Palestina VS Zionis di pangkuan Inggris - HWMI.or.id

Monday 24 May 2021

Palestina VS Zionis di pangkuan Inggris



PALESTINA VERSUS ZIONIS DI PANGKUAN INGGRIS
 
Oleh : Prof. Dr. KH. Imam Ghazali Said 

Sebelum kekalahan kelompok sentral dari sekutu dalam Perang Dunia I (1914-1918 M), Palestina menjadi wilayah yang secara geografis masuk Provinsi Syria yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kekhalifahan Turki Usmani yang berpusat di Istanbul.[1] Mengingat posisi Yerussalem yang menjadi kota suci bagi tiga agama: Islam, Kristen dan Yahudi, yang merupakan bagian dari Palestina, maka hampir semua negara-negara besar di Eropa seperti Jerman, Inggris, Perancis dan Amerika Serikat memiliki kantor perwakilan di Yerussalem. Sebagai penguasa Palestina, wakil dari Turki Usmani, Jamal Pasha setelah mendengar kabar penyerangan Sir Edmond Allenby, Panglima tantara Inggris ke wilayah Palestina, ia memutuskan untuk mendeportasi kaum Yahudi yang telah berada di Yerussalem dari wilayah Palestina. 

Pada 25 November 1917, Allenby berhasil menduduki wilayah Nablus, satu kota strategis dekat Yerussalem. Kontak senjata antara pasukan Turki-Palestina yang diperkuat oleh tantara Jerman melawan tantara Inggris terjadi selama empat hari. Pada akhirnya pasukan gabungan Turki-Palestina dan Jerman tersebut harus menanggung kekalahan. Sejak itu secara defakto Palestina berada di bawah kekuasaan tentara Inggris. Kemudian pada 4 Desember 1917, Inggris secara dejure menduduki Palestina karena saat itu seluruh kekuatan Turki Usmani, tentara Palestina pimpinan Amin al-Husaini sudah menyerah.

Pendudukan Inggris atas Palestina terus berlanjut; perlawan sporadis gerilyawan Palestina tidak punya pengaruh signifikan. Masa transisi antara 1918-1922 digunakan oleh “penguasa Inggris” di Palestina untuk mendukung gerakan migrasi besar-besaran kaum Yahudi dari berbagai negara terutama Eropa ke Palestina. Pada 24 Juli 1922, Inggris sebagai pemenang perang mendapat mandat dari Liga Bangsa-Bangsa (League of Nations) untuk menduduki Palestina dengan status mandatory government. Dengan demikian, Inggris dan kaum Zionis secara leluasa dan legal menurut hukum internasional untuk mendukung kaum Yahudi mendirikan negara di bumi Palestina. Sementara negara-negara Arab terutama bangsa Palestina sendiri terus melakukan perjuangan diplomasi dan militer untuk menolak kehadiran negara Yahudi yang dijanjikan Inggris sesuai perjanjian Balfour. 

Mereka menuntut: 1.) Menghapus perjanjian Balfour yang dinilai tidak adil terhadap hak-hak bangsa Palestina. 2.) Menghentikan migrasi kaum Yahudi dari luar tanah Palestina. 3.) Mengentikan penjulan tanah kepada kaum Yahudi. 4.) Mendirikan pemerintahan Palestina yang dipilih oleh parlemen sebagai penjelmaan keinginan hakiki dari rakyat Palestina. 5.) Terus melakukan gerakan yang mengkombinasikan antara diplomasi dan militer dengan pemerintahan mandat Inggris agar hak-hak Palestina tidak terabaikan.

Pada sisi lain, masa antara 1922-1937 di kalangan bangsa Arab dikenal sebagai revolusi besar bangsa Palestina. Kondisi keamanan yang kurang kondusif sebagai akibat dari perlawanan bangsa Palestina yang terus menerus dan gerakan diplomasi negara-negara Arab dan Palestina sendiri, memaksa pemerintahan mandat Inggris pada 1937 untuk mengajukan proposal pembagian dua negara: Israel dan Palestina. Proposal ini menyebutkan bahwa status kota suci Yerussalem dan Betlehem serta jalan menuju dua kota suci ini berada dalam pengawasan internasional. Agar bangsa Arab bisa menerima, proposal ini juga menyebutkan bahwa negara Yahudi yang akan berdiri dan pemerintahan mandat akan membantu administrasi dan birokrasi serta mendukung keuangan negara Palestina yang akan didirikan sebagai kompensasi penerimaan bangsa Arab terhadap negara Yahudi, Israel.[2]
Menjelang meletusnya Perang Dunia II (1939-1945 M) kekuatan politik Inggris di kancah internasional mulai meredup dan digantikan posisinya oleh Amerika Serikat. 

Untuk itulah kaum Zionis terutama yang tinggal di Amerika untuk melakukan pendekatan dan gerakan diplomasi dengan presiden Amerika Franklin Delano Roosevelt (1933-1945 M). Sementara bangsa Arab dan pejuang Palestina masih menganggap Inggris sebagai pemegang kunci diberikannya status negara bagi bangsa Palestina. Karena akhir dari Perang Dunia II menaikkan kekuatan politik dan diplomasi Amerika Serikat yang mengungguli Inggris, maka kaum ZIonis Yahudi sangat diuntungkan. Sedangkan bangsa Arab dan Palestina menelan banyak kekecewaan karena migrasi besar-besaran kaum Yahudi tidak pernah berhenti dan pembelian tanah dari rakyat Palestina terus berlanjut.

Setelah beberapa tahun kaum Yahudi dan Palestina terlibat konflik sebagai akibat adanya usulan Komisi Inggris-Amerika pada 1945 yang menganjurkan penerimaan 100,000 kaum Yahudi di Palestina. Usulan tersebut kemudian ditolak oleh Inggris karena hal itu diprediksi akan memunculkan gelombang kerusuhan antara kaum Yahudi dan Palestina. Inggris merasa usulan tersebut ditolak baik oleh Palestina maupun oleh kaum Yahudi. 

Karena itu, badan PBB yang barusaja dibentuk kemudian mengusulkan rencana pembagian Palestina menjadi dua negara, satu negara Arab dan satu negara Yahudi dengan Yerussalem ditujukan sebagai kota internasional (corpus separatum) untuk menghindari status mengenai kota itu. Komunitas Yahudi menerima rencana tersebut, tetapi Liga Arab dan Komite Tinggi Arab menolaknya atas alasan kaum Yahudi mendapat 55% dari seluruh wilayah padahal komposisinya hanya merupakan 30% dari seluruh penduduk Palestina. 

Sebagai bentuk penolakan atas usulan tersebut, maka pada tanggal 1 Desember 1947, Komite Tinggi Arab mendaklarasikan pemogokan selama 3 hari dan kelompok-kelompok Arab mulai menyerang target-target Yahudi. Karena itu perang antara orang Arab dan orang Yahudi pun tidak terelakkan yang membawa konsekuensi tidak kecil, terutama keruntuhan perekonomian warga Arab Palestina dan sekitar 250,000 warga Arab Palestina diusir ataupun melarikan diri. 

Pada 14 Mei 1948, sehari sebelum Mandat Inggris, Agensi Yahudi, David Ben-Gurion (1886-1973 M) memproklamasikan kemerdekaan dan menamakan negara yang didirikan tersebut dengan nama Israel. Sekaligus dia dinobatkan sebagai Perdana Menteri pertama Israel pada tahun 1949 M. Sedang Presiden pertama adalah Chaim Weizzman.
Pasca proklamasi Israel, perang Kembali terjadi antara pihak Arab dan Yahudi. 

Ketika itu, pihak Arab telah mengepung Israel dari berbagai penjuru. Negara-negara Arab yang bertetangga langsung dengan Israel seperti Mesir, Yordania, Syria dan Lebanon telah menyiapkan pasukan mereka masing-masing. Mesir dikenal memiliki tentara didikan Inggris. Yordania (saat itu Transjordan) dipimpin oleh Brigadir John Bagot Glubb. Irak, Suriah dan Lebanon memiliki pasukan yang banyak diisi oleh relawan.

Perang ini berakhir dengan kemenangan Israel. Kasus korupsi yang saat itu terjadi di masa pemerintahan Raja Farouk di Mesir menyebabkan krisis persenjataan dan makanan. Hal ini tentunya berakibat buruk pada pasukan Mesir. Pasukan Transjordan mungkin memperlihatkan usaha yang lebih baik, namun tetap tidak berpengaruh besar. Pasukan Irak dipersulit oleh jarak mereka yang jauh. Sementara itu, pasukan Lebanon dan Suriah tidak memperlihatkan perjuangan yang sungguh-sungguh, dikarenakan latar belakang mereka yang merupakan pasukan yang amatiran dan tidak profesional.

Pada 1956, para pemimpin Israel pernah berencana untuk mengadakan konfrensi perdamaian. Dalam konfrensi ini, dibacakan jalan apa saja yang dapat diambil demi tercapainya perdamaian antara bangsa Arab dan Israel. Para pemimpin Arab menolak undangan tersebut. Menurut mereka, jika bangsa Arab memenuhi undangan konfrensi tersebut maka sama saja mereka mengakui hak Israel untuk berdiri di atas tanah Palestina. 

Rentang perjalanan waktu pasca Israel berdiri, di berbagai belahan dunia muncul berbagai demonstrasi dan unjuk rasa dilakukan, baik oleh kaum Muslim maupun non muslim untuk mengecam Israel, berharap negara ini dihapus dari muka bumi. Kebencian bangsa dunia terhadap Israel disebabkan agresi dan perluasan wilayah yang terus dilakukan di tanah Palestina secara tidak manusiawi. Bahkan kelompok internal Yahudi sendiri mengecam Israel. Neturei Karta misalnya yang merupakan kelompok Yahudi anti-Zionisme. Mereka menentang visi misi Zionisme. Selain itu, bahwa Yahudi menurut mereka adalah agama, bukan bangsa atau etnik.

Perkembangan lebih lanjut pasca perang 1967 yang menunjukkan hegemoni kekuatan militer Israel, berakibat diplomasi negara-negara Arab dan perjuangan militer bangsa Palestina semakin meredup. Semangat perang dan kemengan politik muncul Kembali setelah perang yang di Mesir popular dengan perang 6 Oktober 1973. Dalam perang itu, ternyata tentara gabungan Mesir, Yordania dan Syria memiliki kekuatan yang mampu merontokkan mitos “kehebatan Israel.” Ini karena tentara Mesir mampu mengalahkan bahkan bisa mengusir mereka dari sebagian wilayah provinsi Sinai yang pada perang 1967 diduduki oleh Israel.

Kemenangan ini membuat dinamika diplomasi perdamaian yang disponsori Amerika bergerak lagi. Inilah latar belakang terjadinya perjanjian Camp David antara Mesir-Israel pada 1979 yang di antaranya menyebutkan meletakkan dasar-dasar dan prinsip perdamaian, memperluas resolusi DK PBB nomor 242, menyelesaikan apa yang disebut sebagai "masalah Palestina", menyetujui perdamaian Mesir-Israel, serta perdamaian antara Israel dan negeri-negeri tetangganya yang lain. Sebagai konsekuensi perjanjian ini Mesir dan Israel saling mengirim duta besar yang ditempatkan di Kairo dan Tel Aviv.

Pada pihak lain, karena perjanjian Camp David tidak mendapatkan restu dari Liga Arab, maka hampir seluruh negara-negara Arab memutuskan hubungan diplomatik dengan Mesir. Ini karena menurut mayoritas negara-negara Arab, Mesir “berkhianat” terhadap perjuangan negara Palestina. Tapi dalam perkembangan berikutnya, Yordania juga melakukan hubungan diplomatik, ekonomi dan budaya dengan Israel. Dua negara tersebut menjalin hubungan diplomatik secara resmi sejak 1994 dengan menandatangani perjanjian perdamaian Israel–Yordania. Raja Abdullah dari Yordania memandang Israel sebagai aliansi wilayah vital di Timur Tengah.

Gerak diplomasi antara Israel dengan negara-negara Arab berubah menjadi diplomasi antara Israel dan wakil Palestina. Dalam hal ini adalah organinasi pembebasan Palestina (PLO) yang dipimpin oleh Yasser Arafat (1929-2004 M). Gerak diplomasi yang didukung oleh Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa menghasilkan perjanjian Oslo pada 1993. Poin penting dalam perjanjian itu adalah pengakuan PLO terhadap negara Israel dan sebaliknya, pengakuan pemerintah Israel terhadap PLO sebagai perwakilan rakyat Palestina dan mitra negosiasi. Selain itu, perjanjian Oslo juga membahas peta jalan menuju perdamaian Israel-Palestina.

Disamping itu, perjanjian Oslo diteruskan dengan perjanjian perdamaian sementara untuk membentuk Pemerintah Otonomi Palestina 1993 yang di antaranya Israel menyetujui pemberian otonomi terbatas terhadap Palestina di Tepi Barat dan Jalur Gaza, yaitu dua wilayah yang diduduki Israel dalam perang Timur Tengah 1967 sekaligus sebagai peta jalan menuju Palestina merdeka.

Pesma An-Nur Wonocolo, 7 Syawal 1442 H/18 Mei 2021 M. 

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda