diperbaharui. Al-Quran dengan jelas menyatakan”:

Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni`mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu (QS. al-Maidah [5]: 3)

Inti dari perjalanan Kiai Mas Alwi ke Eropa adalah, Renaisans yang ada dalam dunia Islam adalah upaya pecah belah yang dihembuskan dunia Barat, khususnya Belanda dan Prancis. Kiai Ridlwan kembali bertanya.

“Dari mana sampean tahu?”

Karena saya berhasil masuk ke banyak perpustakaan di Belanda.”

Bagaimana caranya sampean bisa masuk?

Dengan menikahi perempuan Belanda yang sudah saya Islam-kan. Dialah yang mengantar saya ke banyak perpustakaan. Untungnya saya tidak punya anak dengannya.”

Setelah Kiai Mas Alwi membabarkan perjalanannya ke Eropa secara panjang lebar, maka Kiai Ridlwan berkata: Begini, Dik Alwi, saya ingin menjadi pembeli terakhir di warung ini.”

Ya jelas terakhir, Kang Ridlwan, karena ini sudah malam.”

Bukan begitu. Sampean harus kembali lagi ke Nahdlatul Wathon. Sebab sudah tidak ada yang membantu saya sekarang. Kiai Wahab lebih aktif di Taswirul Afkar. Sampean harus membantu saya.”

Keesokan pagi, sebelum Kiai Ridlwan sampai di Nahdlatul Wathon, ternyata Kiai Mas Alwi sudah tiba lebih dulu. Kiai Ridlwan yang masih kaget pun berkata:

Kok sudah ada di sini?

Ya, Kang Ridlwan, tadi malam ternyata warung saya laku dibeli orang. Uangnya bisa kita gunakan untuk sekolah ini.”

Kedua kiai muda tersebut kemudian kembali membesarkan nama sekolah Nahdlatul Wathon.

Makam Kiai Mas Alwi

Sampai saat ini, belum ditemukan pula data tentang kapan Kiai Mas Alwi wafat, yang jelas, makam beliau terletak di pemakaman umum Rangkah, yang sudah lama tak terawat–bahkan pernah berada dalam dapur pemukiman liar yang ada di tanah pekuburan umum.

KH Asep Saefuddin, Ketua PCNU Surabaya, pernah mengerahkan Banser guna menertibkan rumahrumah yang merambah ke makam Kiai Mas Alwi. Maka sejak saat itu, makam beliau mulai dibangun dan diberi pagar. Kini, setiap perhelatan Harlah NU, Pengurus Cabang NU Surabaya kerap mengajak MWC dan Ranting se-Surabaya untuk ziarah ke makam para Muassis, khususnya wilayah Surabaya.

Pertanyaan kita, mengapa beliau dikebumikan di pemakaman umum? Tak ada jawaban pasti. Kemungkinan terbesar, karena beliau telah dikeluarkan dari silsilah keluarganya.

Sebagian kecil Nahdliyin yang mengetahui fakta ini sempat mengusulkan agar makam beliau dipindah ke kawasan Ampel. Berita ini telah diterima oleh PCNU Surabaya dan akan ditindaklanjuti. Tetapi bila prosesnya menemukan jalan buntu, maka PCNU akan berencana memindah makam beliau ke kawasan makam Jl. Tembok, diletakkan di sebelah makam sahabatnya, Kiai Ridlwan Abdullah.

Di area makam tersebut telah dikebumikan pula beberapa tokoh NU, di antaranya adalah; KH Abdullah Ubaid dan KH Thohir Bakri (dua tokoh pendiri Ansor), Kiai Abdurrahim (salah seorang pendiri Jamqur atau Jam’iyah Qurra wa l-Huffadz), Kiai Hasan Ali (Kepala logistik Hizbullah), Kiai Amin, Kiai Wahab Turham, Kiai Anas Thohir, Kiai Hamid Rusdi, Kiai Hasanan Nur, dan beberapa kiai lain.

Sosok besar yang nyaris terpendam dalam kuburan sejarah ini, telah menanggung risiko serius dengan dikeluarkan dari daftar keluarga sekaligus hak warisnya. Namun ia tetap melanjutkan tekadnya meneliti akar persoalan umat Islam saat itu hingga sampai ke Benua Biru. Sudah sepantasnya Muslim Indonesia harus menyertakan nama Kiai Mas Alwi saat nama para Muassis NU lain disebut.

Semoga Allah mengganjar perjuangan Kiai Mas Alwi dan para Muassis NU sebagai amal jariyah mereka. Semoga Allah mengangkat derajat mereka dan memberi keberkahan kepada para pejuang NU saat ini, sebagaimana Allah telah melimpahkan keberkahan kepada mereka semua. Semoga juga Pemerintah saat ini tergerak menahbis Kiai Mas Alwi sebagai pahlawan bangsa Indonesia–setelah Kiai As’ad Syamsul Arifin–dari kalangan Nahdlatul Ulama. Amin ya Rabb l-‘Alamin. Al-Fatihah.(Dakwahnu.id)

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda