Taliban 2.0 dan Inkonsistensi Salafi; Alasan Mengapa Indonesia Harus Tegas Melawan Mereka
By: Ahmad Khoiri
Dikuti dari harakatuna.com, fawad Andarabi, penyanyi folk Afghanistan, dibunuh Taliban. Penembakan yang terjadi di provinsi Baghlan Utara tersebut disebabkan larangan musik karena, bagi Taliban, ia haram, tidak islami. Ini adalah satu bukti inkonsistensi Salafi: Taliban berjanji menjadi moderat. Benar kata Subhan Setowara, semua omongan Taliban adalah lip service, bualan menjijikkan dari kelompok tak berperikemanusiaan. Lalu, apakah Salafi di Indonesia juga seperti itu?
Persis. Tapi sebelum ke Salafi yang ada di Indonesia, penting dibahas tentang fakta Taliban terkini. Beberapa pengamat menjulukinya sebagai Taliban 2.0 karena mereka tidak sekolot dulu. Dulu, mereka melarang segala bentuk alat elektronik karena produk kafir. Sekarang, mereka berlomba-lomba menggunakannya sebagai penebar propaganda. Taliban 2.0 sudah canggih, namun itu artinya, mereka sudah tak konsisten dengan doktrin ideologinya sendiri.
Inkonsistensi inilah yang akan disorot di sini. Sebagai kaum Salafi, Taliban sangat cukup menjadi contoh bahwa semua Salafi sama dengan mereka; sok paling benci bid’ah tapi sikapnya sendiri banyak tidak sesuai ajaran Nabi, sok anti produk kafir tapi mereka jauh lebih tamak dengan itu. Terakhir, mereka mengklaim paling berpegang teguh pada Islam. Padahal apalagi terhadap Islam, terhadap ideologinya sendiri mereka tidak teguh pendirian.
Di Indonesia, Abdul Qadir Jawwas teriak-teriak bid’ah menggunakan mikrofon buatan—orang yang mereka anggap—kafir. Ja’far Umar Thalib mengharamkan politik tapi ingin mendirikan negara Islam—yang jelas-jelas itu cita politik. Seluruh kaum Salafi juga begitu. Mereka sedang menciptakan apa yang oleh Noorhaidi Hasan disebut sebagai “enklaf”. Pada faktanya, mereka semua tidak kuasa menolak modernitas, meski mulutnya sampai berbusa menentangnya.
Lalu mengapa pemerintah Indonesia harus tegas dengan inkonsistensi Salafi? Karena inkonsistensi tersebut adalah bagian dari strategi, yang dari strategi tersebut keinginan bisa tercapai. Mereka berdalih misalnya, “negara ini dan system politiknya syirik, bid’ah, kafir,” lalu menimpali, “karena itu kita Salafi perlu merebutnya ke Islam ideal”. Jargon salafusshaleh tidak lebih dari bualan, sebab faktanya mereka lebih barbar dan berjiwa perusak.
Inkonsistensi Dakwah Salafi
Salah satu alasan mengapa Taliban bukanlah partai politik yang mudah berkompromi adalah karena kuatnya latar ideologis di setiap pasukannya. Hal ini juga yang melatarbelakangi pecah kongsi, ketidakpastian Afghanistan, di tangan mereka. Sementara itu, di Indonesia, Jemaah Islamiyah sebagai teroris dari kaum Salafi, berideologi sama dengan Taliban, juga tidak mengenal kompromi politik. Tidak ada tawar-menawar bagi mereka.
Artinya apa? Artinya, ancaman utamanya bukan pada Taliban atau Jemaah Islamiyah, melainkan pada ideologi itu sendiri. Dalam hal ini, Salafi sebagai ideologi mereka menjadi kunci perjuangan yang tidak saja melegitimasi kekerasan bahkan pembunuhan, tapi juga mendorong mereka menghalalkan segala cara untuk tujuan yang diklaim islami. Perampokan, penipuan, bahkan narkotika adalah patronasi ideologi Salafi tersebut.
Orang boleh berargumen bahwa di Indonesia tidak ada Taliban. Anggapan demikian dilatari ketidakpahaman terhadap ideologi, yakni gagal memosisikan Taliban maupun Jemaah Islamiyah sebagai ideologi aktif dan menganggapnya nomenklatur belaka. Dalam konteks sebagai ideologi tersebut, Salafi menjadi ancaman di bidang dakwah. Para jemaah dibuat mabuk: merasa paling saleh dan benar, yang pada ujungnya juga akan jadi teroris.
Sementara itu, inkonsistensi Salafi bermain di ruang dialektis antara kepentingan kelompok, tuntutan ideologi, dan represi pemerintah. Pemerintah memang menerbitkan sejumlah kebijakan, terutama sertifikasi penceramah. Namun kebijakan tersebut bukan hanya tidak efektif, melainkan tidak berjalan sesuai yang diinginkan. Di tengah ketidakjelasan kebijakan, mereka terus bergerilya di masjid mal-mal atau apartemen yang teralienasi dari sorotan.
Satu sisi, mereka menentang pemerintahan yang dianggap thaghut, tapi di sisi lainnya mereka seolah berkoalisi agar selamat dari jeratan kebijakan. Fakta ini tidak terjadi pada oknum, sebab Salafi memang tidak sebersih kelihatannya, kecuali bahwa mereka berkamuflase dengan narasi yang inkonsisten. Inkonsistensi Salafi, sekali lagi, merupakan budaya enklaf yang berusaha membangun tembok moralitas dengan Kalangan yang dianggap menyimpang. Melalui inkonsistensi itu pula, potensi mereka merusak cukup besar.
Salafi Perusak Bangsa
Taliban 2.0 bercita-cita membangun negara seperti Iran, melalui The Islamic Emirate of Afghanistan. Tetapi dengan alasan tuntutan ideologi, mereka tidak akan bisa semaju Iran: sejak dulu, Syiah selalu dipojokkan oleh Salafi sebagai kalangan yang sesat dan menyesatkan. Ini adalah inkonsistensi lain dari serangkaian politik oportunis mereka. Dari segala sisi, ideologi maupun politik, mereka tidak bisa dipercaya. Pemerintah Indonesia harus menyadari hal ini.
Pada fakta bahwa kebijakan pemerintah selama ini, melalui sertifikasi ulama misalnya, tidak efektif bahkan tidak berjalan, apa yang harus dilakukan? Satu-satunya jalan adalah penguatan narasi wasathiyah Islam yang, ironinya, juga belum banyak mengambil peran untuk memberangus Salafi. Tidak hanya itu, justru hari ini lahir consensus bahwa wasathiyah tersebut inheren dalam Salafi, sehingga untuk menjadi moderat, seseorang diajak ikut Salafi dulu.
Kepelikan menanggulangi ideologi selalu punya satu ruang optimisme, yaitu kesadaran publik akan kepalsuan mereka—bahwa Salafi bergerak di medan yang inkonsisten. Di luar bilang A, di dalam bilang B. Di ceramah bilang A, di lapangan bilang B. Bagaimana tidak dikata merusak bangsa, jika akibat dari hal tersebut ialah lahirnya percekcokan antarumat Islam. Jemaah baru Salafi menjadi beringas; semakin mengklaim hijrah, semakin mudah menyesatkan orang tak sepaham.
Semua ini menjadi alas an mengapa pemerintah Indonesia harus tegas melawan mereka. Mereka, yang mengklaim ikut salafusshaleh, adalah para pendusta yang sejatinya mengikuti ideologi dan nafsunya sendiri. Taliban dan kekejamannya cukup menjadi sampel, sekalipun sekarang mereka melek teknologi, justru menggunakannya untuk propagandanya sendiri. Jemaah Islamiyah yang brutal juga merupakan bukti atas urgensitas kontra-propaganda.
Terakhir, jika masih belum yakin, berikut singkat katanya. Orang Salafi di Indonesia memang tidak membenarkan teror. Tapi utopia keberagamaan mereka membuatnya mengidolakan kelompok teror tersebut: Taliban, atau teroris Al-Qaeda, ISIS, dan Jemaah Islamiyah. Pembahasan ini di luar strategi politik dan pendanaan, sebatas di tataran ideologi. Namun demikian, cukup dari ruang ideologi saja, pada akhirnya mereka akan benar-benar merusak bangsa.
Seperti Taliban 2.0 yang memanfaatkan teknologi sebagai media propaganda, Salafi di Indonesia akan melakukan apa saja untuk dakwah keberlangsungan ideologi mereka, bahkan jika itu harus membuat mereka terjerumus inkonsistensi; enklaf dan hipokrisi. Apakah itu layak dibiarkan begitu saja?
Wallahu A’lam bi ash-Shawab…