Antara Cinta Dan Anti Tanah Air - HWMI.or.id

Monday 1 February 2021

Antara Cinta Dan Anti Tanah Air




 ANTARA CINTA DAN ANTI TANAH AIR

Oleh: Nun Alqolam 

Nahnu ashabul haq fid dini was siyasi, kita adalah golongan yang mempunyai pemahaman yang benar, dalam paham keagamaan dan siyasah kebangsaan. Itulah NU dan tentu juga golongan lain yang sepemahaman dan sevisi misi dengan NU.

Paham keagamaan NU adalah benar yaitu Islam ala Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja). Bahkan karena adanya kelompok lain (Wahabi dan sejenisnya) yang mengklaim dirinya juga Ahlussunnah maka demi menyelamatkan ajaran Aswaja, NU memakai khosois Aswaja an-Nahdliyah.

Sebagai organisasi sosial (جمعيّة إجتماعيّة), NU harus mencurahkan perhatiannya secara serius pada bidang sosial, seperti ekonomi, kesehatan, pendidikan, pertanian dan lain-lain yang menjadi problem kehidupan sehari-hari warga, masyarakat dan bangsa. 

Politik kekuasaan yang lazim disebut politik tingkat rendah (low politics/سياسة سافلة) adalah porsi  partai politik dan warga negara, termasuk warga NU secara perseorangan. Sedangkan NU sebagai lembaga, harus steril dari politik semacam itu. Kepedulian NU terhadap politik diwujudkan dalam peran politik tingkat tinggi (high politics/سياسة عالية سامية ), yakni politik kebangsaan, kerakyatan dan etika berpolitik.

Politik kebangsaan berarti NU harus إستقامة dan proaktif mempertahankan NKRI sebagai wujud final negara bagi bangsa Indonesia. Politik kerakyatan antara lain bermakna NU harus aktif memberikan penyadaran tentang hak-hak dan kewajiban rakyat, melindungi dan membela mereka dari perlakuan sewenang-wenang dari pihak manapun. 

Etika berpolitik harus selalu ditanamkan NU kepada kader dan warganya pada khususnya, dan masyarakat serta bangsa pada umumnya, agar berlangsung kehidupan politik yang santun dan bermoral yang tidak menghalalkan segala cara. 

Dengan menjaga NU untuk bergerak pada tataran politik tingkat tinggi inilah, jalinan persaudaraan di lingkungan warga NU (أخوّة نهضيّة) dapat terpelihara. Sebaliknya,manakala NU secara kelembagaan telah diseret ke pusaran politik praktis, أخوّة نهضيّة akan tercabik-cabik.

Hizbut Tahrir (HT atau kedepannya dipakai nama HTI) bermasalah dalam keagamaan dan kebangsaan. Diantara masalah dalam keagamaannya diantaranya inkonsistensi tentang rukun iman, bermasalah (tidak mempercayai) qadha dan qadar, qadha dan qadar tidak meyakinkan, erbuatan manusia tidak ada hubungannya dengan qadha dan qadar Allah, Hadits qadha dan qadar ahad/dhanni, Qadar adalah ilmunya Allah, pengingkaran terhadap ta’wil, penganggap sesat kaum muslimin terhadap qadha dan qadar, menuduh kaum muslimin mengadopsi konsep qadha dan qadar dari filosof Yunani bukan dari Alquran dan Hadits perbuatan manusia tidak ada hubungnanya dengan qadha dan qadar Allah, konsep ishmah (kemakshuman) para Nabi setelah diangkat menjadi Nabi, konsep hidayah dan dhalal (hidayah dan dholal bukan dari Allah SWT tapi dari manusia), fatwa membolehkan ciuman, boleh berciuman terhadap wanita ajnabiyah, boleh mencium wanita yang bukan istri, ijtihad boleh dilakukan siapa saja, laki perempuan bebas jabatan tangan, boleh telanjang di depan mahram, pengingkaran siksa kubur, ekstrim dalam menyikapi khilafah, dan sebagainya.

HT secara eksplisit menentang nasionalisme dan konsep negara-bangsa. Hal itu tercermin salah satunya pada media milik HTI, Al-Wa’ie, edisi 9 Juli 2013 yang menyebut demokrasi dan nasionalisme adalah “kufur dan beracun.” 

Di mata mereka, nasionalisme bertentangan dengan khilafah dan persaudaraan Islam sedunia. Nasionalisme dianggap haram karena kontraproduktif dengan sitem khilafah global yang mereka cita-citakan akan tegak dalam sebuah daulah Islamiyyah (negara Islam) yang sentralistik.

Hal ini jelas merupakan penghinaan terhadap para pejuang kemerdekaan Republik Indonesia, termasuk para ulama di dalamnya. Sebab, nasionalisme justru lahir salah satunya dari para ulama dalam rangka menumbuhkan sikap tanggung jawab terhadap agama dan Tanah Air. 

Nasionalisme yang ditumbuhkan para kiai pejuang kemerdekaan adalah dalam rangka menjamin hak-hak kebebasan beribadah bagi seluruh umat, terutama umat Islam. Sebab, kaidahnya, ma la yatimmul wajib illa bihi fahuwa wajib. 

مَا لاَ يَتِمُّ الوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ

“Perkara wajib yang tidak sempurna kecuali dengannya, maka perantara itu menjadi wajib.”

Sarana menuju kewajiban adalah wajib. Dalam hal ini, nasionalisme adalah sarana untuk menjamin terlaksananya kewajiban-kewajiban agama. Jika Tanah Air tak merdeka, maka kewajiban beragama sulit ditunaikan.

Yang lebih parah, sikap antinasionalisme yang digelorakan HTI ini justru bertentangan dengan sunnah nabawiyyah, di mana sikap patriotik dan nasionalis justru ditunjukkan oleh Nabi Muhammad saw. Misalnya saja, beliau mengungkapkan kecintaannya terhadap Tanah Air beliau (Mekah) melalui sabdanya:

وَاللهِ إِنَّكِ لَخَيْرُ أَرْضِ اللهِ وَأَحَبُّ أَرْضِ اللهِ إِلَى اللهِ، وَلَوْلَا أَنِّيْ أُخْرِجْتُ مِنْكِ مَا خَرَجْتُ. (رواه الترميذي)

“Demi Allah, sungguh engkau (Mekah) adalah sebaik-baik bumi Allah, dan bumi Allah yang paling dicintai Allah, seandainya aku tidak dikeluarkan darimu (Mekah) maka aku tak akan keluar darimu.” (HR. al-Tirmidzi).

Hal yang sama juga beliau ungkapkan untuk Tanah Air keduanya, Madinah. Beliau mengungkapkan:

اللَّهُمَّ حَبِّبْ إِلَيْنَا الْمَدِينَةَ كَمَا حَبَّبْتَ إِلَيْنا مَكَّةَ أوْ أَشَدَّ

“Ya Allah, jadikanlah kami mencintai Madinah sebagaimana Engkau menjadikan kami mencintai Mekah atau lebih dari itu.” (HR. al-Bukhari)

Untuk itulah bagaimana agar benar dalam beragama dan bervangsa, diiantaranya adalah bagaimana sebaiknya milih guru. Dalam kitab Ta'limul Muta'allim disebutkan bagaimana cara memilih guru.

أما اختيار الأستاذ: فينبغى أن يختارالأعلم والأورع والأسن، كما اختار أبو حنيفة، رحم الله عليه، حماد بن سليمان، بعد التأمل والتفكير،

، قال: وجدته شيخا وقورا حليما صبورا فى الأمور. وقال: ثبت عند حماد بن سليمان فنبت

"Dalam memilih guru, hendaklah mengambil yang lebih alim, waro’ dan juga lebih tua usianya. Sebagaimana Abu Hanifah setelah lebih dahulu memikir dan mempertimbangkan lebih lanjut, maka menentukan pilihannya kepada tuan Hammad Bin Abu Sulaiman".

"Dalam hal ini dia berkata: Beliau saya kenal sebagai orang tua yang budi luhur, berdada lebar serta penyabar. Katanya lagi: saya mengabdi di pangkuan tuan Hammad Bin Abu Sulaiman, dan ternyata sayapun makin berkembang.”

Dalam fasal tersebut diterangkan cara memilih guru diantaranya alim, wara, dan yang lebih tua.

Umat Islam Indonesia khususnya dan umumnya umat Islam dunia seharusnya menjadikan buku/kitab buah karya Hadratussyeikh KH Hasyim Asyari sebagai rujukan, bukan buku/kitabnya Syeikh Taqiyudin Annabhani. Karena geneonologi pemikiran Syeikh Taqiyudin tidak cocok diterapkan di Indonesia bahkan di negara manapun di dunia ini.

Terkait konsep cinta tanah air (nasionalisme) misalnya, pola pikir Hadratussyeikh KH Hasyim Asyari (pendiri NU) dan Syeikh Taqiyudin Annabhani (pendiri HT) sangat bertentangan secara diametral. Bagi Hadratussyeikh Hasyim Asyari, cinta tanah air (nasionalisme) itu bagian dari iman, yang terkenal dengan jargon "hubbul wathon minal iman". Sebaliknya bagi Syeikh Taqiyudin, cinta tanah air (nasionalisme) itu kufur. Antara iman dan kufur sangat jauh berbeda.

Agar kehidupan beragama dan berbangsa khususnya di Indonesia berjalan beriringan maka konsumsilah kitab-kitab Hadratussyeikh Hasyim Asyari dan buang jauh-jauh kitab-kitab Syeikh Taqiyudin Annabhani.

Hadratussyeikh Hasyim Asyari telah terbukti sukses mengawinkan antara Islam dan Nadionalisme, antara keagamaan dan kebangsaan. Hanya beliau yang mampu sementara para ulama lain di Timur Tengah masih memghadap-hadapkan antara Islam dan Nasionalisme.

Jadi paham radikal timbul karena salah guru. Bergurulah kepada guru yang jelas sanadnya, kepribadiannya dan alim orangnya, jangan berguru kepada orang yang keilmuannya kurang jelas, apalagi yang gemar mempolitisasi Islam demi tujuan politik kelompoknya.()


Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda