Ustaz Abdul Somad, Covid-19, dan Kebencian Atas Nama Agama
Oleh: Ahmad Khoiri
Ustaz Abdul Somad kembali menjadi sasaran kritik warganet. Dai kondang yang menurut survei Voxpol Center menjadi Top of Mind Capres dari kalangan ulama–UAS 6,8%, HRS 2,9%, Aa Gym 2%, Ma’ruf Amin 2%, lainnya di bawah 2%—itu bahkan trending di Twitter. Salah satu media, bahkan memakai bahasa ‘ngamuk’, seolah Abdul Somad membangkang pada kebijakan PPKM dari pemerintah. Covid-19 ternyata bukan hanya sebarkan kematian, melainkan juga kebencian antarsesama.
Di kutip dari Harakatuna.com, Di sini, tulisan ini, tidak mau memihak salah satu partisan, melainkan fokus terhadap narasi kebencian yang beredar. Satu pihak menuduh pemerintah sudah bertindak berlebihan karena kebijakan PPKM yang seolah diskriminatif terhadap locus-ritus keagamaan. Sementara, pihak lainnya menyebarkan narasi bahwa tokoh seperti Ustaz Abdul Somad sangat buruk, sehingga ia jadi sasaran bully di media sosial—yang sering kali berpotensi memecah-belah sesama warga negara.
Sebenar-benarnya taat kebijakan prokes pemerintah, menghujat yang berbeda tetaplah tidak dibenarkan. Sesalah-salahnya sikap Ustaz Abdul Somad dalam menyikapi PPKM, ia masih laik mendapat bimbingan. Jika media sosial penuh ketersalingan menghujat, pro-kontra, sampai kapan pun Ustaz Abdul Somad akan tetap kukuh. Tetapi jika ia dihadapi dengan halus, tanpa kebencian, mengutamakan dialog, tidak memelintir, maka polemik tersebut sebenarnya tidak serumit yang dibayangkan.
Secara lengkap, sebenarnya Ustaz Abdul Somad mengatakan begini:
“Melarang orang ke mesjid, tapi di mall, di pasar dibiarkan, di mana letak hati kecilmu? Tak malukah engkau nanti kalau berjumpa dengan Allah? Di Mesjid orang hanya 5-10 menit, masbuk, lambat sampai masjid, sudah komat, hanya 5 menit dia di mesjid, 5 jam orang duduk beramai-ramai, ketawa, cekakak-cekikik, tertular penyakit. Masjid yang kau salahkan. Tak malukah engkau nanti menyebut nama Allah? Menyebut Rasulullah? Padahal tempat ini yang dipanggil Allah, dipanggil Rasulullah saw. Tetap jaga protokol kesehatan, tapi jangan sampai meninggalkan ibadah kepada Allah swt. Tetap cuci tangan, tetap pakai masker, tetap jaga jarak, tetap beribadah.”
Taat Prokes, Taat Ulil Amri
Dulu, di awal-awal pandemi, Ustaz Abdul Somad menyebarkan isu bahwa Covid-19 adalah tentara Tuhan untuk membalas penderitaan Muslim Uighur. Ketika respons terhadapnya berdatangan, itu adalah perkara maklum karena penjelasannya tidak logis. Namun, virus ini nyata, dan Abdul Somad menyadari fakta itu. Ternyata ia terstigma sebagai orang yang tidak percaya Covid-19, maka sampai hari ini setiap statemennya dianggap kontroversial dan tidak taat kepada otoritas pemerintah.
Taat prokes, taat ulil amri, seringkali dibenturkan, padahal prokes merupakan kebijakan pemimpin itu sendiri. Ternyata sejumlah orang berkomitmen untuk mematuhi prokes tetapi tidak menaati pemimpin. Akibatnya adalah apa yang Ustaz Abdul Somad lakukan; meminta masyarakat mematuhi prokes, tetapi menentang kebijakan menutup masjid. Ada ketidaksinkronan di situ, yakni ketika ia menaati prokes sambari menentang ulil amri. Lalu, mengapa juga keduanya harus sinkron?
Ada dua alasan. Pertama, penanganan Covid-19 mesti dilakukan secara teamwork dan kesadaran kolektif. Artinya, tidak bisa kemudian seseorang percaya keberadaan Covid-19 di satu sisi, tetapi mengingkari di sisi yang lainnya. Menaati prokes bukan hanya karena takut tertular virus, melainkan sebagai tanggung jawab moral menaati pemerintah untuk kemaslahatan umum. Menentang kebijakan ulil amri bisa jadi semakin memperlarut penanganan Covid-19 itu sendiri.
Kedua, berpotensi menjadi bahan pelintiran kebencian di tataran masyarakat akar rumput. Di sejumlah pelosok, kebencian antarsesama yang mengatasnamakan agama terus bergulir. Umpamanya, menuduh pemerintah dan kebijakan PPKM sebagai pembatasan kegiatan agama yang diaktori prang-orang jahat seperti—salah satunya—PKI komunis. Mereka percaya Covid-19, tetapi mereka kukuh yakin bahwa orang jahat memanfaatkan kondisi tersebut untuk melemahkan Islam.
Dengan demikian, sikap Ustaz Abdul Somad dalam memerangi Covid-19 yang meminta masyarakat patuh prokes, namun sekaligus memprovokasi mereka agar tidak percaya kebijakan pemerintah, patut ia telaah kembali. Ustaz Abdul Somad harus bertanggung jawab karena, akibat ulahnya, masyarakat ikut tidak patuh ulil amri di satu sisi, dan menghambat penanganan Covid-19 di sisi lainnya. Namun demikian, haruskah ia mendapat hujatan?
Menghujat Ustaz Abdul Somad
Dengan menghujat, kita terjebak pada dua sisi masalah, yaitu ketersalingan menyebarkan kebencian atas nama agama. Ustaz Abdul Somad memang keliru dengan statemennya yang menghebohkan masyarakat, tetapi jika kita menghujatnya, kita sendiri juga yang akan kena getah pendukungnya. Sudah begitu ia tidak akan taat bahkan akan semakin berani menentang. Karenanya, ketimbang menghujat, persuasi lebih mendesak dilakukan—pengejawantahan solusi moderat.
Kebencian atas nama agama, dari pihak manapun, mendesak untuk segera disudahi. Sebagaimana dijelaskan oleh KH Afifuddin Muhajir, Rais Syuriah PBNU, yang mengutip Al-Bajuri, suatu yang hukum awalnya sunnah dan mubah dan kemudian diwajibkan oleh ulil amri, maka ia menjadi wajib selama ia mendatangkan kemaslahatan umum. Dalam konteks PPKM yang melarang salat di mesjid, hukumnya menjadi wajib kita taati demi keselamatan bersama.
Kita maupun Ustaz Abdul Somad pasti ingin semuanya selamat, dan Covid-19 terkendali. Boleh jadi, ia memberi pernyataan kontroversial karena belum memahami konteks kebijakan. Jika demikian, menghujat Ustaz Abdul Somad sama sekali tidak dapat dibenarkan. Kebencian antarsesama tidak boleh kita rawat, justru saling menasihati adalah solusinya.
Ustaz Abdul Somad butuh diajari, dididik, dinasihati. Covid-19 butuh ditanggulangi, bersama disadari. Dan kebencian atas nama agama, apa pun alasannya, siapa pun pelakunya, harus disudahi. Jika tidak demikian, maka pertanyaannya: apakah masalah akan selesai sesudah menghujat Ustaz Abdul Somad? Apakah Covid-19 akan terkendali jika perselisihan menaati ulil amri semakin menguat? Bukankah kebencian atas nama agama semakin menambah masalah baru?
Wallahu A’lam bi ash-Shawab…
(Hwmi Online)