Aqidah Kontradiktif Wahabi Salafi tentang Turunnya Tuhan - HWMI.or.id

Monday 29 August 2022

Aqidah Kontradiktif Wahabi Salafi tentang Turunnya Tuhan

Oleh : Gus AWA

Dinyatakan dalam suatu hadits shahih bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:

يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرُ يَقُولُ: مَنْ يَدْعُونِي، فَأَسْتَجِيبَ لَهُ مَنْ يَسْأَلُنِي فَأُعْطِيَهُ، مَنْ يَسْتَغْفِرُنِي فَأَغْفِرَ لَهُ 

Tuhan kita yang Maha Agung dan Maha Tinggi turun setiap malam ke langit dunia ketika telah tersisa sepertiga malam terakhir. Ia berfirman: Siapakah yang berdoa kepadaku, maka aku akan mengabulkannya, Siapa yang meminta kepadaku, maka aku akan memberikannya. Siapa yang memohon ampun kepadaku maka akan Aku ampuni.

(HR. Bukhari-Muslim) 

Telah dibahas sebelumnya dalam artikel berjudul “Makna ‘Allah Turun ke Langit Dunia di Sepertiga Malam Terakhir’” bahwa menurut Ahlussunnah Wal Jamaah, kata “turun” dalam hadits itu tidak mungkin dimaknai secara hakikat dalam arti pergerakan Dzat Allah dari tempat yang lebih tinggi ke tempat yang lebih rendah sebab Allah bukanlah jisim sehingga keberadaan-Nya tidaklah terbatas (tahayyuz) dalam ruang. 

Penafsiran Ahlussunnah tersebut cocok sepenuhnya dengan berbagai dalil lainnya tentang sifat Allah dan sama sekali jauh dari kontradiksi.

Berbeda dengan itu, beberapa tokoh modern dari kalangan pendaku Salafi mengutarakan pendapat yang berbeda dan kontradiktif. Salah satunya adalah Syekh Ibnu Utsaimin yang dalam kitabnya menyatakan:

نزوله تعالى حقيقي ... ونقول: ينزل ربُّنا إلى السماء الدنيا، وهي أقرب السماوات إلى الأرض، والسماوات سبع، وإنما ينزل عزَّ وجلَّ في هذا الوقت من الليل للقرب من عباده جل وعلا ... أن المراد بالنزول هنا نزول الله نفسه  

“Turunnya Allah adalah secara hakikat (turun dalam makna bukan kiasan)… Kami berpendapat bahwa Tuhan kita turun ke langit dunia, langit tersebut adalah langit terdekat ke bumi, sedangkan jumlah langit ada tujuh.

Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla turun di waktu ini tak lain karena agar dekat dari para hamba-Nya. … bahwa yang dimaksud dengan turun di sini adalah turunnya Allah sendiri." 

(Syarh al-‘Aqîdah al-Wâshithiyah, juz II, halaman 13-14).

Jadi, dia menafsirkan hadits tersebut sebagai turun dalam makna hakikat. Makna hakikat ini dia perjelas maksudnya adalah sebuah tindakan dari Allah untuk mendekat. 

Pernyataan ini tak bisa dimaknai lain selain dalam arti bahwa Allah bergerak sehingga jarak antara Allah dan para hamba-Nya semakin pendek; dari awalnya di atas langit ke tujuh menuju ke langit terdekat dari bumi (langit dunia). 

Di samping itu, ia menyatakan dengan amat jelas bahwa yang turun adalah Allah sendiri, bukan turunnya malaikat, kasih sayang atau urusan Allah.

Syekh Ibnu Utsaimin tahu betul argumen ulama Ahlussunnah yang menyatakan bahwa makna turun adalah pergerakan (harakah wa intiqâl) sedangkan pergerakan adalah sifat baru dan Allah maha suci dari sifat-sifat baru sehingga harusnya hadits di atas tidak dimaknai secara literal. 

Menurutnya, argumen semacam ini adalah perdebatan yang bathil (jidâl bi al-bâthil) yang tak menghalangi dari hakikat turunnya Allah (nuzûl). Alasannya, para sahabat tak pernah mengatakan seperti ini sehingga yang mengatakannya dianggap seolah lebih tahu dari para sahabat. (Lihat: Syarh al-‘Aqîdah al-Wâshithiyah, juz II, halaman 15). 

Selanjutnya, Syekh Ibnu Utsaimin menegaskan makna turun yang dia maksud sebagai berikut:

فنقول: ينزل، لكنه عال عزَّ وجلَّ على خلقه؛ لأنه ليس معنى النزول أن السماء تُقِلُّه، وأن السماوات الأخرى تظلُّه؛ إذ إنه لا يحيط به شيء من مخلوقاته.

“Kami berkata: Allah turun, tetapi Ia Maha Tinggi di atas seluruh makhluknya, sebab sesungguhnya makna turun bukanlah dalam arti bahwa langit menyangganya sedangkan beberapa langit lain menaunginya karena Allah tak diliputi oleh satupun dari makhluk-Nya.” (Syarh al-‘Aqîdah al-Wâshithiyah, juz II, halaman 15).

Tampak sekali kontradiksi antara pernyataan sebelumnya yang mengatakan turun dalam arti sebenarnya ke langit dunia yang terendah, dengan pernyataan terakhir bahwa turun bukan dalam arti berada di bawah langit yang lebih tinggi. 

Pernyataan semacam ini tak dapat dipahami oleh akal sehat mana pun sebab secara rasional bila Allah disebut turun dalam arti sebenarnya, maka itu berarti Ia menuju ke tempat di mana enam langit berada di atasnya dan satu langit terendah, yakni langit dunia, berada tetap di bawahnya. 

Bila maknanya ternyata bukan demikian, berarti itu bukanlah makna hakikat yang dimengerti oleh manusia tetapi makna kiasan (takwil) atau memasrahkan makna hakikatnya kepada Allah semata (tafwîdh). 

Anehnya, Syekh Ibnu Utsaimin menolak keras takwil ataupun tafwidh sehingga penjelasannya di atas sama sekali tak bisa dipahami.

Makin kontradiktif lagi ketika Syekh Ibnu Utsaimin dan banyak tokoh pendaku salafi lainnya di satu sisi menegaskan bahwa Allah berada di atas Arasy secara hakikat setiap saat tetapi juga turun ke langit dunia yang mengalami sepertiga malam terakhir setiap saatnya juga secara hakikat. 

Ungkapan seperti ini sama sekali tak dapat dimengerti sebab ini berkaitan dengan Dzat Allah dan dua tempat fisikal yang berbeda. Lain halnya bila kasusnya adalah tindakan Allah (af’âl), semisal Allah dapat memberi rezeki seluruh makhluk dalam waktu bersamaan, dapat menghitung amal perbuatan seluruh manusia dan jin di akhirat secara bersamaan, dan perbuatan lainnya dari Allah. 

Perbuatan Allah atau af’âl bisa beragam dan serentak dalam satu waktu sebab Allah Maha Berkuasa, tetapi tentu saja berbeda halnya dengan Dzat Allah yang secara pasti dan meyakinkan hanya ada satu dan tak bertempat pula.

Sayangnya, penjelasan manusia bukanlah seperti ayat suci yang apabila tak bisa dinalar lantas tetap diimani tanpa dibahas. Akan tetapi, seluruh penjelasan tak masuk akal dari manusia selain Nabi mesti ditolak dan diabaikan, apalagi bila berkaitan dengan aqidah. 

Adapun argumennya bahwa pembahasan seperti ini adalah kebatilan sebab tak pernah dibahas oleh para Sahabat merupakan argumen yang rapuh. Betapa banyak pembahasan yang tak ada di masa Sahabat namun dibahas di masa berikutnya seiring tumbuhnya ilmu pengetahuan di segala bidang.

Sebenarnya kontradiksi tersebut akan hilang apabila mereka mau membuang jauh-jauh kata “hakikat” itu sebagaimana Rasulullah dan para sahabat juga tak pernah memakainya. 

Namun, sepertinya mereka enggan melakukannya dan terus menerus memilih redaksi yang secara lahiriyah mengarah pada makna fisikal, meski mereka sendiri menolak disebut Mujassimah atau Musyabbihah. Wallahu a’lam.

Penulis:

Abdul Wahab Ahmad, Wakil Katib PCNU Jember & Peneliti di Aswaja NU Center PCNU Jember

Sumber : NU Online

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda