Oleh: Desi Ratriyanti in Suara Kita
PPKM Darurat dan Pentingnya Beragama Secara Rasional-Moderat
Pemerintah memberlakukan Peraturan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat mulai 3-20 Juli 2020. PPKM Darurat harus diakui merupakan kebijakan berani di tengah kondisi dilematis. Di satu sisi, PPKM Darurat pasti akan berdampak negatif pada ekonomi yang mulai bangkit sejak beberapa bulan terakhir.
Namun, ancaman virus Corona yang kian melonjak membuat pemerintah berada dalam posisi fait accomply alias tidak punya pilihan. PPKM Darurat diambil sebagai jalan tengah mengendalikan lonjakan penularan virus Corona. PPKM Darurat pada dasarnya ialah pengetatan pembatasan aktivitas warga di bidang ekonomi, pendidikan, sosial-budaya dan keagamaan. Di bidang keagamaan, PPKM Darurat mewajibkan seluruh tempat ibadah ditutup sementara.
Sebelum PPKM Darurat diberlakukan, sejumlah ormas keagamaan sebenarnya sudah mengeluarkan imbauan di tengah gelombang kedua pandemi. Di Islam misalnya, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah berkali-kali menyerukan agar umat Islam beribadah di rumah saja. Bahkan, secara resmi NU dan Muhammadiyah telah mengeluarkan edaran terkait peniadaan sholat Idul Adha di wilayah yang masuk zona merah dan oranye Corona.
Meski demikian, masih saja ada narasi menyesatkan yang menuding pemerintah mengalami Islamofobia dan anti-Islam. Para pendengung isu tersebut ialah kelompok-kelompok yang selama ini dikenal anti-pemerintah dan kelompok radikal yang berusaha menjadikan agama (Islam) sebagai ideologi negara. Jika diamati, cara pandang kelompok radikal anti-pemerintah ini cenderung bertentangan dengan apa yang sebenarnya menjadi komitmen Islam.
Islam Agama Rasional-Moderat
Seperti kita tahu, Islam ialah agama yang rasional dan moderat. Rasional dalam artian tidak selamanya kebenaran dalam Islam itu ditentukan semata oleh teks-teks keagamaan. Sebaliknya, Islam mengakui akal atau rasio sebagai salah satu sumber (pencarian) kebenaran. Akal memang buka sumber kebenaran hakiki. Namun, akal sangat penting peranannya dalam menuntun manusia menuju kebenaran.
Sedangkan moderatisme Islam dapat dilihat dari cara pandang Islam yang selalu berusaha relevan dan kontekstual dengan segala tantangan zaman. Islam sendiri dikenal dengan jargonnya sebagai agama yang “rahmatan lil alamin” dan “shalih li kulli zaman wa makan”. Rahmatan lil alamin bermakna bahwa Islam ialah agama universal yang menyerukan kebaikan bagi seluruh manusia alam semesta. Sedangkan adagium shalih li kulli zaman wa makan bermakna bahwa Islam selalu kontekstual di zaman dan tempat mana pun.
Pandemi Covid-19 merupakan fenomena baru yang belum pernah dikenal sebelumnya. Umat beragama mana pun tentu tidak akan menemukan rujukan spesifik dalam teks kitab sucinya tentang penyakit Covid-19. Demikian pula dalam Islam. Segala sumber rujukan tekstual dalam Islam, mulai dari al Quran, hadist maupun kitab-kitab klasik dipastikan tidak akan memuat penjelasan tentang Covid-19. Maka dari itu, umat Islam diharapkan memakai rasio atau akalnya dalam menghadapi pandemi ini. Menuruti anjuran dokter, epidemolog atau para ahli dalam bidang kesehatan dan pandemi, serta patuh pada aturan pemerintah ialah pengejawantahan rasionalitas umat.
Adaptasi Keagamaan di Era Pandemi
Di saat yang sama, umat Islam dan umat beragama pada umumnya harus mengedepankan sikap moderat dalam menghadapi pandemi. Dalam konteks ini, moderat diartikan sebagai upaya mencari jalan tengah dan upaya menyesuaikan diri atau beradaptasi dengan situasi pandemi. Dengan berpikir moderat, kita tidak akan menganggap pandemi Covid-19 ini sebagai akhir dari dunia. Sebaliknya, pandemi harus disikapi dengan bijak, kreatif, inovatif dan adaptif. Tidak hanya dalam konteks mencari nafkah (ekonomi), namun juga dalam konteks sosial-budaya dan keagamaan.
Pandemi idealnya tidak menghentikan seluruhnya aktivitas ekonomi, sosial-budaya dan agama. Pandemi hanya mengharuskan kita beradaptasi dengan normal baru. Beribadah dari rumah ialah stu dari sekian banyak praktik new normal yang dijalani bersama-sama. Maka, PPKM Darurat pada dasarnya tidak menghapus kewajiban menyembah Allah, hanya mekanismenya yang berbeda. Dulu kita bebas beribadah dan mengadakan acara keagamaan dengan berjamaah, bahkan dengan ingar-bingar dan penuh keramaian. Saat ini kita cukup menjalani ibadah di rumah. Subtansi ibadah tentu tidak akan berkurang sedikit pun. Bahkan, bisa jadi kita akan lebih meresapi makna dan hakikat beragama atau beribadah jika melakoninya dalam kesunyian.
Di masa pandemi, cara pandang dan praktik keberagamaan yang rasional dan moderat sangat diperlukan. Rasionalitas dan moderatisme akan menghindarkan umat beragama dari perilaku membangkang aturan pemerintah atau tidak mentaati protokol kesehatan. Cara pandang rasional dan moderat akan membangun kedewasaan umat dalam beragama. Yakni bahwa menjaga keselamatan diri sendiri dan orang lain dengan mentaati aturan pemerintah ialah bagian dari menegakkan tujuan syariat