Metode Palsu Tafsir Al-Qur’an dari Ulama Berandal Hizbut Tahrir
Tafsir Al-Qur’an. Kali ini, itu topik yang hendak kita bahas. Dalam memahami Al-Qur’an, tafsir merupakan keniscayaan. Tetapi, dalam tulisan ini, saya tidak dalam rangka menguraikan diskursus tafsir, melainkan meluruskan apa yang eks-HTI sampaikan melalui Khilafah Channel di YouTube. Ade Sudiana, sang ustaz, menguraikan metode penafsiran Al-Qur’an. Sayangnya, yang ia uraikan malah metode palsu tafsir. Bahkan kepada Muhammad Abduh, mujadid dari Mesir, misalnya, ia mengkritik.
Ini penting untuk kita bahas agar khalayak tahu, bahwa tantangan memahami Al-Qur’an bukan saja fenomena pengabaian tafsir semata, melainkan juga manipulasi terhadapnya. Seseorang yang memaknai Al-Qur’an melalui terjemah itu tidak kokoh, cenderung reduktif. Tetapi seseorang yang menafsirkan Al-Qur’an menggunakan metode (al-manhaj) yang salah, itu tak kalah buruknya. Ini yang coba para dedengkot HTI suguhkan untuk khalayak melalui kanal YouTube provokatifnya.
Dalam tulisan yang lalu, tadarus provokasi eks-HTI melalui kanalnya pernah dibahas. Pengonteran terhadap media-media mereka memang harus masif kita lakukan, urgen, karena mereka juga masif dan istiqamah menebarkan doktrinnya. Hanya karena seolah hari ini narasi khilafah eks-HTI itu tiarap, atau bahkan mati, tidak lagi jadi pusat pembicaraan publik, lalu kita berhenti melakukan kontra-narasi. Itu salah. Mereka bergerak dalam senyap melalui kanal-kanalnya. Kita harus tahu itu.
Kajian konstitusi Hizbut Tahrir sudah tak terhitung mereka gelar. Terus begitu. Tidak peduli penontonnya banyak atau sedikit, yang terpenting sukses membuat penontonnya berpikir bahwa dakwah mereka ‘lurus dan istiqamah’. Kita sering kali lengah di bagian tersebut. Lalu mereka merambah ke topik metode Al-Qur’an—tentunya metode palsu tafsir ala mereka. Tujuan mereka bukan untuk belajar penafsiran, namun menyestkan umat melalui metode palsu tafsir yang mereka tawarkan.
Keberandalan eks-HTI, yakni keberanian mereka melakukan pelbagai cara demi intrik jahatnya, termasuk mencitra-burukkan mufasir yang tak sejalan, patut untuk kita kecam. Para ulama tafsir sudah banyak, dan orientasi mereka adalah kemajuan dan kemaslahatan umat. Bagaimana mungkin bisa terkritik melalui metode palsu tafsir Hizbut Tahrir?
Metode Palsu Tafsir HTI
Metodologi tafsir itu meliputi sumber (mashadir), corak (thuruq), dan orientasi (ittijah). Sementara tafsir itu sendiri, selama ini, menurut J.J.G. Jansen (1997: 10) ada dua jenis, yaitu berdasarkan urutan mushaf (al-musalsal) atau berdasarkan topik tertentu (al-mubawwab). Dalam diskursus tafsir, ketentuan tersebut tidak berubah kecuali dalam spesifikasinya. Apakah semua itu dibahas oleh eks-HTI? Tidak. Mereka memakai literatur yang berbeda. Sengaja, tentunya.
Ustaz Ade Sudiana memakai kitab Asy-Syakhsiyyah al-Miyyah karya Taqiyuddin an-Nabhani, pendiri Hizbut Tahrir. Sebagai partai politik transnasional yang terlarang karena bertentangan dengan Pancasila, mengkaji kitab an-Nabhani sebenarnya juga tidak boleh. Apalagi an-Nabhani menyebut metode dengan term ‘thariqah at-tafsir’, bukan ‘manahij at-tafsir’, tentu konsekuensinya akan berbeda dengan hasil para pengkaji Al-Qur’an utama.
Sebagaimana yang ulama eks-HTI jelaskan, metode dalam perspektif an-Nabhani ialah ‘hal-hal tetap dan baku yang harus diperhatikan oleh mufasir”. Juga mengatakan bahwa yang bisa sesuai selera mufasir hanya uslub-nya saja, meliputi sistematika, pembagian bab-bab masalahnya dan cara pembahasannya. Uraian ustaz di Khilafah Channel tersebut hendak memundurkan diskursus tafsir, rigid, dan tidak punya orientasi kemaslahatan atau, kemaslahatannya mereka paksakan.
Mengatakan bahwa Tafsir Al-Manar-nya Abduh memuat ad-dakhil, karena pembaruan-pembaruan Abduh yang anti-mainstrem tafsir salaf, itu tuduhan yang tidak lagi relevan. Berargumen bahwa tafsir harus kembali kepada masa Nabi, itu adalah cita-cita utopis yang bodoh. Tafsir harus menjelma sebagai dialektika teks dan konteks. Makna di masa Nabi terjaga, tetapi harus kita kontekstualisasikan. Kalau kita telan bulat, maka pasti, pasti salah dan menjadi ekstremis.
Ulama eks-HTI yang mengisi kajian metode tafsir di Khilafah Channel dengan merujuk an-Nabhani bukan tidak paham orientasi tafsir an-Nabhani yang mirip tafsir Sayyd Quthb. Namun, dengan sengaja ia bertindak berandal, merompak diskursus tafsir melalui tesis bahwa tafsir yang ada sekarang banyak mengandung kekeliruan lantaran tidak sesuai dengan makna dari Nabi. Metode palsu tafsir yang ia suguhkan hendak menghapus satu kewajiban penafsiran: progresivitas.
Keniscayaan Tafsir Progresif
Tujuan tafsir an-Nabhani ialah mendekati kebenaran dan menghasilkan pemecahan-pemecahan masalah umat Islam yang langsung digali dari Al-Qur’an. Itu jelas membuat tafsir terbelakang, tidak progresif, tidak menjawab tantangan realitas. Sama halnya dengan jargon kembali kepada Al-Qur’an dan sunah yang absurd. Tafsir, jika demikian, hanya akan jadi qira’ah mutakarrirah. Sama sekali tidak membantu perkembangan umat.
Yang demikian jelas keliru. Tafsir adalah tafsir dan bukan Al-Qur’an itu sendiri. Ukuran tafsir adalah semampu kita sebagai manusia (bi qadr thaqqah al-basyariyyah). Karenanya, pengembangan metode tafsir Al-Qur’an bertujuan untuk beradaptasi dengan realitas yang kian kompleks di satu sisi, dan kewajiban relevansi Al-Qur’an sepanjang waktu di sisi lainnya. Hari ini, kita tahu diskursus maqashid Al-Qur’an, yang tentu mustahil terungkap jika metodenya palsu—tidak relevan.
Apa yang an-Nabhani uraikan dalam kitabnya, kemudian dicoba jelaskan kembali oleh ustaz Ade Sudiana di kanal Khilafah Channel, tidak lebih dari usaha pemunduran umat. Cara yang ia tempuh ialah dengan membelokkan keniscayaan tafsir progresif sebagai sesuatu yang melangkahi Al-Qur’an itu sendiri. Oleh karena bersifat doktrinal Hizbut Tahrir, tidak mengupayakan progresivitas, menafikan keterangan ulama kontemporer dengan fokus pada an-Nabhani saja, maka laik kita sebut tawaran mereka sebagai metode palsu tafsir.
Tafsir bertujuan memahami Al-Qur’an, yang muaranya yaitu menciptakan kemaslahatan umat. Kita tidak bisa diam jika kaum-kaum yang berniat merebut kekuasaan menjadikan tafsir sebagai umpan rompakan mereka, ibarat berandal yang ekspolitatif. Metode palsu tafsir ala HTI tidak boleh kita percaya. Mereka hanya ingin mengajar doktrin an-Nabhani, bukan hendak mendalami ilmu tafsir. Saya sendiri, yang konsentrasi ilmu tafsir, akan terus melawan siasat jahat berandal eks-HTI tersebut.
Wallahu A’lam bi ash-Shawab…
Ahmad Khoiri (Harakatuna.com)