Di Blitar pernah ada seorang kiai yang kharismatik yang keilmuannya dikenal dan dikagumi oleh kalangan istana negara. Muballigh kharismatik ini dipercaya memiliki ilmu ladunidikenal banyak kalangan mulai masyarakat perkotaan dan pedesaan se Indonesia, terlebih pada era Presiden Soekarno hingga Presiden Soeharto. Sebab, setiap acara keagamaan seperti Maulid Nabi yang diselenggarakan oleh istana Negara sering melibatkannya sebagai penceramah utama.
Namanya adalah KH. Yasin Yusuf yang dilahirkan pada tahun 1934 di Kademangan Blitar dari seorang ayah bernama Kiai Yusuf yang dikenal kaya dan sangat dermawan. Semasa masih remaja, kira-kira pada tahun 1953, Kiai Yasin menyelesaikan pendidikan formalnya dari Madrasah Ibtidaiyah Nahdlatul Ulama (MINU) Blitar. Sembari sekolah di MINU, Kiai Yasin nyantri di Pesantren Dawuhan Kademangan Blitar yang saat itu diasuh oleh KH. Zahid Syafi’i (menjadi pengasuh tahun 1951-1981). Pesantren yang berdiri di tahun 1873 ini berjarak sekitar 500 meter dari komplek Makam Ir. Soekarno di tengah Kota Blitar. Kini, pesantren ini sudah berganti nama menjadi Pesantren Bustanul Muta’allimin Blitar. Dalam proses menempuh jenjang pendidikannya, Kiai Yasin Yusuf tergolong cukup singkat.
Kiai Yasin dikaruniai dua orang putri dari seorang istri yang pertama. Namun, setelah istri pertama wafat, Kiai Yasin menikah lagi dengan Nyai Mukhtatimah yang dikenal dengan panggilan Ibu Nyai Yasin. Dengan Nyai Mukhtamimah, dikaruniai satu putra dan kelak menjadi pengasuh pondok yang didirikan oleh Kiai Yasin. Pondok pesantrennya diberinama Pondok Luqmanul Hakim yang sampai saat ini masih berdiri dan dilanjutkan oleh putra dan Nyai Mukhtatimah di Kademangan.
Menjadi Singa Podium
Sejak masih kecil, Kiai Yasin sudah dikenal sangat pandai berpidato dan pertama kali berceramah di atas panggung pada tahun 1953. Gaya berpidato Kiai Yasin sangat khas dan berbeda dari banyak ulama saat itu. Selain mampu menirukan bermacam-macam suara binatang, pesawat terbang, tembakan meriam, bom meledak, dan lain-lain, terkadang ia juga menirukan suara Bung Karno ketika membaca teks proklamasi, serta suara Bung Tomo ketika menggelorakan semangat juang para pemuda untuk bertempur melawan sekutu dalam peristiwa 10 November 1945. Suaranya sangat mirip dengan kedua orator handal itu terdengar persis. Karena pada itu belum ada mubaligh yang memiliki aksi kreatif seperti dirinya. Ini menjadi daya tarik yang mengesankan para jama’ah pendengar ceramahnya. Sejak tahun 1953 pula lah, Kiai Yasin menjadi guru di Madrasah Ibtidaiyah Kademangan Blitar. Kemudian, pada tahun berikutnya yakni tahun 1954, Kiai Yasin dipercaya menjadi guru agama di daerah Lodoyo yang dikenal sebagai daerah merah karena menjadi basis kegiatan orang komunis. Jarak Ledoyo dengan Kademangan sekitar 8 kilometer ke arah selatan. Namun, hal itu tidak menjadi halangan untuk mengajar dan berdakwah di tengah masyarakat meski ancaman kerap mengintainya.
Saat pemilu tahun 1955, Kiai Yasin berpidato dengan semangat membara membela partai NU yang beliau sebut sebagai partai para kiai. Walaupun beliau tidak masuk dalam kepengurusan partai kalangan kiai ini dan tidak sedang dicalonkan dan mencalonkan diri sebagai anggota legislatif, beliau dalam pidatonya yang khas meminta orang-orang abangan (yang dianggap kurang mengamalkan ajaran agama Islam meski mengaku sebagai Muslim) untuk mencoblos Partai NU dalam pemilu 1955. Ia memiliki cara yang berbeda dan menyentuh ketika berpidata, kala itu.
“Kalau Bapak-bapak dan Ibu-ibu, tidak suka dengan NU, silakan. Mau apa dengan NU, silakan. Tapi untuk pemilu kali ini, tolong, bantulah NU, sekali saja, cobloslah NU.”
Sebagai idola rakyat, beliau selalu kendati tidak harus melepas identitas kesantrian dan ke-NU-annya. Keikhlasan beliau sangat kuat dirasakan. Suatu ketika, karena hujan deras, beliau tetap datang pada satu acara dan tetap bersemangat ceramah walau yang hadir pada saat itu hanya belasan orang akibat hujan dan becek. Bagi Kiai Yasin, ceramah di hadapan lima ribu atau di depan 5 orang sekalipun adalah sama. Bahkan beliau menjadi idola almarhum KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Menurut catatan Gus Dur, dalam setiap perayaan haul Sunan Bonang di Tuban, Kiai Yasin selama 34 tahun tak pernah absen untuk memberikan ceramah dalam acara tersebut, meski tanpa diundang panitia.
Karomah Kiai Yasin Yusuf
Pada awalnya, kekondangan Kiai Yasin Yusuf sebagai muballigh hanya di daerah Blitar. Pada saat itu, PKI masih berkuasa di tempat beliau mengajar dan berdakwah.
Suatu hari ada empat orang pemuda yang dikabarkan telah bersiap membunuh Kiai Yasin. Mereka berada di tempat persembunyian dan akan memanah saat Kiai menyampaikan ceramah. Kiai Yasin berpesan kepada Ibrohim, seorang pendamping setianya untuk selalu bertawakal dan sabar atas segala yang akan terjadi. Ketika Kiai Yasin sedang menyampaikan ceramahnya di tengah-tengah warga NU, Ibrohim melihat keempat pemuda tadi menarik busur panah yang lancip dan beracun itu tepat mengarah kepada sang kiai. Begitu takutnya beliau apabila busur panah itu akan lepas dan mengenai Kiai Yasin, tapi apalah daya dia yang teringat pesan Kiai. Ibrohim hanya mampu berdoa untuk keselamatan teman sekaligus gurunya itu.
Tiba-tiba, keanehan pun terjadi. Meski telah lama menarik busur panahnya, namun keempat orang itu tidak ada satupun yang dapat melepaskannya. Tapi tidak juga ada yang membatalkan sasaran anak panahnya. Mereka tetap saja menarik anak panahnya masing-masing dengan kuat-kuat tapi posisi mereka berdiri mematung tak bergerak. Sampai pada akhirnya Kiai Yasin turun panggung dan mendekati mereka. Setelah disentuh oleh Kiai, barulah mereka tersadar, ketakutan dan minta maaf. Di depan Kiai Yasin mereka mengaku sebagai anggota PKI yang bertugas membunuh Kiai Yasin. Mereka langsung bertobat dan mengucapkan kalimat syahadat di depan Kiai Yasin dan para jamaah. Sejak itu mereka aktif di Gerakan Pemuda Ansor dan rajin menjaga keselamatan para kiai NU.
Banyak kisah misteri yang menyelimuti perjalanan Kiai Yasin sebagai seorang muballighkondang ini. Salah satunya, menurut sebuah cerita, apabila mikrophon yang digunakan untuk ceramah terkena sabotase orang sehingga rusak, biasanya beliau langsung melepaskan sepatunya untuk digunakan sebagai ganti mikrophon. Dan, ternyata dapat berfungsi dengan baik, seperti mikrophon sungguhan: dengan suara yang nyaring dan menggema sebagaimana mikrophon pada umumnya.
Dalam satu kisah lain disebutkan, ketika nyawa Kiai Yasin diancam orang, ia tidak pernah melakukan perlawanan secara fisik. Namun anehnya, pengancam itu malah seringkali mematung. Semua gerakannya terkunci. Tidak dapat bergerak, tapi tetap dalam kondisi sadar. Kuncian itu baru bisa lepas kalau sudah disentuh oleh Kiai Yasin.
Pancasila dan Tahlilan
Diriwayatkan ‘bil makna’ dari beberapa kiai, yang meriwayatkan bahwa KH. Yasin Yusuf telah memberikan penafsiran sederhana dan unik tentang Pancasila yang dikaitkan dengan tradisi Tahlilan. Kiai Yasin Yusuf dalam satu ceramahnya pernah menyampaikan:
“Kalau kita ingin melihat pelaksanaan Pancasila yang benar dan tepat, maka lihatlah orang-orang tahlilan yang biasanya diamalkan.
Pesan di atas memiliki makna mendalam, antara lain:
*Pertama,* orang tahlilan itu pasti baca surat al-Ikhlas yang berbunyi “Qulhu Allohu Ahad Allohush Shomad”, yang di situ mengandung makna “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dan, di dalam tahlil pasti dibaca. Yang artinya, Tuhan itu satu, La ilaha illallah, tiada tuhan selain Allah.
*Kedua,* orang tahlilan siapapun boleh datang dan ikut, tidak ada seleksi, tidak ada pertanyaan bisa tahlil apa tidak. Bahkan abangan atau yg blm bisa ngajipun boleh datang ke tahlilan. Tidak ada yang dibeda-bedakan. Itulah “Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab”.
*Ketiga,* apabila kita datang di kampung-kampung, orang tahlilan itu duduknya bersila semua. Tidak dibedakan duduknya baik pejabat, kiai, santri, dan orang biasa. Semuanya duduk bersila, rata. Di samping duduknya bersila semua, rangkaian dzikir-dzikir yang dibaca pun sama dan seragam, cara bacanya pun bareng. Itulah “Persatuan Indonesia” terdapat dalam sila ke tiga Pancasila.
*Keempat,* setelah itu, menjelang dimulai, di sanalah mereka mencari pemimpin, mereka saling tuding dan saling tunjuk, tapi juga saling menolak jika ditunjuk. Satunya bilang “Anda saja yang mimpin” dan yang lainnya juga bilang “Anda yang lebih pantas”, Di sinilah terjadi musyawarah kecil-kecilan mencari seorang pemimpin tahlil. Setelah satu orang terpilih, maka dialah yang memimpin tahlil, dan siapa yg mimpin doa tahlil. Itulah “Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan.”
*Kelima,* setelah tahlil selesai, “berkat” (bingkisan berupa makanan) dikeluarkan untuk diberikan kepada orang-orang yang tahlillan. Semuanya mendapatkan “berkat” yang sama tanpa ada perbedaan baik dalam bentuk, tampilan dan isinya, semuanya sama. Itulah makna “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”. Walaupun memang terkadang ada sedikit tambahan “Berkat” buat yang mimpin.
Begitulah cara Kiai Yasin Yusuf dalam memberikan pemahaman baik kepada masyarakat. Analogi, contoh-contoh, serta guyonan-guyonan segar selalu dihadirkan untuk menyampaikan pesan agar dapat diterima secara utuh oleh masyarakat.
Kiai Yasin Yusuf wafat pada tanggal 6 Juli 1992 dan dimakamkan di Desa Tambak, Ngadi, Kecamatan Mojo, Kabupaten Kediri, sekitar 17 kilometer selatan kota Kediri. Makam itu dikenal dengan makam para ulama. Makam beliau berdampingan dengan makam KH. Ahmad Shiddiq (Rais Am PBNU 1984-1991) dan KH. Hamim Djazuli (Gus Miek) dari Pesantren Ploso Kediri.(MusliModerat.net)