BOLEHKAH MENIKAH DENGAN SYARAT TAK MAU DIPOLIGAMI? - HWMI.or.id

Monday 22 February 2021

BOLEHKAH MENIKAH DENGAN SYARAT TAK MAU DIPOLIGAMI?

 


BOLEHKAH MENIKAH DENGAN SYARAT TAK MAU DIPOLIGAMI?

Oleh : Aini Aryani

Dalam tema kali ini, Penulis bukan bermaksud mengajak para wanita untuk mempersulit pernikahan dengan memberi syarat ini dan itu. Sama sekali bukan. Sebab Rasulullah SAW tak suka melihat ummatnya saling mempersulit satu sama lain.

Permasalahan ini Penulis angkat karena banyaknya pertanyaan dari para wanita yang hendak memasuki jenjang pernikahan, namun gundah gulana akibat maraknya perceraian yg disebabkan adanya orang ketiga.

Hal ini ditujukan bagi para calon pasutri, agar kelak mereka betul-betul berniat memuliakan pasangannya, tanpa disertai kedzaliman yang bisa mencelakakan fisik maupun menyakiti perasaannya. 

Sebagaimana yg diteladankan oleh Nabi SAW:

“خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِي”

“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya. Dan akulah yang paling baik di antara kalian dalam bermuamalah dengan keluargaku.” (H.R. Tirmidzi) 

A. FATWA PARA ULAMA

Mayoritas ulama cenderung membolehkan wanita utk memberi syarat 'tak mau dipoligami' pada calon suaminya.

Namun, terkait apakah calon suaminya wajib memenuhinya, dan apakah ada konsekuensi perceraian jika atas pelanggaran syarat, disini para ulama berbeda pendapat :

1. Ulama dari Madzhab Hanafi dan Maliki mengatakan bahwa jika wanita mensyaratkan tak mau dipoligami dalam akad nikahnya, dan suaminya kelak menikah lagi (poligami), maka thalaq menjadi konsekuensinya.

Dalam madzhab ini, jikapun wanita tidak mensyaratkan apapun dalam akad nikahnya, namun jika ia merasa dirugikan dan disakiti oleh suaminya akibat dipoligami, maka ia boleh menggugat cerai.

2. Ulama dari Madzhab Syafii mengatakan bahwa syarat tersebut tak wajib dipenuhi oleh suami sebab pada dasarnya itu dibolehkan. Dan istri tak boleh meminta cerai hanya karena dipoligami.

Namun, jika dalam praktik poligami yang dilakukan suaminya memberi dampak yang merugikan bagi istri, baik secara materi (tidak adilnya pemberian nafkah) maupun non-materi (menyakiti perasaan), maka istri boleh menggugat cerai kepada hakim.

Ibnu Hajar al-Asqalani mengomentari kasus ini dalam kitab Fathul Bari 9/399 sebagai berikut:

 لكن لو قُدر أن المرأة لم تستطع تحمل ذلك ، وخشيت أن لا تؤدي حق زوجها عليها إذا هو تزوج عليها ، فلها أن تطلب الطلاق من زوجها لذلك

"Namun jika sekiranya istri tak sanggup menanggungnya, dan khawatir akan berimbas buruk pada pemenuhan hak suaminya karena suaminya menikah lagi, maka istri boleh meminta cerai dari suaminya itu" 

3. Ulama dari Madzhab Hambali mengatakan bahwa isteri boleh mensyaratkan itu pada suaminya, dan suaminya wajib memenuhi syarat tersebut. Jika ternyata kelak ia menikah lagi, maka istrinya berhak untuk menggugat cerai atau fasakh.

Ibnu Qudamah, menyebutkan dalam kitab Al-Mughni sebagai berikut :

إذا اشترط لها أن لا يخرجها من دارها أو بلدها ، أو لا يسافر بها ، أو لا يتزوج عليها : فهذا يلزمه الوفاء به ، فإن لم يفعل فلها فسخ النكاح ، روي هذا عن عمر وسعد بن أبي وقاص وعمرو بن العاص رضي الله عنهم "

“Jika ada kesepakatan yang isinya : suami tak boleh mengajak istrinya tinggal di tempat selain rumah istri atau di luar negaranya, atau bepergian bersamanya, atau istri melarangnya untuk menikah lagi, maka suami wajib untuk memenuhi syarat itu. Jika tidak, maka istri berhak untuk meminta fasakh. Hal ini sesuai dengan apa yg diriwayatkan dari Umar dan Sa’ad Bin Abi Waqqash Dan Amr Bin Ash RA.” 

Ibnu Qudamah menambahkan penjelasan terkait alasan mengapa suami wajib memenuhi syarat tersebut jika sudah ada kesepakatan:

لأنه شرط لها فيه منفعة ومقصود لا يمنع المقصود من النكاح، فكان لازمًا، كما لو شرطت عليه زيادة في المهر 

"Karena dalam syarat tersebut berisikan manfaat dan maksud yang tidak menghalangi tujuan inti dari pernikahan. Makanya syarat itu wajib dipenuhi. Hal itu juga berlaku jika si wanita mensyaratkan padanya agar ada penambahan mahar."

Syeikh Shaleh Bin Utsaimin juga berfatwa:

إذا اشترطت أن لا يتزوج عليها فإن هذا يجوز

"Jika wanita itu mensyaratkan agar kelak suaminya tak boleh menikah lagi (memadunya), maka ini adalah syarat yang diperbolehkan."

Syeikh Shalih Fauzan juga mengatakan:

من الشروط الصحيحة في النكاح : إذا شرطت عليه أن لا يتزوج عليها وكذا لو شرطت أن لا يفرق بينها وبين أولادها أو أبويها ؛ صح هذا الشرط ، فإن خالفه ؛ فلها الفسخ

"Di antara syarat-syarat yang sah diajukan calon istri dalam pernikahan adalah syarat yang isinya: ia tak mau dipoligami. Begitu juga jika wanita itu mensyaratkan agar setelah menikah nanti, ia tak boleh dipisahkan dari anak-anaknya atau dari orangtuanya. Syarat ini sah diajukan. Jika suami tidak menepati kesepakatan yg ada, maka wanita tersebut berhak meminta fasakh."

Dalam kitab Al-Mulakhkhash Al-Fiqhy, Ibnul Qayyim berfatwa;

يجب الوفاء بهذه الشروط التي هي أحق أن يوفيها ، وهو مقتضى الشرع والعقل والقياس الصحيح ؛ فإن المرأة لم ترض ببذل بضعها للزوج إلا على الشرط ، ولو لم يجب الوفاء به ؛ لم يكن العقد عن تراض 

"Syarat-syarat yang telah disepakati itu lebih berhak untuk dipenuhi. Hal ini sesuai dengan syariat, akal dan qiyas yang shahih. Jika wanita itu mengajukan syarat, maka artinya ia tak rela menyerahkan kehormatannya pada suaminya kecuali jika syarat itu dipenuhi. Seandainya syarat itu tak wajib dipenuhi, maka akad nikah akan terlaksana tanpa adanya keridhaan"

B. DALIL DAN HUJJAH PARA ULAMA

Para ulama di atas mendasarkan fatwanya pada beberapa hadits dan juga fatwa para shahabat terkait masalah ini.

1. Dalil Bagi Madzhab Hanafi, Maliki dan Hambali.

Mereka mewajibkan para suami untuk memenuhi syarat yang disepakati, termasuk jika syarat itu berupa keengganan istri untuk dipoligami.

a. Hadits.

Rasulullah SAW bersabda:

أحقُّ الشروط أن توفوا بها ما استحللتم به الفُروج

“Syarat yang paling berhak untuk dipenuhi adalah syarat yang menyebabkan halalnya farji (akad nikah) wanita". (HR. Bukhari)

Begitu juga dengan keumuman hadits terkait wajibnya memenuhi kesepakatan yang telah dibuat, sebagaimana sabda Nabi SAW:

المسلمون عند شروطهم

“Orang-orang islam terikat dengan syarat-syarat yang telah mereka sepakati” (HR. Bukhari)

b. Putusan Umar Bin Khattab

Al Atsram meriwayatkan dengan sanadnya:

أن رجلا تزوج امرأة ، وشرط لها دارها ، ثم أراد نقلها ، فخاصموه إلى عمر فقال : لها شرطها فقال الرجل : إذا تطلقينا

"Bahwa di masa Khalifah Umar bin Khattab terdapat seorang laki-laki yang menikahi seorang wanita dengan perjanjian saat akad nikah bahwa istri akan tetap tinggal di rumahnya meski sudah menikah. 

Pada awalnya suami menyetujui persyaratan tersebut, namun setelah resmi menikah dia berubah pikiran. Dia ingin mengajak istrinya tinggal di rumah lain selain rumah asli istrinya. 

Pada akhirnya istri menggugat dan memperkarakan suami ke hadapan Khalifah Umar. Khalifah Umar memenangkan gugatan istri dengan mengatakan:

“Istri berhak menuntut suami untuk melaksanakan poin perjanjian yang telah disepakati.”

Pihak suami mengatakan, “Jika demikian, istri bisa menggugat cerai kami, para suami?!”

فقال عمر : مقاطع الحقوق عند الشروط

Umar Bin Khattab menjawab, “Kepastian hak itu terkait erat dengan poin perjanjian yang telah disepakati bersama .”  

2. Dalil Bagi Madzhab Syafi'i.

Ulama dari madzhab ini tidak mewajibkan suami memenuhi syarat tersebut. Namun jika istri merasa disakiti dan didzalimi, maka ia boleh meminta cerai.

a. Kasus Tsabit Bin Qais di masa Nabi.

Suatu hari istrinya Tsabit Bin Qais menyampaikan pada Nabi SAW bahwa ia ingin berpisah dengan suaminya karena takut tak mampu memenuhi haknya sebagai istri. Sebab ia kesulitan mencintai suaminya.

يا رسول الله ثابت بن قيس ما أعتب عليه في خلق ولا دين ، ولكني أكره الكفر في الإسلام

"Wahai Rasulullah, Tsabit Bin Qais tidak punya masalah dalam hal akhlak maupun agamanya. Namun aku takut menjadi wanita yg kufur dalam islam" (HR. Bukhari)

Kemudian Nabi Saw mengabulkan permintaannya.

Ibnu Hajar al-Asqalani mengatakan : 

"Jika rasa khawatir tak mampu melaksanakan kewajiban pada suami itu bisa menjadi dasar bolehnya istri meminta cerai, padahal Tsabit bin Qais lelaki yg baik akhlak dan agamanya. 

Apalagi bagi istri yg dipoligami, tentu ia punya landasan yg lebih jelas."

b. Hadits bolehnya meminta cerai jika punya landasan yg jelas.

أيما امرأةٍ سألت زوجها طلاقاً من غير بأسٍ، فحرامٌ عليها رائحةُ الجنة» (رواه أبو داود والترمذي وابن ماجة والحاكم)،

"Wanita manapun yg meminta cerai pada suaminya TANPA ALASAN YG JELAS, maka haram baginya bau surga" (HR. Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah dan al-Hakim)

Dalam hadits ini, istri tak boleh asal minta cerai pada suami, kecuali jika ada alasan yg jelas (بأس). Jika ada alasan yg kuat seperti rasa tersiksa, maka boleh.

Al-Mubarokfury menafsirkan kata بأس dalam hadits tersebut sebagai :

 شدة تلجئها إلى سؤال المفارقة.

"Kesulitan yg berat yg menyebabkan istri meminta cerai".

C. MENOLAK BUKAN MENGHARAMKAN.

Jika istri memberi syarat agar suaminya tidak berpoligami, apakah artinya istri mengharamkan perkara yg halal?

Bukankah Allah melarang hamba-Nya untuk mengharamkan apa-apa yg dihalalkan?

Allah SWT berfirman:

يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تُحَرِّمُوْا طَيِّبٰتِ مَاۤ اَحَلَّ اللّٰهُ لَـكُمْ

"Wahai orang-orang yang beriman, Janganlah kamu mengharamkan apa yang baik yang telah dihalalkan Allah kepadamu."

(QS. Al-Ma'idah 5: Ayat 87)

Ini pertanyaan menarik. Perlu dibedakan antara:

1. Mengharamkan yg halal,

2. Memilih perkara yg halal (monogami) dibandingkan perkara halal lainnya (poligami). Tanpa menganggap haram salah satunya.

Istri tidak boleh menyatakan bahwa poligami itu haram. Sebab artinya dia mengharamkan perkara yg halal.

Yang boleh adalah ketika istri memilih untuk "tidak menjadi salah satu" di antara wanita yg dipoligami oleh suaminya tsb.

Misal:

"Monggo kalau Kangmas mau berpoligami. Halal. Silakan pilih wanita yg mana saja diinginkan. Tapi saya menolak menjadi bagian dari barisan wanita tersebut."

Pilihan berpoligami adalah hak setiap suami.

Sebagaimana 'menolak' dipoligami yg juga adalah hak setiap istri.

Begitu juga calon suami yg mensyaratkan calon istrinya setelah menikah nanti agar memilih untuk tidak bekerja (perkara halal) dibandingkan bekerja (perkara halal). 

Ini bukan mengharamkan perkara yg halal. Tapi merupakan syarat yg dipilih suami agar istri lebih memilih 1 perkara halal dibandingkan perkara halal lainnya. 

D. KESIMPULAN

Dari pembahasan di atas, ada beberapa hal yang bisa kita simpulkan sebagai berikut:

• Syariat islam sangat melindungi wanita dengan cara memberinya hak untuk mengajukan syarat pada calon suaminya.

• Isi syarat yang diajukan tidak boleh berisi hal yang bisa merusak inti dari pernikahan itu sendiri, misalnya ‘tak mau disentuh/dijima’ paska pernikahan’. 

Sebab salah satu inti dari pernikahan adalah istihlalul farji (menghalalkan hubungan badan).

• Jika isi syaratnya tidak bertentangan dengan syariat dan juga tidak merusak inti dari pernikahan, maka syarat itu boleh saja dibuat dan disepakati oleh kedua belah pihak.

• Jika calon suami menyetujui syarat yang diajukan calon istri, maka menurut jumhur ulama (Hanafi, Maliki, Hambali) ia harus benar-benar memegang janjinya itu. Jika tidak, maka istrinya kelak berhak untuk menggugat cerai pada hakim, tanpa ada ancaman dosa.

Sedangkan dalam madzhab Syafii, suami tak wajib memenuhi syarat tersebut. Namun jika ia memutuskan menikah lagi (poligami), dan ternyata poligaminya menyebabkan kedzaliman pada istri, maka istri boleh menggugat cerai pada hakim.

• Hendaklah istri benar-benar berfikir matang sebelum mengajukan syarat ini dan itu pada suaminya. Sebab kesepakatan yg salah bisa berakibat fatal pada keberlangsungan masa depannya.

Wallahu Al-Musta'an.

Wallahu A'lam Bishsh

#HubbulWathonMinalIman

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda