Mengenal Presiden Pertama NU KH Hasan Gipo Ampel - HWMI.or.id

Thursday 4 February 2021

Mengenal Presiden Pertama NU KH Hasan Gipo Ampel

 Mengenal Presiden Pertama NU KH Hasan Gipo Ampel


Sebagian besar dari kita saat ditanya, siapa Presiden atau Ketua Tanfidziyah NU Pertama, maka biasanya akan menyebut nama Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari. Padahal, sebenarnya Ketua Tanfidziyah NU Pertama adalah Guru Mulia KH Hasan Gipo Surabaya.

Hasan Gipo yang memiliki nama lengkap Hasan Basri, dilahirkan di Kampung Sawahan pada tahun 1869, tepatnya di Jalan Ampel Masjid, yang kini menjadi Jalan Kalimas Udik. Beliau merupakan keturunan keluarga besar dari “Marga Gipo” sehingga nama Gipo diletakkan di belakang nama Hasan. Nama Gipo sendiri sebenarnya merupakan singkatan dari Sagipodin dari bahasa Arab Saqifuddin, Saqaf ( pelindung) dan al-dien (agama). Hingga kampung tempat Gipo tinggal kemudian dikenal dengan Gang Gipo dan keluarga ini mempunyai makam keluarga yang dinamai makam keluarga, makam Gipo di kompleks Masjid Ampel. Gang Gipo sendiri kini berubah menjadi Jalan Kalimas Udik.

Jika diruntut silsilahmya beliau tersebut, H. Hasan Gipo masih mempunyai hubungan keluarga dengan K.H. Mas Mansur karena K.H. Mas Mansur (Muhammadiyah) masih keturunan dari Abdul Latief Gipo yang merupakan salah seorang dari marga Gipo tersebut. Dari beberapa keterangan tersebut, bisa ditarik pemahaman juga bahwa keturunan Sagipodin mempunyai akar kuat di Kalangan Nahdlatul Ulama maupun Muhammadiyah.

Apabila ditelusuri melalui jalur silsilah keluarga, didapati bahwasannya beliau merupakan generasi kelima dari dinasti Gipo. Ayahnya bernama H. Marzuki, kakeknya H. Alwi, buyutnya bernama H. Turmudzi yang memperistri Darsiyah. Canggahnya Abdul Latief Sagipuddin merupakan awal dinasti Gipo yang memperistri Tasirah dan memiliki 12 anak. Dari silsilah itulah kita jumpai seorang Hasan Basri di Ampel yang berpusat di kota Surabaya dan lebih akrab dipanggil dengan H. Hasan Gipo.

Beliau yang terlahir dari kalangan ekonomi mapan, berhasil mngenyam pendidikan ala Belanda, tanpa mengesampingkan pendidikan kepesantrenanya, jiwa-jiwa santri juga mendarah daging di urat nadinya. Terbukti kepemimpinan ekonomi di kawasan bisnis Pabean masih dijabat oleh dinasti Gipo hingga masa jabatan H. Hasan Gipo.

Penunjukan H. Hasan Gipo sebagai Ketua Tanfidziyah NU Pertama mendapati perlakuan khusus, seperti halnya terbentuknya NU waktu itu. pasalnya sosok H. Hasan Gipo ini merupakan sosok yang limited edition, di mana beliau menguasai ilmu umum yang didapatinya sewaktu mengenyam pendidikan di Belanda dan juga beliau dikenal sebagai satu-satunya orang dari komunitas K.H Wahab Hasbullah yang cakap dan terampil dalam membaca dan menulis tulisan latin. Beliau pun akrab dengan masyarakat di sekelilingnya.

Pemilihan H. Hasan Gipo sebagai Ketua Tanfidziyah mulanya berawal dari musyawarah kecil pembentuk pengurus NU yang hanya melibatkan sebagian tokoh-tokoh dari daerah Ampel, Kawatan, Bubutan, dan daerah sekitar semuanya dari Surabaya. Dalam forum musyawarah itulah disebutkan nama H. Hasan Gipo sebagai Ketua Tanfidziyah yang pertama.

Meskipun pada masa itu, Nahdlatul Ulama masih berbentuk embrio di mana tokoh utama yang menjadi Rois Syuriah NU adalah K.H. Said dari Paneleh, Surabaya. K.H.Hasyim Asya’ri dipilih sebagai Rois Akbar Hoofd Bestuur Nahdlatoel Oelama (HBNO) dengan K.H. Wahab Hasbullah sebagai Katib ‘Aam. H. Hasan Gipo menjabat kurang lebih 3 tahun dan pada muktamar ke-3 di Semarang, K.H. Noor dari Sawah Pulo Surabaya menggantikanya.

Sebagai ketua Tanfidziyah, beliau bersama K.H. Hasyim Asya’ri, NU menunjukan diri sebagai gerakan sosial yang lebih dari sekedar usaha mempertahankan tradisi dari serangan kaum modernis, terutama yang tinggal di Surabaya pada tahun 1910-an yang didalangi oleh pedagang Minangkabau bernama Faqih Hasyim.

Hasan Gipo selain menjadi aktivis pergerakan juga menjadi seorang pedagang yang tinggal di kawasan elite Surabaya, dan hal itu sangat membantu pergerakan Kiai Wahab dan beliau yang selalu mengantar Kiai Wahab menemui aktivis pergerakan di Surabaya seperti HOS Cokroaminoto, Dr. Soetomo dan disitulah beliau Kiai Wahab dan Hasan Gipo berkenalan dengan Soekarno, Kartosuwiryo, Muso, SK Trimurti yang merupakan murid dari HOS Cokroaminoto sehingga disitulah para aktivis mulai merencanakan kemerdekaan Indonesia.

Hasan Gipo adalah orang yang enerjik, cekatan dan pemberani, pasalnya beliau pernah melabrak Muso (tokoh PKI) karena jengkel dengan kebanggaanya terhadap atheis, yang kemudian beliau menantang Muso untuk membuktikan adanya Tuhan dengan berdiri di atas rel kereta api hingga kereta datang menabrak mereka berdua.

Aktivitas Hasan Gipo terus dilanjutkan hingga menjelang wafatnya pada tahun 1934, kemudian dimakamkan di kompleks pemakaman Sunan Ampel dalam pemakaman khusus keluarga Sagipoddin.

Adapun Hadratussyaikh Mbah Hasyim Asy’ari berkedudukan sebagai Rois Akbar, pemimpin tertinggi NU. KH. Hasan Gipo adalah Ketua Pelaksana sesuai dengan arahan maupun fatwa Hadratussyaikh. Hasan Gipo atau Hasan Basri (lahir di Surabaya dan meninggal di Surabaya tahun 1934) adalah Ketua Umum Tanfidziyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama yang pertama mendampingi K.H. Hasyim Asyari.

Hasan yang berdarah Arab bermarga Gipo (Sagipodin), merupakan saudagar kaya di daerah itu. Hasan Gipo digambarkan bertubuh sedikit besar, berbadan gemuk, dan berkumis. Ia dikaruniai tiga putra

KH. Hasan Gipo seorang saudagar kaya raya yang masih merupakan dzuriyah dari Kanjeng Sunan Ampel. Beliaulah yang mendanai Komite Hijaz hingga bisa menembus jazirah Arab. Sebagai seorang pedagang dan sekaligus aktivis pergerakan yang tinggal di kawasan elite Surabaya, hal itu sangat membantu pergerakan Kiai Wahab. Dialah yang selalu mengantar Kiai Wahab menemui para aktivis pergerakan yang ada di Surabaya, seperti HOS Cokroaminoto, Dr. Soetomo dan lain sebagainya. Di situlah Kiai Wahab dan Hasan Gipo berkenalan dengan para murid HOS Cokroaminoto seperti Soekarno, Kartosuwiryo, Muso, SK Trimurti dan masih banyak lagi. Di situlah para aktivis pergerakan nasional baik dari kalangan nasionais dan santri bertemu merencanakan kemerdekaan Indonesia.

Pertemuan antara Hasan Gipo dengan Kiai Wahab serta kiai lainnya makin intensif. Ia kemudian terlibat aktif dalam pendirian Nahdlatul Wathan (1914), walaupun tidak tercatat sebagai pengurus. Selanjutnya ia juga menjadi peserta diskusi dalam forum Taswirul Afkar (1916).

Karena itu pengetahuannya sangat teruji, dan kemapuan berargumentasinya sangat memukau. Selain itu ia juga telah aktif terlibat dalam Nahdlatut Tujjar (1918) yang memang bidangnya. Dalam forum semacam itu ia berkenalan dengan ulama lainnya makin intensif seperti Kiai Hasyim Asy’ari dan beberapa kiai besar lainnya di Jawa yang telah lama menjadin pershabatan dengan keluarga Ampel itu.

Bahkan ketika para ulama membentuk Komite Hejaz dan akan mengirimkan utusan ke Makah, sumbangan Hasan Gipo juga sangat besar, karena dialah yang mempelopori penghimpunan dana dan ia sendiri pun menyumbang sangat besar. Atas prestasinya yang banyak memberikan sumbangan, dan memiliki kecakapan teknis dalam menangani administrasi organisasi serta penggalangan dana masyarakat.

Karena itu ketika Nahdlatul Ulama berdiri, dalam sebuah pertemuan terbatas yang dipimpin Kiai Wahab Hasbullah di kawasan Bubutan Surabaya itu ia langsung ditunjuk sebagai Hoftbestoor (Pengurus Besar) NU sebagai Ketua Tanfidziyah dan usul itu langsung disetujui oleh Kiai Hasyim Asy’ari yang sebelumnya sudah sangat mengenal Hasan Gipo serta latar belakang keluarganya.

Walau sebagai pengurus NU bisnisnya tetap berkembang, bahkan kemudian juga dikembangkan ke sektor properti, ia banyak memiliki perumahan, pertokoan dan pergudangan yang ini kemudian disewakan, saat itu kebutuhan terhadap sarana bisnis tinggi, karena itu tingkat hunian propertinya juga tinggi, sehingga keuntungan yang diperoleh dari sini juga tinggi, sehingga ia bisa menyumbang banyak ke NU, baik ketika Muktamar maupun untuk sosialisasi dan pengembangan NU ke daerah-daerah lain, sehingga bisa dilihat NU berkembang sangat cepat dari Surabaya, pada tahun kedua telah menyebar di Jawa Tengah, bahkan pada tahun kelima telah menyebar ke Jawa Barat, bahkan ke Kalimantan dan Singapura.

Seperti dilukiskan Saifuddin Zuhri, yang menggabarkan Hasan Gipo sebagai sosok yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga gagah secara fisik, karena itu ketika terjadi perdebatan tentang masalah teologi antara Kiai Wahab Hasbullah dengan Muso yang ateis itu bisa mengganti kedudukan Kiai Wahab yang bosan menghadapi Muso yang hanya bisa debat kusir tanpa nalar dan tanpa hujjah yang benar. Maka dengan gagah berani ia melakukan debat dengan Muso tokoh PKI yang dikenal sebagai Singa podium itu ditaklukkan. Setiap argeumennya bisa dipatahkan, sehingga alumni Moskow dan anak didik Lenin itu keteteran. Tidak hanya itu Arek Suroboyo ini juga berani menantang Muso berkelahi secara fisik. Anehnya Muso yang biasanya brangasan itu tidak berani menghadapi tantangan Hasan Gipo.

Selain menguasai ilmu agama, setiap orang pesantren selalu menguasai ilmu kanuragan, sebab ini bagian dari tradisi pesantren, dan tampaknya Hasan Gipo juga memiliki ilmu ini, itu yang membuat Muso ngeri menghadapi. Hasan Gipo. Jabatan ketua Tanfidziyah itu dipegang Hasan Gipo selama dua masa jabatan, baru pada Muktamar NU Ketiga 1929 di Semarang ia digantikan oleh KH. Noor sebagai ketua Tanfidziyah yang baru juga berasal dari Surabaya. Selanjutnya pada Muktamar NU ke 12 tahun 1937 di Malang kemudian KH Noor digantikan oleh KH Mahfud Shiddiq, kakak kandung KH Ahmad Shiddiq.

Pada periode awal ini, NU memang banyak diikuti oleh para pengusaha, selain Hasan Gipo ada beberapa pengusaha besar yang masuk ke NU yaitu Haji Burhan Gresik. Ia memiliki pabrik kulit dan persewaan rumah dan gudang. Kemudian adalagi pengusaha besar Haji Abdul Kahar Kawatan Surabaya, yang menguasai perdagangan pertanian di Jawa Timur. Kemudian ada H. Jassin, seorang pemilik pabrik garmen yang khusus diekspor ke India dan Pakistan. Mereka semuanya pernah aktif terlibat aktif dalam Nahdlatut Tujjar, maka ketika NU berdiri secara otomatis mereka bergabung ke NU. Dengan demikian NU bisa berdiri mandiri tanpa bantuan dari kolonial, sehingga bebas menentukan gerak organisasinya dan mengatur pendidikan pesantren yang diselenggarakannya.

Pada periode awal ini selain menggiatkan bidang pendidikan, maka NU sangat peduli dengan usaha pengembangan ekonomi dengan membentuk berbagai syirkah. Usaha impor sepeda dari Eropa dirintis sejak tahun 1935, karena untuk mencukupi kebutuhan pasar dalam negeri, dan tentunya sangat dibutuhkan sebagai sarana transportasi warga NU dalam mengembangkan jamiyah.

Selain itu juga dibentuk badan pengimpor gerabah dan barang kebutuhan lainnya dari Jepang. Usaha itu terus dikembangkan, kemudian NU juga mulai masuk lebih serius dalam bidang industri percetakan dan lain sebaginya. Atas inisiatif para kiai dan para tujjar yang ada dalam tubuh NU itu pergerakan NU semakin gencar, sehingga dalam waku singkat menjadi organisasi besar.

Selain bisnis yang bersifat kolektif para pengurus NU sejak dari Kiai Hasyim Asy’ari, termasuk Kiai Wahab Hasbullah. Kiai As’ad Syamsul Arifin, Kiai Bisri, Kiai Muslih Purwokerto, semuanya mempunyai usaha sendiri-sendiri. Usaha itu dibangun selain untuk memenuhi ekonomi keluarga yang terpenting bisa menjadi kemandirian agar tidak minta bantuan pada pemerintah kolonial Belanda. Jajaran pimpinan NU terdiri dari orang-orang independen, tidak ada yang menggantungkan ekonominya pada birokrasi kolonial.

Beliau pulalah sponsor terbesar dalam hal harta pribadi kepada NU, sehingga atas wasilah harta beliau, kabar berdirinya NU segera tersebar luas hingga ke seantero Tanah Jawa dari ujung paling timur hingga baratnya, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan tak ketinggalan Singapura.

Mendapat kabar berdirinya Jam’iyyah Nahdlatul ‘Ulama, mayoritas Ulama Ahlussunnah Wal Jamaah Al Muktabaroh di seantero Nusantara segera merapatkan barisan, “bermakmum” di belakang Hadlrotussyaikh.

Makam Beliau

Tekad untuk bisa sowan ke makam Guru Mulia KH Hasan Gipo, Presiden NU Pertama masa hidmah 1926 – 1929 terbayar sudah. Bertahun-tahun sudah berusaha mencari akhirnya ketemu. Berbekal pengetahuan yang terbatas, akhirnya bisa sowan juga.

Banyak yang kebingungan ketika ditanya tentang nama beliau, apalagi ketika dikatakan sebagai Presiden NU Pertama. Sebab, umumnya mengira Hadlrotussyaikh Hasyim Asy’ari, yang diberi amanah sebagai Rois Akbar NU, bukan Presiden NU. Istilah Presiden inilah yang kini kita kenal sebagai Ketua Tanfidziyah.

Bahagia bercampur haru saat mata ini menatap sebuah prasasti kecil bertuliskan KH Hasan Gipo. Tak terasa air mata mengiringi doa-doa kami, terhatur bagi beliau.

KH Hasan Gipo termasuk dzurriyah Kanjeng Sunan Ampel yang menyediakan harta, tenaga dan pikirannya untuk NU. Seorang saudagar kaya raya yang mewakafkan diri dan hidupnya untuk NU.

Makam beliau hampir saja hilang tidak dikenali jejaknya, alhamdulillah berhasil ditemukan kembali dan diberi tanda.

Berada di Kompleks Pemakaman Kanjeng Sunan Ampel Surabaya, di sebelah Timur Masjid Ampel, satu lokasi dengan makam Pahlawan Nasional Empat Serangkai KH Mas Mansyur.

Ila hadlroti ruhi Guru Mulia KH. Hasan Gipo wa zawjatihi wa dzurriyatihi wa furu’ihi wa silsilatihi wa muridihi wa muhibbihi syai-un lillahi lana walahum Al Fatihah …

 (dakwahnu.id)

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda