Dua Jenis Ustadz - HWMI.or.id

Thursday 16 July 2020

Dua Jenis Ustadz







An-nas ajnas, peribahasa Arab ini benar maknanya, bahwa manusia itu banyak jenisnya. Ustadz (yang di Mesir berarti Profesor) di negeri kita jenisnya juga beraneka ragam. Minimal terbagi dua, pertama, ustadz asli yang benar-benar mendalam ilmunya dan mengamalkannya, dan yang kedua ustadz gadungan, yaitu mereka yang sok tahu agama dan seringkali memperturutkan hawa nafsunya dalam menjelaskan agama demi mencari keuntungan dunianya.

Kata "ustadz" yang semula berasal dari Bahasa Persia, lalu diserap ke dalam Bahasa Arab dengan makna "orang yang mengetahui sesuatu ( العالم بالشيء )", sebagaimana telah dijelaskan secara singkat oleh al-Syaikh Dahlan al-Jampesi al-Kediri dalam Siraj al-Thalibin, sebuah kitab yang terdiri dari dua jilid besar, masing-masingnya terdiri dari ratusan halaman, yang merupakan syarah (komentar penjelas) atas kitab dalam disiplin ilmu tashawwuf, Minhaj al-'Abidin,  yang ditulis oleh al-Imam al-Ghazali al-Thusi (450 H. - 505 H.).

Siapa yang berjuluk "ustadz" dengan demikian seharusnya sudah pernah malang melintang dalam dunia pencarian ilmu sehingga menjadi spesialis dalam disiplin ilmu yang benar-benar dikuasainya. Sehingga kelak apa saja yang disampaikannya terutama yang berkaitan dengan ajaran agama benar-benar valid dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Bukan sebagaimana ustadz gadungan yang menyampaikan apa saja terkait ajaran agama  semaunya, bebas, mengikuti dorongan hawa nafsu demi motiv yang rendahan (duniawi) seperti popularitas, penumpukan harta benda, dan meraih kekuasaan.

Dunia per-"ustadz"-an kita memang amat memprihatinkan, selain tidak jelas ukuran dan kriterianya. Masyarakat awam begitu mudah menjuluki seseorang dengan gelar "ustadz", ditambah berjubelnya orang yang ambisius ingin dipanggil sebagai ustadz. Ujungnya, berserakan orang bergelar ustadz yang pada hakikatnya bukan ustadz.

Karena pada mereka belum bisa dibuktikan kedalaman ilmu agamanya dan sikap bijaksananya, tidak memiliki spesialisasi dalam disiplin ilmu agama, tidak jelas kepada siapa sebelumnya ia belajar ilmu agama, bicara apa saja semaunya, amat mudah dibuktikan kekeliruannya dengan standar ilmu, tidak memiliki referensi yang otoritatif sebagai pedoman dalam beragama, hanya bermodal al-Qur'an dan Terjemahnya dengan bermodal sedikit ayat dan sepotong hadis yang keliru-keliru membacanya dan salah banyak tafsirnya, telah berani menjawab semua pertanyaan yang diajukan kepadanya.

Akibatnya, salah paham dan paham yang salah tentang agama merata di mana-mana. Karena merekalah kehidupan manusia menjadi semakin gaduh, sehingga citra agama terpuruk, menjadi buruk, tidak bermanfaat bagi kemanusiaan, dan tidak pula membawa manfaat besar bagi kehidupan yang membahagiakan, baik di dunia maupun akhirat.

Karena mereka yang sok tahu agama itulah substansi agama menjadi padam, kehilangan "cahaya" penerang untuk menapaki jalan dalam belantara kehidupan.

KH.Ahmad Ishomuddin
(Rais Syuriah PBNU)

www.hwmi.or.id

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda