ARAB DIGARAP, BARAT DIRUWAT, JOWO DIGOWO
oleh Shuniyya Ruhama
Ungkapan ini sebenarnya sudah turun temurun diajarkan oleh para Ulama di Nusantara. Hanya saja, nilai-nilai ini sudah terasa mulai luntur. Banyak generasi muda yang mulai menganggap bahwa Barat itu kafir, Arab itu pasti Islam, sedangkan Jawa itu jahiliyah.
Sehingga kita saksikan mulai bermunculan generasi-generasi ahistoris yang tidak bersyukur bahwa mereka mengenyam hidayah serta hidup damai di bumi Nusantara karena peran Ulama dan nenek moyang yang mengajarkan kearifan tersebut.
ARAB DIGARAP
Tidak bisa dipungkiri bahwa Nabi Muhammad SAW berasal dari Arab. Al Quran dan Al Hadits juga disusun dalam bahasa Arab. Agama Islam disebarkan pada generasi awalnya juga dengan bahasa Arab.
Semua ritual ibadah wajib juga dilakukan dengan bahasa Arab. Bacaan Al Quran, bacaan sholat, dan banyak lainnya tetap dipertahankan dengan bahasa Arab, sesuai ketika diturunkannya. Jadi tidak mungkin umat Islam di Indonesia anti Arab. Anggapan ini sungguh naïf dan tidak masuk akal.
Ulama Nusantara memisahkan antara ajaran Islam dengan budaya Arab. Ajaran Islam inilah yang diambil ruhnya dan dijadikan tata inti dalam menjalankan syariat di Nusantara. Sedangkan bagian artifisial secara fisik adalah urusan pribadi masing-masing perorangan. Jadi tidak menganut budaya Arab bukan berarti anti Islam dan bertentangan dengan ajaran Islam.
BARAT DIRUWAT
Budaya Barat telah mendunia mencengkeram segala generasi. Mau tidak mau kita semua bersinggungan secara intensif dengan dunia Barat. Harus diakui ada budaya Barat yang sangat bertentangan dengan nilai-nilai budaya Nusantara.
Misalnya budaya materialis yang mengukur segala sesuatu dengan uang dan nilai kebendaan semata. Juga budaya hedonis yang mengagung-agungkan foya-foya berlebihan mengejar kepuasan duniawi sesaat.
Namun, dalam kenyataannya, ada nilai Barat yang harus kita akui, misalnya semangat memecahkan dan menemukan ilmu pengetahuan dan teknologi baru, kedisiplinan, dan kemandirian.
Kita harus belajar banyak dari Barat dalam hal ini. Mbah Wali Gus Dur memberi arahan: ambil ilmu pengetahuan dan teknologinya, tolak ajarannya. Kita juga mengenal istilah: "Think Global, Style Local".
JOWO DIGOWO
Setiap Umat pasti pernah dianugerahi Nabi oleh Gusti Allah. Namun, hanya ajaran Nabi Muhammad SAW yang kita yakini dijamin penjagaannya oleh Gusti Allah hingga hari kiamat. Artinya, kita orang Jawa (Nusantara pada umumnya) pasti pernah memiliki Nabi.
Jadi, kita ini bukan bangsa bodoh yang tidak pernah dibimbing oleh wahyu Ilahi. Islam datang ke Jawa tidak untuk mengubah budaya, karena kita sudah Islami (melalui Nabi di masa lalu). Dalam hal ketauhidan cukup dikenalkan syahadat Tauhid dan syahadat Rosul Akhir Jaman SAW.
Selebihnya, terjadilah asimilasi dan akulturasi yang apik antara ruh Islam dan budaya Jawa. Sebab, antara Budaya Jawa dan ajaran Islam, banyak sekali yang sinkron, sehingga tidak perlu dibuang secara keseluruhan. Saling menyesuaikan, saling mengisi dan saling berintegrasi.
Banyak institusi budaya Jawa yang dipertahankan dan dimasuki ruh Islam, sehingga syariat hidup berkembang tanpa paksaan. Hingga kini, ketika kita sedang membicarakan budaya Jawa, sebenarnya kita sedang membicarakan agama Islam secara substansial, secara hakikat.
Karena ajaran Islam telah melebur sehingga syariat bisa ditegakkan sesuai panggilan hati, dilaksanakan sesuai kemampuan dan maqom masing-masing kaum Muslimin, tidak diperlukan lagi formalisasi dalam penegakakannya.
Akhirnya, sebagai Muslim di Nusantara, kita harus tetap menghormati Arab sebagai tempat tumbuh dan berkembangnya agama Islam beserta segala perangkatnya. Sebagai bagian dari pergaulan internasional kita harus bisa terbuka dengan segala yang datang dari Barat, kita ambil yang baik, kita buang yang buruk. Sebagai orang Jawa (Nusantara), kita harus tetap membumi dimana kita ada dan mengada.
Salam cinta NKRI..
Garuda di dadaku, Lintang Songo di hatiku..