Indonesia Dalam Paradigma Baru Khilafah - HWMI.or.id

Saturday 1 August 2020

Indonesia Dalam Paradigma Baru Khilafah





INDONESIA DALAM PARADIGMA BARU KHILAFAH

Oleh Ayik Heriansyah
Pengurus LD PWNU Jabar

Indonesia negeri Islam yang berada di pinggiran kekhilafahan masa lalu. Negara Kesatuan Republik Indonesia berdiri 21 tahun setelah Khilafah Turki Utsmani runtuh. Indonesia berdiri ketika Turki telah menjadi negara sekuler yang bersekutu dengan Inggris. Oleh karena itu secara formal dan informal Indonesia tidak punya hubungan apapun dengan kekhilafahan Islam. Indonesia Negara yang otentik, original dan genuine. Indonesia terputus dari selama dua dekade dari kekhilafahan Islam terakhir. Indonesia asli 100% produk dalam negeri. 

Meskipun demikian symptom, atsar dan jejak khilafah masih ada di Indonesia hingga kini yang berhubungan dengan dakwah, kegiatan ilmiah kebudayaan dan ekonomi. Bukti-bukti sejarah yang berkaitan dengan politik dan kemiliteran antara Nusantara dan khilafah justru menunjukkan bahwa Nusantara bukan bagian dari khilafah. Ada dua video yang sempat diviralkan kaum radikal di media sosial tentang hubungan politik kesultanan di Nusantara dengan Khilafah Turki Utsmani. 

Pertama video tentang kesultanan Aceh yang meminta menjadi bagian integral dari Khilafah Turki Utsmani kepada Sultan Abdul Hamid II. Oleh Sultan, permintaan kesultanan Aceh ditolak Khilafah Turki Utsmani merasa tidak sanggup melindungi kesultanan Aceh disebabkan jangkauannya terlalu jauh. Kesultanan Aceh gagal menjadi bagian dari Khilafah Turki Utsmani. Video kedua tentang penunjukkan Kesultanan Ngajogjakarta sebagai wakil resmi Khilafah Turki Utsmani di pulau Jawa. Kesultanan Ngajogjakarta justru menjadi wilayah pertama NKRI setelah Sultan Hamengkubuwono IX memaklumatkan bergabung ke NKRI pada tanggal 5 September 1945. Ketika khilafah sudah tidak ada, wakil resmi Khilafah Turki Utsmani bergabung dengan NKRI. 

Symptom, atsar dan jejak khilafah di Nusantara memperkuat keabsahan historis NKRI sebagai sebuah negara yang syar’i karena dua kesultanan Islam di Nusantara, Aceh dan Ngajogjakarta, yang punya hubungan langsung dengan khilafah, bergabung dalam NKRI. Dengan kata lain NKRI inilah khilafah kita setelah Turki menjadi Negara sekuler. Akan tetapi perjalanan estafeta khilafah dari Turki ke Indonesia terganjal oleh paradigma lama tentang khilafah. Paradigma lama yang diyakini dan diperjuangkan kaum radikal. Paradigma selalu terkait dengan intepretasi. Paradigma bukan persoalan nash dan dalil melainkan permasalahan dalam memahami nash dan dalil. Interpretasi upaya ijtihadiyah sehingga muncul berbagai intepretasi yang secara objektif semuanya benar dan tetap memberi kesempatan subjektif untuk mengakui interpretasinya yang paling benar. 

Paradigma lama tentang khilafah beserta konsep-konsep derivasinya semisal imamah, khalifah, imamul a’zham, bai’at, jama’ah, mati jahiliyah, dsb sudah tidak memadai untuk diadopsi, diterapkan dan diperjuangkan. Paradigma lama yang sebenarnya lahir dari bias kepentingan politik suatu kelompok. Intepretasi atas nash dan dalil yang disesuaikan dengan kepentingan politik kelompok. Contohnya paradigma HTI, ISIS, Al-Qaeda dan Ikhwanul Muslimin. Keempat gerakan transnasional ini membayangkan khilafah adalah kepemimpinan tunggal umat Islam di seluruh dunia yang dipimpin oleh seorang khalifah. Slogan “satu umat satu negara.” HTI dan ISIS berpendapat bentuk negara khilafah adalah kesatuan (integrasi), adapun Al-Qaeda dan Ikhwanul Muslimin berpendapat bentuk negera boleh federasi. Tapi mereka semua sepakat puncak pimpinan harus dipegang oleh satu orang berdasarkan hadits “jika dibai’at dua orang khalifah, bunuh yang terakhir.” 

Kesalahan paradigma lama tentang satu orang khalifah adalah mereka memahami satu orang khalifah untuk semua umat Islam tanpa memperhatikan batas negara. Khalifah universal. Mereka membayangkan khalifah itu seperti Nabi Muhammad saw yang diturunkan kaffatan linnaas dan rahmatan lil ‘alamin. Imajinasi satu khalifah yang demikian yang berubah menjadi ilusi karena Kepemimpinan spiritual Muhammad saw sebagai nabi dan rasul berbeda dengan kepemimpinan politiknya sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Kenabian dan kerasulan Muhammad saw bersifat mutlak, tanpa batas, abadi, universal, lintas alam (dunia dan akhirat), lintas ruang dan waktu, lintas generasi, lintas bangsa dan negara. 

Sedangkan kepemimpinan politik Muhammad saw terbatas dalam lingkup wilayah teritorial negaranya. Di luar batas-batas negaranya, Muhammad saw hanya seorang nabi dan rasul tetapi bukan kepala negara sehingga umat Islam yang berada di luar wilayah Negara Muhammad saw tidak termasuk warga Negara Beliau saw. Umat Islam di luar wilayah Negara Muhammad saw tidak memiliki hak-hak politik layaknya warga Negara Beliau saw. Kenyataan inilah yang membuat kaum muslim yang bertahan di Makkah pasca hijrah nabi saw ke Madinah dan pasca perjanjian Hudaibiyah tidak mendapat hak-hak politik dari Muhammad saw karena Mekkah tidak termasuk teritorial negara Beliau saw. Setelah fathu Makkah, Makkah bergabung dengan negara nabi saw dan masyarakat di sana menjadi warga negara nabi saw. 

Bukti lainnya, raja Najasyi muslim tahun 7-9 Hijriah, tetap sebagai raja pemimpin politik di wilayahnya. Muhammad saw tidak meminta raja Najasyi muslim mengintegrasikan negaranya dengan negara Beliau saw di Madinah. Demikian juga halnya dengan penguasa-penguasa dunia saat itu yang kirim Muhammad saw surat. Dalam surat-suratnya Muhammad saw mengatasnamakan sebagai Rasulullah saw bukan sebagai kepala negara Madinah. Karena itu pesan Beliau saw agar penguasa-penguasa tersebut agar masuk Islam, mengakui Beliau saw sebagai nabi dan rasul. 

Beliau saw tidak menuntut diakui sebagai kepala negara. Beliau tidak mengharuskan negara mereka bergabung dengan negara Beliau saw di Madinah. Kepada penguasa yang menerima dakwahnya, Beliau saw mengutus sahabat untuk mengajarkan risalah Islam terutama soal ibadah, akhlak, halal haram dan membaca al-Qur’an. Beliau saw tidak mengutus sahabat sebagai Gubernur kecuali ke wilayah-wilayah yang penguasanya secara suka rela bergabung dengan Beliau saw di Madinah. Jadi hukum asalnya umat Islam boleh memiliki lebih dari satu pemimpin politik. 

Lalu bagaimana dengan hadits nabi saw yang menyuruh membunuh khalifah yang kedua setelah dibai’at khalifah yang pertama? Adanya khalifah karena adanya khilafah. Wujudnya khilafah karena adanya batas-batas negara khilafah. Tanpa batas negara, khilafah tidak ada. Tanpa batas khilafah hanya ada dalam imajinasi. Karena ada batas negara khilafah maka ada hukum jihad dan ribath. Konteks hadits wajib satu khalifah, bunuh yang kedua adalah dalam konteks satu negara bukan dalam satu dunia dan satu umat. Makna hadits tersebut, umat Islam dalam satu negara wajib mempunya satu kepala negara.  Umat Islam di belahan dunia yang lain juga boleh memiliki negara dan kepala negara mereka. 

Paradigma multi khilafah sebenarnya pemahaman lama yang diadopsi ulama selain pemahaman uni khilafah. Namun sempat tenggelam akibat derasnya opini uni khilafah yang diviralkan kaum radikal di media sosial. Padahal jumhur ulama kontemporer berpendapat umat Islam sebaiknya multi khilafah karena uni khilafah membutuhkan kondisi-kondisi prasyarat yang belum ada dalam diri umat. Memang perlu disiapkan tapi roda kehidupan umat ini harus terus berputar. Uni khilafah memang ideal menurut akal akan tetapi tidak memiliki dasar nash dan dalil yang kokoh untuk dijadikan tuntutan/kewajiban syar’i. 

Dengan demikian tidak ada larangan syar’i bagi umat Islam di Indonesia untuk memiliki satu negara dengan satu kepala negara yang berbeda dengan negara dan kepala negara kaum muslim di belahan dunia yang lain. Inilah paradigma baru tentang khilafah. Paradigma yang lahir dari intepretasi konprehensif atas realitas negara nabi saw. Dengan demikian eksistensi NKRI diakui absah dan legal secara syar’i. Indonesia ini khilafah itu sendiri menurut paradigma baru tentang khilafah.

Ayik Heriansyah
Pengurus LD PWNU Jabar

www.hwmi.or.id

Bagikan artikel ini

2 comments