Orang Lebanon Pembawa Hizbut Tahrir Ke Indonesia - HWMI.or.id

Wednesday 5 August 2020

Orang Lebanon Pembawa Hizbut Tahrir Ke Indonesia





Orang Lebanon Pembawa Hizbut Tahrir ke Indonesia
 
Namanya Abdurrahman al-Baghdadi datang ke Indonesia tepatnya ke Bogor sekitar tahun 1982. Orang Lebanon. Ia dititipkan oleh orang tuanya, Syaikh Nasir, kepada sahabatnya K.H. Abdullah bin Nuh untuk belajar. Perjumpaan K.H. Abdullah bin Nuh dengan Syaikh Nasir terjadi di Australia, ketika K.H. Abdullah bin Nuh menjenguk anaknya di sana.

K.H. Abdullah bin Nuh sosok ulama sunni bermadzhab Syafi’i dan penganut tarekat, mendirikan Pesantren al-Ghozaly di kota Bogor. Di pesantren itu juga, Abdurrahman al-Baghdadi tinggal. Sebagai amanah dari sahabatnya, Abdurrahman al-Baghdadi diperlakukan dengan baik, layaknya anak sendiri.

Mengenal Al-Baghdadi Pembawa Hizbut Tahrir ke Indonesia

Ternyata Abdurrahman al-Baghdadi ini seorang syabab Hizbut Tahrir. Di Bogor, Abdurrahman al-Baghdadi mengadakan pengajian dan membuka halaqah di tiga tempat: Di pesantren al-Ghazali, Masjid al-Ghifari IPB dan pesantren mahasiswa di Layungsari. Halqah ula (sel pertama) Hizbut Tahrir di Indonesia lahir dari tiga tempat ini. Tidak semua peserta halqah-nya yang menjadi kader, sebagian besar berhenti dari per-halaqah-an dan keluar dari Hizbut Tahrir.

Yang tersisa kader-kader inti Hizbut Tahrir di Indonesia yang sekarang duduk sebagai pimpinan pusat. Dari mereka kemudian terbentuk sel-sel halaqah Hizbut Tahrir di berbagai daerah yang menjadikan kampus-kampus sebagai titik simpul. Abdurrahman al-Baghdadi sendiri kemudian keluar dari Hizbut Tahrir. Entah, apa masalahnya. Setelah keluar dari Hizbut Tahrir, ia di-bully oleh murid-muridnya sendiri.

Sebenarnya Abdurrahman al-Baghdadi dititipkan ayahknya kepada K.H. Abdullah bin Nuh untuk belajar, bukan untuk menyebarkan pemikiran Hizbut Tahrir, merekrut kader dan membentuk organisasi Hizbut Tahrir di Indonesia. Akan tetapi kenyataan, ia memanfaatkan keberadaannya di Bogor untuk melakukan kegiatan yang sejatinya bertentangan dengan ajaran Sunni Syafi’i yang diyakini oleh K.H. Abdullah bin Nuh.

Penyimpangan amanah ilmiah yang diduga dilakukan oleh Abdurrahman al-Baghdadi mengingatkan kita pada kisah Bal’am bin Ba’ura. Bal’am adalah ulama Bani Israil yang mendapat tugas dari Nabi Musa as untuk menyampaikan dakwah kepada raja Madyan. Ia  mendapat sambutan sangat baik dari raja Madyan dengan menyediakan tempat tinggal yang layak sebelum melaksanakan tugas dari Nabi Musa. Di tengah jalan, Bal’am berubah pikiran. Ia terlena dengan kehidupan yang mewah lalu berubah pendirian dengan mengikuti agama raja Madyan. Ia tidak melaksanakan tugas dari Nabi Musa.

Modus Pembawa Hizbut Tahrir ke Indonesia
Modus mengkhianati amanah ilmiah ala Bal’am seperti ini marak terjadi di kalangan syabab Hizbut Tahrir di Indonesia. Beberapa anak kiai NU, dikuliahkan di kampus-kampus umum dengan harapan bisa meneruskan dan mengembangkan pesantren milik keluarga. Memelihara tradisi Aswaja dan menjadi benteng pertahanan fikrah, amaliyah dan harakah NU.

Malah di tempat kuliah, mereka mempelajari ajaran Hizbut Tahrir dan menjadi anggotanya. Setelah lulus, menyebarkan pemikiran Hizbut Tahrir di pesantren dan majlis taklim yang dirintis oleh orang tuanya. Mereka memanfaatkan nama baik orang tua untuk merekrut warga masyarakat agar bergabung dengan Hizbut Tahrir. Padahal mereka tahu dan sadar, ajaran NU yang diadopsi orang tuanya bertentangan dengan fikrah dan thariqah Hizbut Tahrir.

Modus lainnya, mereka menyimpangkan perkataan dan makna kitab para ulama agar sesuai dengan agenda politik mereka, ingin mendirikan khilafah tahririyah. Isi kitab tafsir, hadits, ushul fiqih, fiqih, sirah dan tarikh dicocok-cocokan dengan khilafah tahririyah. Mereka mau membuat persepsi di benak umat, seolah-olah semua ulama mendukung khilafah tahririyah.

Murid-murid Abdurrahman al-Baghdadi yang masih hidup kini berusia antara 50 – 60 tahun. Mereka sudah tua-tua. Mereka menyaksikan sendiri, bagaimana Hizbut Tahrir masuk ke Indonesia dengan cara-cara yang tidak baik, ternyata berakhir dengan su’ul khatimah. Pada prinsipnya, tidak ada keberkahan bagi siapapun yang mengkhianati amanah ilmiah sebagaimana yang dilakukan oleh Bal’am bin Ba’ura.

*Ayik Heriansyah, Pengamat Sosial Keagamaan, dan Mantan Ketua DPD HTI Bangka Belitung

www.hwmi.or.id

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda