Gus Baha: Tanggal 10 Dzulhijjah Sunnah Menyembelih Hewan Apa Saja Sekalipun Tidak Mampu Berqurban
Oleh: Rifqi Fairuz
Tanggal 10 Dzulhijjah diperingati sebagai hari raya Idul Adha, yang diramaikan dengan tradisi menyembelih hewan qurban. Bagi yang kurang mampu memang tidak dianjurkan menyembelih. Namun, pada hari tersebut tetap disunnahkan menyembelih hewan apa saja, sekalipun seekor ayam.
Di kutip dari Islami.co Tanggal 10 Dzulhijjah merupakan hari besar umat Islam, yang dirayakan dengan hari raya Idul Adha. Pada hari ini umat Islam disunnahkan untuk menyembelih hewan ternak berupa unta, sapi atau kambing guna menunjukkan rasa syukur sekaligus meneladani apa yang telah diperintahkan Allah SWT kepada Nabi Ibrahim AS.
Namun, pada kenyataannya, banyak Muslim yang memang tidak mampu berqurban pada hari raya tersebut dengan berbagai macam alasan. Ada yang karena tidak mampus ecara ekonomi, ada pula yang tidak berqurban karena memang merasa tidak harus, karena sudah sudah berqurban di tahun-tahun sebelumnya.
Bagi Gus baha, pada tanggal 10 Dzulhijjah umat Muslim tetap disunnahkan melaksanakan penyembelihan hewan apa saja yang halal secara syariat, meski dengan niat syukuran atau makan-makan. Pendapat ini beliau sampaikan pada sebuah video unggahan channel Santri Gayeng di tautan ini.
Gus Baha memberikan penjelasan tentang kesunnahan menyembelih hewan pada tanggal 10 Dzulhijjah ini. Penjelasannya adalah, bahwa sekalipun kita tidak mampu atau tidak merasa berkewajiban berqurban, seyogianya kita tetap menyiapkan adanya daging pada hari raya tersebut untuk berburu kesunnahan. Sekalipun itu hanya berupa menyembelih ayam, atau sekadar membeli daging satu kilo di pasar.
Gus Baha menyebutkan sebuah contoh dari sahabat Ibnu Abbas RA, yang tetap menyembelih hewan apa saja pada tanggal 10 Dzulhijjah. Bahkan diketahui Ibnu Abbas pernah memotong ayam di hari itu. Secara syariat, menyembelih ayam memang tidak bisa dihukumi sebagai qurban Idul Adha. Namun, tetap dilaksanakan oleh Ibnu Abbas sebagai kesunnahan 10 Dzulhijjah.
Gus Baha pun mengakui mengikuti contoh tersebut, dan tiap tanggal 10 Dzulhijjah beliau selalu menyembelih hewan apa saja sesuai kemampuan dengan niatan “mayoran”, atau syukuran makan-makan.
Dalam ilmu Fiqih, terdapat sebuah kaidah maa laa yudraku kulluhu, laa yutraku kulluhu. Yang artinya adalah apabila tidak bisa diraih semuanya, maka jangan ditinggalkan semuanya.
Sementara fenomena yang terjadi kebanyakan di sekitar kita adalah, ketika seseorang merasa tidak mampu berqurban dengan menyembelih sapi atau kambing, maka ia merasa tidak perlu menyembelih sama sekali. Sehingga keutamaan dan pahala kesunnahan qurban dari tanggal 10 Dzulhijjah tidak dapat diraih.
Hikmah dari kasus ini adalah, bahwa sesedikit mungkin, kita tetap perlu mengejar keutamaan sebuah kesunnahan, walaupun dengan kondisi terbatas.
Terdapat manfaat dan hikmah tersendiri jika kita tetap menyembelih hewan atau membeli daging sendiri pada tanggal 10 Dzulhijjah. Secara praktis, ketika kebutuhan pangan keluarga di hari itu sudah tercukupi dengan daging tersebut, maka keluarga tidak mengharap-harapkan jatah pembagian daging dari orang lain yang berqurban. Ini juga menghindarkan bersikap tamak apabila merasa pembagian daging panitia qurban dirasa tidak adil atau tidak merata.
Kaidah ini pun berlaku dalam membayar hutang, misalnya. Ketika kita berhutang 10 juta dan hanya baru punya uang 1 juta, maka tetap uang 1 juta itu kita usahakan untuk mencicil pembayaran. Bukan malah tidak membayar sama sekali.
Begitu pula dalam urusan menikah. Yang disebutkan dalam ajaran Islam sebagai pertimbangan dalam memilih pasangan yakni ada empat kriteria: nasabnya, parasnya, hartanya, dan kualitas keislamannya. Ketika keseluruhan kriteria tidak terpenuhi dalam diri satu orang, bukan berarti menggugurkan kesunnahan menikah. Kesunnahan menikah tetap perlu dilaksanakan, bukan malah tidak menikah sama sekali!
Wallahu a’lam bisshawab
(Hwmi Online)