Jihad 2021: Memberantas Terorisme, Memperkuat Pilar Kebangsaan Berbasis Dakwah Islam Cinta - HWMI.or.id

Monday 15 February 2021

Jihad 2021: Memberantas Terorisme, Memperkuat Pilar Kebangsaan Berbasis Dakwah Islam Cinta

 Jihad 2021: Memberantas Terorisme, Memperkuat Pilar Kebangsaan Berbasis Dakwah Islam Cinta



Mencermati dinamika sosial-politik dan dakwah keagamaan yang ditandai dengan menguatnya politik identitas keumatan, yang dibumbui dengan narasi keagamaan, bahkan kebencian, selama 2020 lalu dan awal 2021 ini, kita perlu “jalan baru” untuk merombak dan mengakhiri itu semua.


Lampu merah harus kita nyalakan dengan terang diawal 2021 ini. Indonesia yang bagi banyak pengamat diandaikan masyarakatnya, berada “di tubir” negara gagal dan surplus kesengsaraan, akibat kobaran rasisme, terorisme, pandemi, dan hantaman dakwah kebencian di media sosial, harus dicegah sedini mungkin.


Jihad 2021 ini tak ada lain kecuali memberantaskan radikalisme dan mengembalikan kemegahan Indonesia dengan pilar-pilar kebangsaan dan keindonesiaannya. Mampu dan harus mampu, kita hadapi problem akut itu, dengan (jihad 2021) kontra ideologi dan kontra narasi, dengan perspektif agama dan sosio-origin dan keindonesiaan yang utuh, seperti website Harakatuna.com ini. Ideologi radikal, teroristik, dan problem sosial, tidak bisa kita hadapi dengan wacana dan tindakan rapresif, karena itu akan mengganggu stabilitas kewarganegaraan kita.


Pendekatan militeralistik pasti perlu, tapi jelas bukanlah itu satu-satunya cara. Kita bisa melihat konflik Poso, Ambon, dan sejenisnya, telihat tidak efektif dan malah kontraproduktif. Sebabnya, solusi komprehensif untuk menyelesaikan terorisme dan radikalisme dan sebangsanya, harus melalui sosio-kultural dan origin dari agama dan masyarakat setempat. Di tengah, disoreintasi nilai-nilai masyarakat yang mengalami krisis, dan karena itu mereka mudah terpapar gagasan transnasional teroristik, perlu dikembalikan kembali ke jalan pencerahan. Maka itu, derevitalisasi lewat pendekatan sosio-kultural dan ceramah dakwah cinta.


Dengan ditingkatkanya revitalisasi sosio kultural masyarakat, secara tidak langsung atau langsung, pasti memiliki efek dan potensi besar untuk mengembalikan dan memperkuat jalinan tenunan masyarakat yang pernah terbelah. Masyarakat dapat merajut kembali kohesi sosialnya. Solidaritas bakal hidup dan pencegahan dini dari infiltrasi anasir terorisme mereka akan mudah dicegah.


Di samping pendekatan sosio-kultural, kita juga harus berjihad kepada pendekatan sosio-ekonomi. Pemberdayaan masyarakat secara ekonomi sangat penting digalakkan di tengah hantaman pandemi Covid-19 ini. Hasil penelitian menyebutkan, bahwa faktor ekonomi, sangat menentukan gejala terorisme dan juga raibnya terorisme, seperti di Poso. Teorinya, jika segala kebutuhan tercukupi, maka masyarakat tidak mungkin melakukan tindakan semena-mena pada sesamanya. Tetapi bila kebutuhan ekonominya kurang dan rapuh, pasti mereka mudah emosi dan cemburu kepada yang lian, seperti konflik di Ambon.


Selain itu, kita butuh memperkuat dialog antar umat. Keterbelahan akibat ulah politik identitas yang membelah harmonisnya masyarakat, harus kita pulihkan dengan cara kita sediri. Tentunya bukan dengan kekerasan. Kita perlu merapatkan barisan dengan meningkatkan persaudaraan, tali silaturrahim, kohesi sosial dengan mengaktualisasikan dakwah berasas cinta.


Penyerapan pemahaman dakwah keagamaan dan kebangsaan dan mazhab-mazhab lain di luar menjadi kunci dalam aktivitas kehidupan. Agar, ia menjadi pandu dalam perjalanan kehidupan kita dan umat manusia, bukan hanya pada lanskap dunia, tetapi juga pada akhirat.


 Jihad 2021 dengan Ritus Dakwah Islam Cinta


Harus kita sadari, pada sanjakala abad modern kini, esensi Islam mulai terabaikan, bahkan mengalami kekacauan. Ritus dakwah agama Islam tampak membuncah, tetapi lupa pada derma Islam, yang sejatinya mengajarkan welas asih yang menjadi tetirah antar kelompok, agama, sesama. Seperti yang disimbolkan oleh tokoh Zarathurusta, Nietzsche, “agama sudah mati!”


Realitas yang terjadi akhir-akhir ini Islam santun menjadi Islam keras lewat keterpautan paham-paham ekstrim yang lemah akan sejerah Islam dan lemah di perihal ajaran furu Islam. Di sini, pendekatan-pendekatan Islam jauh dari kedermawanan dan hanya berkelindan ditengah krisis akhlak manusia yang defisit spritualisme, sehingga penganut agama menjadi kegamangan.


Haidar Bagir dalam buku versi terbarunya Islam Tuhan Islam Manusia: Agmana dan Spritualitas di Zaman Kacau (2019), menyebut ikhwal itu dengan “dunia kita sedang meluruh dan zaman kacau” yang merindukan nilai spirit spritualisme dan Islam cinta. Falsafah kehidupan berbangsa, bernegara, dan beragama, yang memuat nilai filosofis dan ideologis tak menuai perubahan dan masih membekam di sikap parsial. Bergerak menjadi sentrifugal atau seperti kata Haidar Baqir, “inilah zaman kemerlimpahan kegalauan, negeri tuna budaya, yang puncaknya penganut agama berada di zaman kacau hingga terpapar ideologis radikalisme-takfiri ”.


Menurut Haidar Bagir, maraknya sikap takfirisme yang lahir dari kelompok ektremisme keagamaan juga dipantik dengan ketimpangan ekonomi-sosial, kekacauan politik, sistem pendidikan yang rapuh. Kendati itu yang memperparah keadaan umat Islam mutakhir (meski tak semua). Inilah kelemahan peradaban Islam terkait dengan hakikat agama itu sendiri yang perlu di obati dan dipulihkan demi persatuan umat beragama, baik Islam maupun umat yang lain sehingga tak timbul kecemburuan sosial.


Oleh karena itu, Haidar Bagir memberi resep pada konflik-konflik yang makin terbuka di beberapa sekte atau mazhab itu dengan menyodorkan asas cinta spritualitas Islam. Itu sejatinya menyadarkan kita bahwa hubungan manusia dengan manusia lain disandarkan pada asas cinta-kasih dan menolak pada kemungkaran (nahi mungkar). Menolak kemungkaran harus dijauhkan dari sikap represif, kasar, pembunuhan dan lebih mengutamakan cara-cara persuasif dan kebijaksanaan dalam mengambil upaya penyadaran atau tindakan. Bahkan, menurut Haidar Bagir, amar makruf nahi mungkar ini selalu dan harus memiliki kesadaran budaya, kemasyarakatan, dan historisitas (kondisi) sosial sebagai bekal upaya yang dijalankannya, melalui penjangkaran sikap-sikap budi luhur agung, hati lapang, sabar, dan lakon kebaikan, seperti dalam ayat (QS al-Taubah [9]:112). Dan menurutnya, itu yang ajarkan dalam beragama.


Dakwah  Agama dan Aktualisasi Islam Cinta


Mengenai posisi umat manusia dalam beragama dan posisi agama di antara umat ada di dua katub: agama Tuhan (hanya Tuhan yang tahu) dan agama manusia (Tuhan dan manusia yang tahu). Agama Tuhan yang diturunkan atau berasal dari Tuhan yang berpindah kepada wilayah manusia, harus ditafsirkan dalam konteks manusia. Sebab seperti kata Haidar Bagir, manusia tidak akan pernah bisa bicara tentang agama, kecuali dalam konteks manusia. Agama yang dikhususkan untuk manusia selaiknya tak (boleh) dilepaskan dari unsur-unsur atau kebutuhan manusia, begitu juga negara tak boleh lepas dari unsur kemanusiaan-kesejahteraan-berkeadilan. Itulah cara beragama dan bernegara kita yang diperoleh dari tuntuan Pancasila.


Poin paling penting, menurut Haidar Bagir, pada zaman kacau ini adalah dakwah keagamaan harus selalu mempromosikan wacana toleransi nan santun yang berorentasi pada prinsip dasar Islam cinta dan menegakkan wasathiyya atau umat yang moderat seperti yang digambarkan dalam surah (QS al-Baqarah [2]: 143). Dengan demikian, etika dakwah Islam harus didasarkan pada prinsip moderasi, keadilan, dan bersifat rasional. Bukan semata-mata yang hedonistik, utilitarianistik, dan deontologis. Etika dakwah semata-mata harus mendasar ke ragawi yang sejalan pada prinsip Islam dalam surat al-Rahman: 7. “meletakkan neraca keadilan”, sehingga, pemangku agama merasai surga yang dicita-citakan tercipta di dunia, kebahagiaan, kenyamanan, keasyikan, dan kesejahteraan.


Semenetara itu, kita harus terus membangun paradigma demi mengupayakan rekonsilasi perdamaian keagamaan dan persatuan sesama umat manusia, yang hidup di alam semesta yang sama. Supaya cita-cita Islam, “menjunjung tinggi rasa kemanusiaan menjadi nyata”. Dan kita tahu, cita-cita Islam itu yang menjadi laku-sabda nafas berkehidupan kita di dunia adalah khazanah kedamaian: bertawassut, bertawassun, i’tidal, dan bertasamuh dalam asas cinta.


Kiranya, pada 2021 ini, dengan resolusi berislam berbasis cinta yang bersumber spritualitas, menjadi kunci keberlimpahan berkah bagi sesama. Maka, seperti kata Haidar Bagir sudah waktunya rukun Islam dan rukun Iman dikembalikan kepada puncaknya, yakni rukun Ihsan pilar cinta agama. Kendati, seperti sabda Nabi “cinta adalah asasku” yang menjadi alasan kita menjejaki agama Islam di semesta ini. Cinta sebagai asas manusia beragama untuk mencintai semua.


[Raden Fattah]

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda