Habib Jindan Teladani Akhlak Nabi, Ingatkan Dakwah Ramah Tanpa Caci Maki
Rasulullah Saw tidak pernah menggunakan cara kekerasan dalam berdakwah, apalagi caci maki. Diceritakan oleh Habib Jindan bin Novel bin Salim bin Jindan, para sahabat banyak yang gugur dan Rasulullah terluka parah dalam peristiwa perang Uhud. Nabi diminta untuk melaknat orang-orang yang mencaci beliau, orang kafir Harbi. Namun Nabi berkata, ‘Aku diutus bukan menjadi tukang laknat dan tukang caci maki, Aku diutus untuk membawa rahmat’.
Al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib menyebutkan metodenya ahlul bait – keturunan Rasulullah Saw. dalam berucap dan bersikap. Ketika dalam suatu khotbah, Hasan masuk ke masjid bersama putra beliau, khatib langsung mengubah gaya berbicaranya menjadi ceramah provokasi, cacian, dan makian. Hasan bin Ali tidak merasa sengit ataupun lantas meninggalkan majelis, melainkan tetap menyimak ceramah khatib. Begitu selesai ceramah, anaknya berkata,
“Ya abati, kamu tidak dengar apa yang dia katakan?”
“Ya, saya dengar” jawab Hasan.
“Kalau begitu, klarifikasi, bantah caciannya” timpal anaknya.
Mendengar anaknya berujar demikian, ada kecenderungan dalam hati Hasan bin Ali untuk memgambil metode di luar metode ahlul bait, membalas cacian dengan cacian. Kemudian Hasan bin Ali marah dan berkata pada anaknya,“Wahai putraku, sejak kapan kamu mendapati Ayah dan leluhurmu tukang caci maki?”
Pada suatu masa ketika Hasan bin Ali wafat, orang-orang Bani Umayah yang dulu mencaci maki menziarahi kuburnya. Dikatakan oleh mereka, “Dulu kami mencaci-maki Hasan bin Ali, tetapi ia bagaikan gunung yang dilempari batu berkali-kali tetap bergeming, tidak mengubah senyumnya, akhlaknya, tawadhu’nya, kesantunannya.”
Metode yang diterapkan para leluhur Hasan bin Ali ini diwariskan turun temurun kepada Imam Ali Zainal Abidin. Ayahnya, Husein bin Ali disembelih di depannya langsung, saudara-saudaranya terbunuh di Karbala. Maka tidak satu pun ungkapan caci maki dan provokasi keluar dari mulut beliau. Yang ada justru beliau membalas dengan sikap yang mulia, diberikannya 1000 keping perak kepada orang yang mencaci beliau. Adapun cara mengklarifikasinya dengan sikap, bukan dengan ucapan.
“Kalau ucap, siapapun juga ini zaman komentar, semua bisa komentar. Anak kecil bisa mengomentari profesor. Ini zamannya begitu.” tutur Habib Jindan di sela-sela menyampaikan hikmah dalam acara Refleksi Dakwah 2020 yang diselenggarakan Lembaga Dakwah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LD PBNU) di Gedung PBNU lt 8, Rabu (26/12/20).
Melihat kebaikan Ali Zainal Abidin, orang-orang tadi lantas bersaksi melafazkan syahadat, Asyhadu annaka ibna binti Rasulillah, aku bersaksi kamu benar cucu dari Rasulullah Saw.
Banyak sekali kisah yang menceritakan akhlak mulia ahlul bait menghadapi cacian. Dalam beberapa keadaan, senyuman adalah bentuk penyampaian. Diamnya seseorang, akhlaknya seseorang, dan maaf untuk seseorang adalah bentuk penyampaian yang mewakili Nabi Muhammad Saw. Dalam hadits Nabi disebutkan bahwa ucapan Nabi, perbuatan Nabi, dan ketetapan Nabi merupakan ilmu yang dapat dipetik.
“Nabi kalau diganggu memaafkan, tidak membalas. Kalau dicaci maki, diprovokasi. diajak debat, demo, beliau diam tidak menjawab. Diam nya Nabi wal balagh, maafnya Nabi wal balagh” ujar Habib Pengasuh Ponpes al Fachriyah Banten itu..
Diceritakan oleh Habib Jindan dari riwayat Bukhari kisah pada masa Bani Israil, bahwa ada orang yang telah membunuh 99 nyawa. Si fulan mencari orang alim dan bertanya apakah dirinya masih bisa bertaubat. Orang alim tesebut bukannya mengajak kepada kebaikan tetapi malah menghakimi, ia akan masuk neraka, tidak akan diampuni oleh Allah Swt. Mendengar tuturan ustadz itu, si Fulan lantas membunuhnya supaya genap 100 nyawa yang ia habisi, toh ia tetap akan masuk neraka.
Rasulullah megatakan bahwa metode dakwah yang diterapkan ustadz tersebut keliru. Penjahat pun perlu dirangkul. Kita diperintah untuk berdakwah secara menyeluruh, bukan milih-milih. Karena semuanya adalah umat Rasulullah Saw.
“Kita ngajak semua, yang muslim, yang non muslim, yang taat, yang maksiat, yang pejabat, yang rakyat, semua kita ajak kepada Allah Swt, bukan kepada yang lain,” tegasnya.
Habib mengatakan, “Metode dakwah apa saja boleh, selama metode tersebut dihalalkan oleh syariat. Sungguh picik orang yang menganggap surga dengan menyembelih sesama muslim. Sungguh picik orang yang menganggap surga dengan menginjak-injak bangkai manusia.” tutur Habib yang merupakan cucu dari Habib Salim bin Ahmad bin Jindan, seorang pejuang dakwah di Betawi pada tahun 1906-1969 yang berjuluk “Singa Podium”.
Hadis Rasulullah menjelaskan bahwa muslim yang membunuh kafir dzimmi yang dilindungi negara tidak akan mencium aroma surga. Terlebih lagi, saling mengkafirkan sesama muslim adalah cikal bakal terorisme, peledakan bom.
Habib Jindan menegaskan bahwa metode dakwah Nabi adalah metode dakwah yang santun, seperti yang dibawa oleh para wali, sebab sanadnya bersambung ke atas sampai ke Rasulullah Saw. “Untung Indonesia kenal dakwah Islam dari Wali Songo. Untung Wali Songo datang duluan ke Indonesia, kalau kita yang datang duluan, gak ada yang mau masuk Islam,” tuturnya disambut tawa para hadirin.
Mengutip perkataan dari Guru beliau, akhlak orang Indonesia yang santun tidak ditemukan di budaya dan negeri lain, tidak ada yang berakhlak seperti akhlaknya orang Indonesia “Mudah-mudahan Allah berikan negara ini tetap aman, tetap damai. Negeri ini udah aman, udah enak, jaga baik-baik,” pesannya.
“Mudah-mudahan Allah jaga negeri kita, yang penting kita tetep akur, tetep kumpul, dan Allah angkat bala’ Covid-19 agar segera berakhir,” doanya mengakhiri. (fqh/dakwahnu.id)