Oleh: Ayik Heriansyah
Bagaimana tidak diincar oleh pelajar-pelajar di berbagai daerah dari kalangan menengah ke bawah, sekolah-sekolah kedinasan di bawah naungan kementerian memberikan pendidikan gratis dan menjanjikan masa depan cerah bagi lulusannya dengan diangkat menjadi pegawai. Bagi mereka kuliah di sekolah-sekolah kedinasan cara instan untuk mengubah nasib dan menaikkan status sosial.
Pelajar-pelajar cerdas dan berbakat berlomba-lomba mendaftar. Pelajar-pelajar dari daerah yang banyak diterima di sekolah-sekolah kedinasan dari jurusan eksakta (A1, A2, IPA). Mereka anak-anak yang pintar tapi awam dalam ilmu pengetahuan agama. Jiwanya masih bersih. Emosi keagamaannya cukup tinggi. Impian mereka, bagaimana menjadi orang kaya tapi tetap shalih. Tipologi mereka sangat cocok untuk direkrut oleh gerakan Islam transnasional.
Pembukaan kembali sekolah-sekolah dinas di era 1980-1990-an beriringan dengan masuknya gerakan Islam transnasional ke Indonesia. Mereka adalah Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, Salafi Wahabi dan Jamaah Islamiyah (alumni jihad Afghanistan). Gerakan-gerakan Islam ini mengicar mahasiswa-mahasiswa sekolah-sekolah kedinasan. Sejak awal, gerakan-gerakan Islam transnasional menempeli sekolah-sekolah kedinasan melalui masjid/mushala kampus dan lembaga dakwah kampus.
Dialektika politik saat itu, kehadiran gerakan-gerakan Islam transnasional dibiarkan pemerintah Orde Baru untuk mengimbangi organisasi-organisasi masyarakat (ormas) Islam yang konvensional seperti NU, Muhammadiyah, Persis, dan lain sebagainya. Gerakan-gerakan Islam transnsional ditempatkan sebagai anti tesis dari ormas-ormas Islam. Dan pemerintah sebagai sintesis. Ternyata, belakangan baru ketahuan gerakan-gerakan Islam transnasional merupakan anti tesis bagi pemerintah. Mereka turut serta menggulingkan pemerintahan Soeharto pada tahun 1998.
Selain Akademi Militer dan Akademi Polisi, sekolah-sekolah kedinasan rentan disusupi paham-paham radikal. Di STPDN/IPDN pun sempat ada mahasiswa yang tergabung dengan kelompok radikal. Yang fenomenal adalah STAN. STAN sekolah kedinasan yang paling banyak mahasiswanya yang terpapar paham Ikhwanul Muslimin. Saking banyaknya, di kalangan aktivis gerakan Islam, STAN identik dengan Ikhwanul Muslimin. Memang ada yang ikut Hizbut Tahrir dan Salafi Wahabi, akan tetapi jumlahnya sangat sedikit.
Karena gerakan Islam transnasional menempeli STAN sejak awal pembukaan kembali pada tahun 1988 di kampus Bintaro, maka kaderisasi gerakan Ikhwanul Muslimin di STAN sudah sistematis dan sistemis yang melibatkan alumni, dosen dan staf kependidikan. Sama seperti yang terjadi di kampus-kampus negeri umum lainnya (UI, IPB, ITB, UGM, Unpad, dll). Jaringan alumni yang bekerja di berbagai instansi pemerintah dan swasta, menjadi donatur bagi kegiatan perekrutan di kampus.
Karakteristik gerakan Islam transnasional adalah gerakan pemikiran dan politik, maka sulit dibuktikan secara hukum. Sulit ditemukan bukti-bukti hukum keterlibatan alumni, dosen dan staf kependidikan pada kegiatan-kegiatan suatu gerakan Islam di kampus. Memang keahlian para aktivis gerakan Islam transnasional di antaranya, bagaimana bergerak menyebar paham tanpa meninggalkan bukti hukum.
Gerakan Islam transnasional memiliki sifat ekspansif. Cengkeraman gerakan Islam di sekolah-sekolah kedinasan berlanjut ke instansi-instansi tempat mereka mengabdi setelah lulus. Mereka menguasai kepengurusan masjid/mushala kantor, mengatur jadwal khatib dan pengajian. Mereka memegang lembaga amil zakat dan yayasan pendidikan di bawah naungan serikat pekerja. Mereka juga ikut mengatur acara-acara peringatan hari besar Islam yang diselenggarakan oleh instansinya.
Radikalisasi kantor-kantor pemerintah, BUMN dan swasta sekarang merupakan kelanjutan dari radikalisasi kampus-kampus sejak 30 dekade yang lalu. Radikalisasi tidak sepenuhnya berhasil. Rasio jumlah mahasiswa dan pegawai dibandingkan dengan yang moderat, masih kecil.
Karena sifat mereka yang ekspansif dan gerakannya tanpa meninggalkan bukti hukum, membuat kita harus tetap waspada. Pemerintah harus menggunakan pendekatan intelijen, pemikiran dan politik dalam menanganinya. Pendekatan hukum saja, tidak cukup.
(Hwmi Online)