Bahaya Laten Kelompok Kaum Tekstual - HWMI.or.id

Monday 31 May 2021

Bahaya Laten Kelompok Kaum Tekstual

 Bahaya Laten Kaum Tekstual

“Pak Ustadz, bolehkah saya memukul orang tua saya sepulang dari majelis ini?”

“Silahkan nak! Karena yang ada dalilnya adalah, Tidak boleh berkata Ah! kepada orang tua.”

“Pak Ustadz, bolehkah saya mencintai negeri ini dimana saya dilahirkan, menjalani hidup dan juga mungkin mati di sini? Apakah itu sebagian dari Iman?”

“Cinta Tanah Air bukan sebagian dari Iman nak! Yang ada dalilnya cabang Iman itu diantaranya Rasa Malu. Ada juga tentang menyingkirkan halangan (batu atau duri ) di Jalan.”


Ilustrasi dialog di atas bisa saja terjadi diantara golongan kelompok atau kaum tekstual. Dimana memahami segala sesuatu harus berdasarkan dalil secara teks (Dalil Naqli). Padahal dalil itu bukan sekedar Naqli, melainkan juga terdapat Dalil Aqli (akal atau nalar).

Ketika secara tekstual (Naqli) kita dilarang berkata Ah! kepada orang tua kita, tentunya untuk berbuat lebih buruk daripada itu jelaslah juga diharamkan. Seperti halnya memukul orang tua meskipun secara teks tidak tertulis dalilnya.

Pun begitu tentang dalil Cinta Tanah Air. Secara tekstual tidak akan ditemukan Dalil (Naqli) nya. Namun ketika bicara Martabat dan Harga Diri Bangsa dimana kita seharusnya Malu jika tak dapat menjaganya, secara Dalil Aqli itu juga merupakan cabang dari Iman sebagaimana terdapat Hadits “Al Haya’u minal Iman” yang artinya Malu Sebagian Dari Iman.

“Hubbul Wathan Minal Iman” atau Cinta Tanah Air Sebagian Dari Iman memang bukanlah sebuah Hadits, melainkan perkataan KH. Hasyim Asy’ari. Ini didasari pada semangat perlawanan terhadap penjajah. Nah, bukankah secara Aqli dalam hal ini kemudharatan penjajah dalam menghalangi bahkan merampas kemerdekaan melebihi kemudharatan batu yang menghalangi jalan sebagaimana dinyatakan sebagian dari Iman dalam sebuah Hadits Nabi SAW? Selain juga Rasa Malu jika kita tidak mampu menjaga Martabat Bangsa sebagaimana penjelasan sebelumnya. Dan bentuk penjajahan saat ini bukan sekedar secara fisik, melainkan juga ideologi perongrong bangsa.

Disinilah letak pentingnya Akal dalam beragama untuk melahirkan sebuah Ijtihad. Bahwa dalil itu bukan sekedar tekstual (Naqli) saja. Tapi juga ada Dalil Aqli (akal). Itulah anugerah dari Allah SWT yang menciptakan manusia sebagai makhluk paling mulia beserta akalnya sebagai pembeda dengan makhluk lain seperti binatang misalnya. Paham ya akhi?! (FAZ)

Fadly Abu Zayyan

Sumber: https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=1321337894926735&id=100011516113440

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda