Ternyata Ada Yang Takut Dengan Standarisasi Ustadz ? - HWMI.or.id

Sunday 6 September 2020

Ternyata Ada Yang Takut Dengan Standarisasi Ustadz ?

 ADA YANG TAKUT DENGAN STANDARDISASI USTADZ...???



Menurut versi syaikhuna, seorang bisa disebut “ustadz” dalam arti layak untuk mengajarkan ilmu agama, baik dalam bentuk menyampaikan ilmu di majelis taklim/ceramah, atau menulis, atau berfatwa, atau menjawab pertanyaan, ataup membuat kesimpulan-kesimpulan hukum lalu menyebarkannya, atau bentuk yang lainnya, harus memiliki empat syarat :



(1). Pernah mondok di pesantren minimal lima tahun. Di pesantren, selain mempelajari berbagai cabang  keilmuan, baik ilmu alat atau ilmu ghayah, juga menjadi ajang untuk menimba pengalaman hidup. Merasakan bagaimana beratnya meninggalkan tanah kelahiran, jauh dari keluarga (orang tua dan kerabat), dan berbagai kesulitan dan kesederhanaan yang ada di dalamnya, mulai dari makanan, minuman, tidur, dan lain sebagainya. Semua ini selain akan membentuk kemapanan dari sisi keilmuan, juga akan membentuk kepribadian yang baik.


(2). Harus benar-benar memahami dan menguasai bahasa Arab, wa bilkhusus ilmu Nahwu dan Sharaf sebagai tangga untuk membaca dan memahami kitab-kitab turats (warisan ulama) dengan baik, benar dan detail. Sebagai contoh kalimat “Alhamdulillah”, bukan sekedar menerjemah dengan “Segala puji bagi Allah”, tapi mampu memaknainya dengan detail, yaitu “Segala pujian dengan seluruh kesempurnaan hanya bagi Allah di atas bentuk pengagungan kepada-Nya.” Kalau sekedar mengandalkan kemampuan muhaddatsah (berbicara dengan bahasa Arab) maka menurut beliau hal itu belum mencukupi. 


(3). Memiliki kemampuan dalam memahami Al-Qur’an dan hadits sesuai dengan disiplin ilmu alat yang digunakan untuk memahami keduanya serta penjelasan para ulama yang memiliki kapabilitas di bidang tersebut, terutama para ulama mutaqaddimun (pendahulu). Dengan demikian, berbagai makna dan ahkam (hukum) yang mustambathah (dipetik) dari keduanya akan lebih akurat sesuai dengan yang diinginkan oleh Allah dan Rasul-Nya. 


(4). Dan syarat yang terakhir adalah yang paling unik, yaitu mampu untuk menta’liq (menyusun catatan tambahan) dengan tulisan miring dalam memaknai teks-teks bahasa Arab, baik berupa teks Al-Qur’an, atau hadits, atau kitab-kitab turats dengan makna yang detail dan telah mewakili maksud yang diinginkan tanpa memenuhi ruang kosong yang tersedia di suatu halaman kitab. Tradisi ini merupakan salah satu keistimewaan pesantren-pesantren di tanah Jawa, yang di tanah Arab sendiri tradisi seperti ini tidak didapatkan. Kemampuan ini tidak bisa didapatkan secara spontan atau otodidak, tapi harus diasah dan dilatih dalam kurun waktu yang tidak singkat.



Mungkin tradisi ini seperti tradisi “tashrifan” dalam pelajaran ilmu sharaf. “Tashrifan” dengan model yang dikenal di tanah jawa, tidak akan didapatkan di negara Arab sekalipun. Saat berangkat  ke Yaman untuk menimba ilmu, kami membawa kitab “Al-Amtsilah Ath-Tashrifiyyah” karangan KH. Muhammad Ma’shum bin Ali, dari Pesantren Seblak Diwek, Jombong. Tapi ternyata, di sana tidak ada model “tashrifan” sebagaimana di Indoensia. Bahkan ketika kami sodorkan kitab “Al-Amtsilah At-Tashrifiyyah” kepada sebagian syaikh di sana, mereka takjub.


Dengan adanya standardisasi ustadz seperti ini, menurut hemat kami sangat besar sisi positifnya. Pembahasan seputar keagamaan dalam berbagai bentuk, baik menulis, berfatwa, menjawab pertanyaan, mengajar, ceramah, dan yang lainnya, hanya akan dikembalikan kepada mereka yang telah memenuhi standar. 

Yang belum, hendaknya menahan diri dan terus berusaha untuk belajar. 

Jika hal ini bisa terealisasi, insya Allah berbagai kerusakan dan kegaduhan yang muncul akan dapat diminimalisir karena yang berbicara hanya terbatas pada orang-orang yang benar-benar berilmu.


Abdullah Al Jirani

www.hwmi.or.id

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda