Ulama Bersertifikat, dan Peran Negara dalam Menghadang Radikalisme
Oleh: Slamet Makhsun
Semakin maraknya media sosial, juga berbanding lurus dengan banyaknya dai-dai yang menjamur di media. Entah dalam bentuk konten yang berupa video ceramah, podcast pengajian, atau berupa artikel dakwah. Bisa dibilang, konten-konten berbau radikalisme saja laku keras di pasaran. Hal itu ditandai oleh banyaknya pengguna medsos di negara ini cukuplah besar, ditambah para ulama berdakwah tanpa standar kompetensi yang jelas, belum bersertifikat.
Akibatnya, mulailah bertebaran ustadz-ustadz dadakan. Yang tentu, kapasitas ilmunya jauh dari kata shahih. Islam tidak sesimpel baca artikel di google atau lihat video ceramah di youtube lantas bisa menjadikannya ustadz,tapi, harus melalui tahapan pembelajaran yang panjang. Oleh karena itu, bagi Muslim yang masih minim ilmu, wajib hukumnya taat pada fatwa kyai atau ulama yang telah mumpuni. Bukan malah kemlinthi mengaku paling benar sendiri.
Berangkat dari keresahan tersebut, MUI berinisiasi untuk melakukan sertifikasi dai. MUI sangat khawatir dengan penceramah yang mungkin baca Al-Quran aja masih belum lancar, atau pemahaman terkait keislaman masih semrawut. Hal itu, sangat berdampak terhadap keabsahan dan kesakralan Islam, terlebih kepada ustadz-ustadz yang mengajak bughat dan memecah bangsa.
Dengan program sertifikasi dai, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mencoba untuk menghadirkan dai-dai berkualitas dan non-radikal yang pantas memberi ceramah di muka umum. Menurut Cholil Nafis, Ketua Komisi Dakwah dan Pengembangan Masyarakat MUI, yang dilansir oleh BBC News Indonesia mengatakan, “Dakwah kita (bisa berdakwah) sebebas-bebasnya. Tapikan celakanya, bacaan Quran aja belum bisa, agama belum bisa, tapi jadi penceramah.”
Cholil juga menuturkan bahwa pihaknya sering mendapat aduan dari masyarakat terkait dai yang salah kaprah dalam menjelaskan Islam.
MUI, Ulama Bersertifikat dan Radikalisme
Sejatinya, poin utama yang ingin MUI lakukan adalah untuk menghalau gelombang dai-dai yang mengajarkan Islam radikal yang telah merebak di mana-mana. Tentu, ini sangat berbahaya. Namun, bila ditilik lebih dalam program MUI tersebut juga banyak ketimpangan-ketimpangan yang akan terjadi.
Pertama, Indonesia menganut kebebasan dalam beragama termasuk bebas memilih aliran-aliran dari agama tersebut. Negara atau pihak manapun tidak berhak untuk mengatur agama termasuk cara-cara beribadahnya.
Kedua, status dai atau ulama adalah pengakuan yang diberikan masyarakat terhadap seseorang yang dianggap berjasa dalam mensyiarkan agama Islam. Dai atau ulama, bukanlah gelar yang diberikan oleh lembaga, sehingga MUI tidak bisa asal tunjuk mana ulama mana bukan, mana yang wajib ikut sertifikasi mana yang tidak.
Ketiga, sertifikasi harus berimplikasi pada pemberian hak. Semisal dianalogikan dengan guru, maka dai atau ulama juga harus diberi tunjangan profesi. Hal ini akan menggeser paradigma berdakwah, yang aslinya ikhlas demi syiar agama, beralih ke dakwah sebagai bagian dari pekerjaan.
Saya kira, masalah-masalah seperti dai yang tidak bisa baca Al-Quran, pemahaman Islamnya pendek, atau penjelasan-penjelasan yang salah, menjadi tugas utama MUI dan juga ulama atau dai yang sudah mumpuni. Tak lupa, memberi arahan dan bimbingan kepada masyarakat terkait Islam yang santun dan moderat.
Jika poinnya untuk menghalau radikalisme Islam, bukalah kewajiban MUI melainkan kewajiban negara. Radikalisme Islam adalah ancaman nyata terhadap negara, sedangkan MUI bukan lembaga negara.
Sebenarnya, sah-sah saja ketika seseorang mau memilih model Islam seperti apapun, bahkan negara dengan tegas dalam undang-undangnya menjamin kebebasan dalam beragama. Tapi, dengan catatan tidak melanggar konsensus yang disepakati. Seperti ingin mendirikan negara Islam, ingin merubah bentuk negara, atau kegiatan keagamaan yang meresahkan sebagian besar masyarakat.
Dakwah Moderat
Islam Radikal, yang dengan ciri khas ingin mendirikan negara Islam dan menganggap kafir selain golongannya, jika dibiarkan akan berpotensi memecah bangsa. Hal ini sudah terbukti oleh dakwah-dakwah yang dilakukan olah HTI (Hizbut Tahrir Indonesia), JAD (Jamaah Anshorud Daulah), MMI (Majlis Mujahidin Indonesia), atau organisasi semacamnya.
Terorisme yang telah nyata menyerang negara kita, dilakukan oleh orang-orang yang ikut lingkaran organisasi seperti di atas. Lingkaran-lingkaran organisasi seperti itu, sangat sulit bahkan tidak memungkinkan ditembus oleh MUI atau dai-dai yang berpaham Islam moderat untuk menyadarkan mereka.
Rekrutmen yang dilakukan, benar-benar tertutup dan tersusun rapi, bahkan tempat pengkaderan atau pendidikannya pun bersifat bawah tanah, tidak sembarang orang bisa tahu. Indoktrinisasinya pun benar-benar militan. Jika seseorang telah masuk ke lingkaran tersebut, maka akan siap mengorbankan harta ataupun nyawa. Yang ada di pikirannya hanya ‘bagaiamana cara mewujudkan cita-cita dari organisasi tersebut, walaupun harus mati, toh Tuhan akan mengganjar surga yang penuh dengan bidadari cantik jelita.’
Di titik ini, negara dan MUI (termasuk dai dan ulama) harus saling bersinergi. MUI, dai, dan para ulama bisa terjun langsung ke masyarakat untuk memberikan pemahaman Islam yang moderat agar mereka tidak terjangkit ‘virus’ radikalisme.
Di lain sisi, negara membuat undang-undang tentang dilarangnya paham-paham yang mengancam negara, dan memberikan hukuman kepada siapa saja yang berani menyebarkan paham-paham tersebut. Dan undang-undang ini, jika secara tegas diterapkan, maka tidak akan ada lagi ancaman-ancaman seperti terorisme yang dilakukan oleh pengikut Islam radikal.
Saya kira, jika MUI, dai, ulama, dan negara bisa menjalankan strategi seperti di atas, maka Indonesia akan aman dari bayang-bayang terorisme dan Islam radikal.
Sumber:Harakatuna