KH Ilyas Ruhiat: Ajengan Cipasung, Nahkoda PBNU Di Pengujung Orde Baru - HWMI.or.id

Thursday 3 June 2021

KH Ilyas Ruhiat: Ajengan Cipasung, Nahkoda PBNU Di Pengujung Orde Baru

Beliau bernama KH Moh Iyas Ruhiat. Dilahirkjan hari Ahad, 12 Rabiul Awwal 1352 H/31 Januari 1934.

Namanya sebagai tafa’ul terhadap tokoh muda pesantren yang tengah naik daun saat itu, KH Muhammad Ilyas, yang pernah menjabat Menteri Agama dalam tiga periode (h. 37).

Sejak kecil sampai dewasa, Endang Ilyas (anak kiai diseputar Tasikmalaya lazim dipanggil Endang), dididk oleh orang tuanya sendiri. Ajengan Ruhiat, bapak Endang Ilyas, adalah perintis pesantren Cipasung. Ajengan Ruhiat termasuk pelopor masyarakat Tasimalaya dalam menghadang imperialisme penjajahan Belanda, sehingga pada 17 November 1941 beliau ditangkap dan ditahan bersama ulama terkemuka, KH Zainal Musthofa di Penjara Sukamiskin dan dibebaskan 10 Januari 1942 (h. 29).

Kegigihan sang ayah, sekaligus guru yang paling disegani Endang Ilyas, inilah yang menjadi spirit Ilyas untuk terus belajar secara tekun dan selalu bersikap tegar yang nantinya mampu menjadi modal memperjuangkan masyarakat Cipasung.


Kecerdasan dan ketegarannya membuat orang tuanya bangga, sehingga ketika sang Ayah merasa sakitnya parah, Endang Ilyas langsung dibai’at oleh ayahanda sebagai penerus kepemimpinan pesantren Cipasung.

Ditangan Moh Ilyas, Cipasung sejak tahun 1980-an sampai sekarang menjadi pesantren besar yang penuh prestasi. Terlebih ketika Ajengan Ilyas terpilih sebagai pelaksana harian Rais Aam PBNU yang ditinggalkan KH Ahmad Siddiq dalam Munas Lampung tahun 1992. Dan kemudian beliau terpilih kembali sebagai Rais Aam PBNU dalam Muktamar XXIX tahun 1994 di pesantrennya sendiri, Cipasung. 

Kesuksesan Ajengan Ilyas menjadi Rais Aam PBNU membuktikan akan teguhnya beliau sebagai seorang resi. Dan beliau sampai saat ini, adalah satu-satunya orang Sunda yang pernah menduduki posisi Rais Aam. Karena dalam kepemimpinan NU, jabatan Rais Aam selalu diisi orang Jawa. 

Dan perlu dicatat, Rais Aam bukanlah sekedar jabatan. Yang terpilih (bukan dipilih) adalah mereka yang kharismatik dan benar-benar menjadi panutan ummat. Sebut saja mislanya KH Hasyim Asy’ari, KH A. Wahab Hasbullah, dan KH Bisri Sansuri. Sosok resi yang melekat dalam diri Ajengan Ilyas sangat dirasakan oleh seluruh warga NU dan pesantren. Beliaulah yang menjadi siger tengah (tokoh moderat) dalam konflik elite NU di Munas Lampung 1992. Waktu itu, Gus Dur berseteru dengan pamannya sendiri, KH Yusuf Hasyim, dan KH Ali Yafie. Pada Muktamar Cipasung tahun 1994, ketika Gus Dur dan Abu Hasan berseteru, bahkan karena tidak terpilih, Abu Hasan akhirnya mendirikan NU tandingan bernama KPPNU, Ajengan Ilyas tampil lagi sebagai siger tengah yang mengembalikan keutuhan jam’iyyah dan jama’ah NU. 

Ketika warga NU digegerkan oleh Naga Hijau dan Ninja yang membantai warga Banyuwangi, beliau bersama Gus Dur tampil dengan santun menyelesaikan konflik tersebut dengan damai. Dan ketika warga NU sedang bergairah era reformasi, beliau juga merestui lahirnya PKB yang kemudian mengantarkan Gus Dur sebagai Presiden ke-4 RI. Sampai sekarang, walaupun kondisi fisik beliau sudah sangat lemah, ketika warga NU diterpa godaan politik yang menggoyahkan Khittah 1926, beliau tetap bersungguh-sungguh mempertahankan Khittah yang diwariskan para sesepuh NU. Totalitas perjuangan Ajengan Ilyas dalam NU sangatlah besar dan dikagumi warga NU. Tidak hanya warga NU, tetapi seluruh bangsa. Karena di Jawa Barat beliau juga sering memelopori dialog lintas agama dan linta sektoral. Beliau selalu menggandeng Muhammadiyah dalam persoalan umat Islam. Dalam pluralitas keberagamaan, beliau selalu menggendeng para pemuka agama Indonesia, termasuk ikut masuk dan berceramah di pesantrennya. Walaupun demikian, beliau tetap santun dan rendah diri. Menduduki posisi tertinggi di NU, beliau tetap tinggal di Cipasung. Karena baginya, Ilyas dan Cipasung bagai biji yang tumbuh ditanahnya sendiri.


Meski kemunculannya sebagai Rais Aam di luar prediksi, tetapi di NU sosok Ilyas Ruhiat bukanlah orang baru, apalagi karbitan. Sejak 1954, tepat ketika usianya 20 tahun, Ilyas sudah tercatat sebagai perintis sekaligus ketua pertama Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) Tasikmalaya. Salah satu tugas Ilyas adalah menyiapkan terselenggaranya kongres IPNU pertama di Malang. Di IPNU, ia bertemu dengan anak-anak kiai dari tempat lain, salah satunya Nadjib Abdul Wahab, putra K.H. Wahab Hasbullah. Dengan Nadjib, Ilyas bahkan bersepakat akan sama-sama melanjutkan kuliah ke Mesir dan berangkat pada pertengahan 1956. Namun, rencana itu cuma sebatas rencana karena Ilyas keburu dinikahkan dengan Dedeh Tsamrotul Fuadah, putri Ajengan Mapruh dari Rancapaku, Tasikmalaya, pada 14 Juli 1956. Sekalipun sudah menikah, Ilyas terus aktif di IPNU. Ia mengikuti kongres kedua di Pekalongan (1956) juga kongres ketiga di Cirebon (1958). Di forum terakhir, Gus Dur pertama kali bertemu Ilyas dan mengenangnya sebagai “satu-satunya peserta yang mengenakan sarung." Tahun 1960, Ilyas terpilih sebagai Ketua IPNU Jawa Barat. Ia pun sering berseloroh menyebut dirinya IPNU tua lantaran meskipun sudah berkeluarga masih saja aktif di organisasi pelajar. Tak lama berselang, ia dipercaya menjadi Wakil Rais Syuriah PCNU Tasikmalaya, mendampingi sang ayah, Abah Ruhiat, yang menjabat sebagai Rais Syuriah.

“Dia ulama yang anggun dan berpikiran tenang,” begitu pendapat Kiai Sahal tentang sosok Ajengan Ilyas.

Selama menjadi Rais Aam, kepribadian Ilyas Ruhiat yang luwes dan bersahaja—dalam beberapa hal bahkan terkesan “dingin”—punya peran penting untuk mengimbangi sepak terjang Gus Dur yang tengah menjadi sorotan Orde Baru. "Bersama Gus Dur, Ajengan Ilyas menjadi nahkoda NU mengarungi lautan yang ganas dan penuh badai dengan berbekalkan kesamaan dan saling pengertian," kata K.H. Fuad Hasyim, tokoh NU dari Pesantren Buntet, Cirebon. Keluwesannya tampak pada sikapnya yang teguh memegang seruan ‘Kembali ke Khittah 1926’ untuk tidak terjun ke politik praktis. Meski begitu, pada saat bersamaan ia juga tak keberatan menerima mandat warga Jawa Barat untuk menduduki kursi anggota MPR dari utusan daerah—kedudukan yang secara legal formal memang tidak mewakili partai politik.

Ketenangan serta sikapnya yang terkesan “mengikuti air mengalir” bikin greget sejumlah kiai—dinamika amat lumrah dalam organisasi sebesar PBNU. K.H. Mustofa Bisri, misalnya, saat ditanya wartawan Tempo mengapa Ajengan Ilyas, Rais Aam Syuriah PBNU, ikut-ikutan menyerahkan emas 1,9 kilogram kepada Soeharto—hal yang dimaksudkan sebagai gerakan simbolik agar masyarakat mendukung pemerintah mengatasi krisis moneter—memberikan jawaban begini: “Kalau Pak Ilyas Ruhiat itu kan orang yang paling baik di dunia. Mbok diajak ke mana saja dia akan mau, asal bukan setan saja yang mengajak. Asal saja dengan hujjah (argumentasi) yang bagus. Bilang saja itu dilakukan demi bangsa Indonesia, pasti Kiai Ilyas mau. Dan di Indonesia, model Kiai Ilyas itu banyak.”


 Sedangkan dalam ceramah di Majelis SAS Center, Kairo, 12 Januari 2004, Prof. DR. K.H. Aqiel Siradj, setelah berpanjang-panjang menjelaskan sepak terjang Gus Dur, berkata, “Nah, Gus Dur di Cipasung menang lagi. Dan Pak Harto itu yang kalah. Ndilalah Kiai Ilyas orangnya low profile, sangat rendah hati, sangat nurut, gampangan, mangga wae, bahasa Sundanya, ke mana saja mau asal satu: tidak mengutak-atik hasil keputusan Muktamar Cipasung”.

Ilyas Ruhiat wafat pada 18 Desember 2007, 13 tahun lalu, setelah terbaring di rumah sakit akibat mengidap penyakit gula. Kepergiannya diiringi ribuan pelayat.

Lahu Alfatihah... 

Sumber : Buku Ajengan Cipasung: Biografi KH. Ilyas Ruhiat. Penulis : Iip D. Yahya, dan beberapa sumber lain.

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda