Hizbut Tahrir, Partai Politik Liberal Berkedok Islam. - HWMI.or.id

Friday 19 June 2020

Hizbut Tahrir, Partai Politik Liberal Berkedok Islam.



Membuka Selubung Liberal dalam Ideologi Hizbut Tahrir
 
Diantara ciri khas pemikiran Liberal adalah menghilangkan otoritas ulama. Menurut kelompok liberal, kita tidak perlu taklid kepada para Ulama, mereka manusia, kami juga manusia dan sama-sama bisa berpikir. Mengikuti pendapat para ulama berarti pengebirian akal yang kami miliki.

Demikian kaum liberal berpikir, karenanya tidak aneh jika dalam setiap diskusi, baik yang bersifat polemis di media massa dan buku-buku, maupun diskusi dialogis dalam forum debat terbuka, mereka menolak pendapat para ulama. Sementara ciri khas kaum Muslimin Ahlussunnah wal Jamaah adalah memberikan penghargaan yang tinggi terhadap para ulama serta otoritas penuh dalam penafsiran teks-teks keagamaan.

Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam bersabda,“Para ulama itu pewaris para nabi. (HR. Ibn Asakir dan Ibn al-Najjar).

Apabila para ulama berposisi sebagai pewaris para nabi, tentu saja otoritas mereka dalam penafsiran teks-teks harus dijunjung tinggi dan diikuti oleh umat Islam. 

Dalam hadits lain, Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam bersabda: Laisa minna man lam yu’thi li alimina haqqahu (Bukan termasuk golongan kami, orang yang tidak memberikan otoritas terhadap ulama diantara kami). (HR. Ahmad dan al-Hakim dalam al-Mustadrak).

Para pakar bersepakat bahwa diantara ciri khas liberalisme adalah menolak otoritas ulama. Karena dengan penolakan tersebut akan melahirkan penafsiran yang sembarangan dan ngawur terhadap teks-teks agama. Lebih-lebih ketika penafsiran mereka dilatarbelakangi oleh motif hawa nafsu dan kepentingan pemikiran liberalisme.

Dewasa ini ada kelompok yang sangat militan,tetapi juga menyemaikan paradigma liberalisme tanpa sadar, yaitu kelompok Hizbut Tahrir. Meskipun secara lahiriah, Hizbut Tahrir selalu berseberangan dengan kaum liberal di tanah air, tetapi sebenarnya paradigma liberalisme telah merasuki ajaran Hizbut Tahrir tanpa sadar dengan menghapus otoritas ulama. 

Penghapusan otoritas ulama telah dikatakan oleh pendiri Hizbut Tahrir, Syaikh Taqiyyuddin al-Nabhani dalam kitab at-Tafkir, hal. 149 sebagai berikut:

متى أصبح قادرًا على الاستنباط فإنه حينئذ يكون مجتهدًا، ولذلك فإن الاستنباط أو الاجتهاد ممكن لجميع الناس، وميسر لجميع الناس ولا سيما بعد أن أصبح بين أيدي الناس كتب في اللغة العربية والشرع الإسلامي ، – كتاب التفكير ص/149
“Sesungguhnya seseorang apabila telah mampu melakukan istinbath, maka ia sudah menjadi mujtahid. 

Oleh karena itu sesungguhnya istinbath atau ijtihad itu mungkin dilakukan oleh semua orang dan mudah dicapai oleh siapa saja yang menginginkan lebih-lebih setelah buku-buku bahasa Arab dan buku-buku syariat Islam telah tersedia dihadapan banyak orang dewasa ini” (at-Tafkir hal.149).

Perkataan ini mengesankan terbukanya kemungkinan untuk berijtihad meskipun dengan modal pengetahuan yang sedikit.

Ajakan ijtihad oleh pendiri Hizbut Tahrir tersebut terhadap siapa saja yang ingin menjadi mujtahid, secara tidak langsung merupakan pembunuhan terhadap otoritas ulama yang ditetapkan oleh al-Quran dan Sunnah serta telah menjadi pola keagamaan kaum Muslimin sepanjang masa. 

Pembunuhan otoritas ulama berarti mengadopsi paradigma liberal secara kasat mata. 

Karena itu, tidak aneh, jika kemudian kita dapati fatwa-fatwa Hizbut Tahrir yang menyimpang dari ajaran Islam, seperti membolehkan ciuman dengan wanita yang bukan muhrim, boleh menonton film porno, bahkan ada juga yang sempat berpendapat bahwa shalat, zakat dan kewajiban lainnya itu tidak wajib selama khilafah belum berhasil ditegakkan. Hal ini merupakan akibat pembukaan kran ijtihad seluas-luasnya oleh sang pendiri Hizbut Tahrir, yang merupakan ciri khas paradigma liberal.
 
Kemudian dalam berbagai tulisan, tidak aneh jika kita dapati para aktivis Hizbut Tahrir yang sebelumnya malas belajar agama kepada para ulama, namun kemudian mereka menafsirkan teks agama dengan logikanya sendiri serta dengan menolak penafsiran para ulama yang otoritatif dalam setiap bidangnya. Hal ini terjadi dalam penafsiran al-Quran, hadits dan hukum-hukum fiqih. 

Liberal dan Hizbut Tahrir pada intinya tidak ada bedanya dalam paradigma pemikiran, hanya saja, Liberal menolak otoritas ulama secara terang-terangan dan tidak sopan, sementara Hizbut Tahrir menolak otoritas ulama dengan terselubung dan tanpa sadar di belakang tameng terbukanya pintu ijtihad selebar-lebarnya kepada siapapun. Wallahu a’lam.

Oleh: Ustadz Bahrur Roesyid, Aktivis Bahtsul Masail PCNU Jember

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda