Tujuh Persamaan Taliban dan ISIS menurut Pengamat Timteng
Oleh: Ahmad Naufa Khoirul Faizun
Pengamat Politik Timur Tengah, M Najih Arromadloni, menginventarisasi beberapa persamaan antara kelompok Taliban dengan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS).
Pertama, lahir dari ideologi yang sama, yakni ideologi Salafi-Wahabi, bukan Sunni. Gus Najih, sapaan akrabnya, menyampaikan hal tersebut dalam diskusi daring bertajuk Serial Kajian Studi Kehidupan Agama Kontemporer yang disiarkan langsung di kanal YouTube TVNU, Jumat (29/8).
“Mereka eksklusif. Mengklaim kebenarannya sendiri dan merasa sebagai representasi Islam. Keduanya mengaku mengamalkan Al-Qur’an dan Sunnah. Menentang mereka berarti menentang Allah dan rasul-Nya,” kata dia. Kedua, sama-sama lahir dari negara konflik. Baik Taliban di Afghanistan maupun ISIS di Suriah, keduanya lahir dari negara yang memiliki konflik berkepanjangan. “Juga sama-sama lahir atas peran Amerika,” terangnya.
Dijelaskan, kelahiran ISIS, Taliban, dan kelompok-kelompok teror, langsung maupun tidak langsung merupakan peran AS. ISIS muncul setelah negara Adi Kuasa ini menginvasi Irak, dan Taliban membesar setelah AS menginvasi Afghanistan. “Meskipun kalau kita baca peta geopolitiknya, lahirnya Taliban itu sendiri tidak lepas dari Amerika. Tadi saya katakan bahwa mereka dulu dididik di kembaga-lembaga pendidikan yang didanai oleh Arab Saudi,” ujar Gus Najih.
Menurut dia, Taliban mendapatkan pelatihan militer justru dari CIA (Central Intelligence Agency). “Sebetulnya, sampai sekarang pun CIA masih bisa memegang orang-orang Taliban, sebagaimana dikatakan Kiai As’ad Said Ali (mantan Wakil Kepala BIN),” sambungnya.
Ketiga, sama-sama mempunyai visi Negara Islam. “Dua-duanya sama, hanya ISIS negara Islamnya transnasional, kalau Taliban lokal,” ungkap Gus Najih.
Keempat, kedua kelompok ini sama-sama suka menggunakan kekerasan dan teror dalam mencapai tujuan.
Kelima, dalam hal memahami teks agama, dua-duanya sangat tekstual.
“Termasuk dalam hukum qishas, masih menerapkan hukum potong tangan, hukum rajam dan seterusnya,” terang penulis buku Bid’ah Ideologi ISIS: Catatan atas Penistaan ISIS terhadap Hadis (2017) itu.
Keenam, menggunakan narasi memerangi kafir. Ketujuh, mengeliminasi peran perempuan. Di Afghanistan, perempuan dijadikan budak dan diperdagangkan. Di tangan Taliban, perempuan menjadi kelompok terpinggirkan.
“Terbukti, Taliban membatasi peran-peran perempuan di ruang publik: tidak boleh sekolah dan seterusnya. Kemudian juga memposisikan perempuan di belakang laki-laki saat berjalan,” jelas Sekjen Ikatan Alumni Syam Indonesia (ALSYAMI) ini.
“Mereka juga tidak menganggap eksistensi anak perempuan. Orang Afghanistan kalau punya anak lima, misalnya, yang dua perempuan, ketika ditanya anaknya berapa, dia bilang tiga. Hanya menghitung laki-laki, yang perempuan tidak,” imbuhnya.
Dari persamaan itulah, banyak pihak yang mengkhawatirkan eksistensi Taliban, terlebih semenjak mereka menguasai Afghanistan.
“Meski beberapa letupan konflik antara Taliban terjadi akhir-akhir ini, tetapi kerja sama dan persamaan-persamaan itu memang ada,” terang Gus Najih. Ia menambahkan, perbedaan di antara keduanya yaitu Taliban lebih permisif. Dalam arti berteman baik dengan Syi’ah dan Komunis. Seperti saat perayaan Hari Asyura yang digelar beberapa waktu lalu.
“Taliban menghadiri perayaan Syi’ah, yaitu Hari Asyura’. Kemudian Taliban juga berkawan dekat dengan komunis, baik Tiongkok maupun Rusia,” ungkap alumnus Universitas Kuftaro Damaskus, Suriah, itu.
Hal itu berbeda dengan ISIS yang justru relatif permisif terhadap Israel.
“ISIS saat berkuasa selama 2014-2019 di Irak dan Suriah, tidak pernah sekali pun berkonfrontasi dengan Israel. Satu peluru dari ISIS belum pernah sampai Israel, padahal ISIS mempunyai semua senjata,” pungkasnya. (Musthofa Asrori/NU Online)