Berguru Kepada Nabi Dan Sahabat? Hati-hati Memilih Ustadz !! - HWMI.or.id

Tuesday 30 June 2020

Berguru Kepada Nabi Dan Sahabat? Hati-hati Memilih Ustadz !!



Berdasarkan dalil ada beberapa ulama yang dapat bermimpi berjumpa dengan Rasulullah shalallahu alaihi wasallam, berbicara dengan Nabi dan dapat memberi ilmu atau petunjuk. Seperti dikutip oleh Imam Muslim:

ﻗﺎﻝ ﻋﻠﻲ ﺑﻦ ﻣﺴﻬﺮ : «ﺳﻤﻌﺖ ﺃﻧﺎ ﻭﺣﻤﺰﺓ اﻟﺰﻳﺎﺕ ﻣﻦ ﺃﺑﺎﻥ ﺑﻦ ﺃﺑﻲ ﻋﻴﺎﺵ ﻧﺤﻮا ﻣﻦ ﺃﻟﻒ ﺣﺪﻳﺚ»، ﻗﺎﻝ ﻋﻠﻲ: ﻓﻠﻘﻴﺖ ﺣﻤﺰﺓ، ﻓﺄﺧﺒﺮﻧﻲ «ﺃﻧﻪ ﺭﺃﻯ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻓﻲ اﻟﻤﻨﺎﻡ، ﻓﻌﺮﺽ ﻋﻠﻴﻪ ﻣﺎ ﺳﻤﻊ ﻣﻦ ﺃﺑﺎﻥ، ﻓﻤﺎ ﻋﺮﻑ ﻣﻨﻬﺎ ﺇﻻ ﺷﻴﺌﺎ ﻳﺴﻴﺮا ﺧﻤﺴﺔ ﺃﻭ ﺳﺘﺔ»

Ali bin Mushir berkata: “Saya dan Hamzah Zayyat mendengar dari Aban bin Abi Ayyasy sebanyak 1000 hadis”. Ali berkata bahwa ia bertemu dengan Hamzah dan memberi kabar bahwa Hamzah melihat Nabi shalla Allahu alaihi wasallam dalam mimpi. Hamzah memperlihatkan hadis yang ia dengar dari Aban kepada Nabi. Maka Nabi hanya mengetahui sedikit saja, 5 atau 6 hadis” (Sahih Muslim).

Lalu apakah semua orang bisa mengaku berguru kepada Nabi? Tunggu dulu. Tidak bisa begitu.

Ilmu yang diperoleh dari guru ada yang harus berjumpa dengan guru. Seperti ilmu baca Al Qur’an yang disampaikan oleh Al Hafidz Jalaluddin As-Suyuthi:

ﻭﻻ ﺷﻚ ﺃﻥ اﻷﻣﺔ ﻛﻤﺎ ﻫﻢ ﻣﺘﻌﺒﺪﻭﻥ ﺑﻔﻬﻢ ﻣﻌﺎﻧﻲ اﻟﻘﺮﺁﻥ ﻭﺇﻗﺎﻣﺔ ﺣﺪﻭﺩﻩ ﻫﻢ ﻣﺘﻌﺒﺪﻭﻥ ﺑﺘﺼﺤﻴﺢ ﺃﻟﻔﺎﻇﻪ ﻭﺇﻗﺎﻣﺔ ﺣﺮﻭﻓﻪ ﻋﻠﻰ اﻟﺼﻔﺔ اﻟﻤﺘﻠﻘﺎﺓ ﻣﻦ ﺃﺋﻤﺔ اﻟﻘﺮاء اﻟﻤﺘﺼﻠﺔ ﺑﺎﻟﺤﻀﺮﺓ اﻟﻨﺒﻮﻳﺔ

Tidak diragukan lagi bahwa Umat Islam sebagaimana diperintah untuk memahami kandungan Al Qur’an dan mendirikan aturan yang terdapat dalam Al Qur’an, mereka juga diperintah untuk membetulkan bacaan Qur’an dan huruf-hurufnya dengan cara bertemu dengan para imam ilmu qiraah yang (sanadnya) bersambung dengan Nabi (Al-Itqan, 1/346)

Jika ada orang yang mengaku langsung belajar kepada Rasulullah shalallahu alaihi wasallam dan para Sahabat, sudah pasti sanadnya terputus.

Jika tidak berjumpa dengan Nabi dan para Sahabat namanya belajar otodidak. Berguru kepada buku. Tanpa bimbingan guru. Dalam pandangan para ulama kita disebut Shahafi.

Pengertian Shahafi atau otodidak adalah sebagai berikut:

(الصَّحَفِيّ) مَنْ يَأْخُذُ الْعِلْمَ مِنَ الصَّحِيْفَةِ لاَ عَنْ أُسْتَاذٍ

“Shahafi (otodidak) adalah orang yang mengambil ilmu dari kitab (buku), bukan dari guru” (Mu’jam al-Wasith I/508)

Masalah otodidak ini sudah ada sejak lama dalam ilmu hadis. Al-Hafidz Ibnu Hajar mengomentari seseorang yang otodidak berikut ini:

فَإِنَّهُ (اَيْ أَبَا سَعِيْدِ بْنِ يُوْنُسَ) كَانَ صَحَفِيًّا لاَ يَدْرِي مَا الْحَدِيْثُ

“Abu Said bin Yunus adalah orang otodidak yang tidak mengerti apa itu hadis.” (Tahdzib al-Tahdzib VI/347)

Al-Hafidz Adz-Dzahabi berkata:

يَقُوْلُ الدَّارِمِي مَا كَتَبْتُ حَدِيْثًا وَسَمِعْتُهُ يَقُوْلُ لاَ يُؤْخَذُ الْعِلْمُ مِنْ صَحَفِيٍّ

“Ad-Darimi (ahli hadis) berkata: Saya tidak menulis hadis (tapi menghafalnya). Ia juga berkata: Jangan mempelajari ilmu dari orang yang otodidak.” (Siyar A’lam an-Nubala’, karya adz-Dzahabi, 8/34).

Para ulama kita terdahulu dalam mencari ilmu sampai antar negara yang mereka lintasi hanya untuk belajar. Mereka menempuh puluhan tahun untuk menjadi orang berilmu. Di Indonesia, para kyai kita juga menjalani perjalanan ilmu yang sama.

Di pesantren mereka telah belajar agama sejak dasar, belajar ilmu alat, kemudian meningkat ke ilmu fikih, tafsir, hadis dan lainnya. Baru memasuki jenjang yang lebih tinggi.

Ada kalanya ke Al-Azhar Mesir, ke Yaman, ke Syuriah, ke Arab menuju mencari ulama Aswaja seperti Sayid Muhammad bin Alawi al-Maliki, Syekh Ismail Al Yamani dan lainnya. Baru kembali ke tanah air menjadi seorang guru dan ustadz.

Saat ini, di zaman yang serba instan, tiba-tiba ada orang yang tidak pernah belajar Islam dengan seketika insaf kemudian belajar secara otodidak tanpa guru, anehnya mengaku berguru kepada Nabi dan Sahabat, maka ajarannya bisa dipastikan tidak sesuai dengan ilmu yang telah diajarkan oleh Nabi kepada para penerusnya dengan cara bertemu secara langsung.

KH.Ma'ruf Khozin:
Direktur Center PWNU Jatim
(Pecihitam.org)

www.hwmi.or.id

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda