Waspada Jebakan Jargon HTI (3) - HWMI.or.id

Thursday, 1 July 2021

Waspada Jebakan Jargon HTI (3)

 #Ngaji_Tafsir_Politik 

Waspada Jebakan Jargon HTI (3)

Oleh: Zakiyal Fikri Mochamad

Jargon HTI  selanjutnya yang perlu diwaspadai adalah  “membenci khilâfah berarti membenci dan menghina Islam dan membela khilâfah berarti membela Islam”. Ya, jargon satu ini sering digunakan oleh kelompok HTI untuk menyebarkan gagasan khilâfah tahrîriyyah-nya. Jargon ini muncul berasal dari pemahaman mereka yang meyakini bahwa khilâfah adalah ajaran Islam itu sendiri yang musti ditegakkan. Sehingga siapapun baik individu namun institusi yang membela dan mengakui dan menegakkan khilâfah berarti membela Islam. Akan tetapi siapapun yang menolak dan membencinya berarti sama saja membenci Islam. Hal demikian sebagaimana disampaikan oleh para petinggi, kader maupun simpatin HTI. Sebut saja misalnya Ismail Yusanto, mantan jubir HTI yang mengatakan, “khilâfah itu bukan ideologi Islam tetapi ajaran Islam, risalah yang diturunkan Allah, pencipta langit bumi dan yang menghidupkan serta mematikan mansuia. Maka, siapa saja yang menghalangi apalagi melarang mendakwahkan ajaran Islam ini, akan berhadapan dengan Allah, pemilik risalah itu. Berani?”.

Rokhmat S. Labib, tokoh HTI lainnya juga menyatakan bahwa “khilâfah itu ajaran Islam, perintah oleh Al-Qur’an dan al-Sunnah, serta disepakati oleh para ulama. Menyebut khilâfah banyak mudaratnya sama halnya menuduh Islam mengajarkan mudarat.”  Senada dengan itu, Farid Wadjdi, kader HTI sekaligus pemimpin redaksi Tabloid Media Umat juga menegaskan, “membenci khilâfah sama dengan menghina ajaran Islam. Untuk yang membenci dan menghina khilâfah, hanya satu jawabannya: khilâfah ‘alâ minhajun nubuwwah itu ajaran Islam, bagian dari syariah Islam yang mulia. Membencinya sama dengan menghina ajaran Islam dan sungguh sedang melecehkan ajaran Allah dan Rasul-Nya”.

Pemamaham mereka ini diklaim didasarkan pada sekian dalil agama, yakni QS. al-Baqarah[2]: 30 sebagai isyarat perlunya mengangkat khalifah dan institsusi kekuasannya (khilâfah), QS. al-Nuûr[24]: 55 sebagai janji kebangkitan khilâfah di masa depan, riwayat tentang khilâfah ‘alâ minhajun nubuwwah yang dijanjikan akan bangkit kembali serta fakta sejarah yang menunjukkan adananya sistem kepemimpinan khilâfah mulai dari al-khulafâ al-râsyidûn, Bani Umayyah, Bani Abbasyiah hingga Turki Usman.

Melalui jargon ini, mereka tawarkan manifesto pendirikan negara khilâfah kepada publik yang diposting pada meme, poster, spanduk dan siaran media sosial yang dikemas sedemian rupa. Dan hasilnya pun cukup berhasil, yakni banyak kalangan masyarakat khususnya dari kalangan anak muda, pelajar dan “komunitas hijrah”

 tertarik lalu percaya dengan jargon tersebut hingga kemudian dengan suka rela mereka berbaiat dan masuk menjadi kader militan HTI. Hal demikan tidaklah mengherankan, karena rata-rata para konsumen dan penikmat jargon ini notebene adalah mereka yang memang minim pengetahun agama sehingga dengan mudah mereka akan langsung mengamini, terlebih dalam ajakan di dalam jargon tersebut diembel-embeli simbol dan dalil-dalil agama untuk menguatkan bahwa gagasan khilâfah itu benar-benar absah dan legal menurut Islam. 

Fakta demikian bisa dibuktikan dengan respon anak muda Indonesia, sebagaimana menurut penelitian The Wahid Institute pada tahun 2017 yang dikutip Zuly Qodir dalam Kaum Muda, Intoleransi, dan Radikalisme Agama, bahwa hampir 78 % anak muda tidak puas dan tidak lagi menerima Pancasila sebagai ideologi negara, akan tetapi  mereka lebih sepakat dengan khilâfah yang jumlahnya hampir 58 %. Tingginya respon anak muda ini, selain dilatarbelakangi oleh faktor kebijiakan poitik Indonesai yang dianggap tidak adil, tetapi juga karena peran jargon di atas yang secara masif memang mendoktrin pikiran mereka untuk menerima khilâfah dengan suka rela. 

Yang menjadi pertanyaan besar selanjutnya adalah: apakah benar bahwa khilâfah adalah ajaran Islam sehingga berimplikasi bagi para penerima atau penolaknya?. Untuk menjawab pertanyaan ini, kita musti merujuk kembali kepada analisa para ulama syariah/yurispudensi tentang Islam dan ajaran-ajarannya serta tentang eksistensi Islam itu sendiri. Dan sungguh hasilnya pun cukup mengejutkan, yakni bahwasanya khilâfah adalah hasil ijtihad para ulama atas pemahaman mereka terhadap teks-teks agama, sebab tidak ditemukan dalil agama baik Al-Qur’an maupun Hadis yang secara tegas menyatakan keabsahan dan kebakuan khilâfah sebagai sistem (nidzâmiyyah)) paten dalam pemerintahan Islam.  

Dalam teks Al-Qur’an misalnya, yakni Surah al-Baqarah ayat 30 ternyata bukan menjadi dalil tegas/implisit yang menegaskan wajibya menegakkan khilâfah, melainkan berbicara soal wajibnya pengangkatan seorang pemimpin khalîfah sebagai pelestari bumi, pengatur urusan manusia dan pemberi kebijakan demi kemaslahatan umat manusia. Dan perlu dicatat bahwa “mengangkat khalîfah bukan berarti [wajib] mendirikan khilâfah”.

Pernyataan ini setidaknya diamini oleh mayoritas para mufasir dalam kitab-kitab tafsir mereka, mulai al-Thabarî (w. 310 H), Ibnu Katsîr (w. 794 H), Ibnu ‘Atihyyah (w. 542 H), Zamakhsyari (w. 562 H) dan mufasir nusantara sekelas Buya Hamka (w. 1405 H) dan Quraish Shihab (l. 1366 H). Bahkan al-Quthubî (w. 671 H), mufasir yang dijadikan rujuan utama oleh HTI, ternyata tidak menafsirkannya dengan kewajiban khilâfah ini sebagai sistem negara yang paten. Beliau hanya menjadikan ayat 30 tersebut sebatas hujah kewajiban mengangkat pemimpin/khalîfah dalam arti umum. Sayangnya, HTI tidak utuh dalam menukil dan memahami penafsiran beliau ini sehingga pemahamannya pun terkesan tendensius dan sarat dengan kepentingan politik.  

Pernyataan al-Quthubî di atas juga diperkuat oleh pendapat al-Râzî (w. 631 H) dalam tafsirya, Mafâtih al-Ghaib yang menegaskan bahwa ayat 30 yang menjadi kisah awal penciptaan khalîfah itu mengisyaratkan perlunya seorang pempimpin yang bisa mengatur urusan umum manusia demi terjaganya stabilitas dan kemaslahatan umum. Sehingga, lanjut beliau, kebutuhan pembentukan negara dengan perangkat pemimpin dan wilayah kekuasannya adalah [tuntutan] sifat naluri atau watak dasar manusia yang memang ingin hidup dalam keteraturan yang dibuat oleh seorang yang dianggap berkuasa. Sejatinya, pernyataan al-Râzî di atas bukan dalam ranah penegakkan khilâfah, melainkan urgensitas seorang pemimpin dengan kekuasaan wilayahnya untuk menciptakan kemaslahatan manusia. 

Begitu pula riwayat tentang bisyârah (kabar gembira) kembalinya khalîfah islâmiyyah juga tidak mengindikasikan bahwa eksistensi khalîfah adalah bagian dari ajaran Islam. Mengapa? Karena sebagaimana pendapat para kritikus hadis, banyak ulama menilainya lemah hanya Taqiyudin al-Nabhâni, pendiri HT yang menilainya hasan dan Nashiruddîn al-Bani yang memasukkan sebagai hadis shahih. 

Kelemahan hadis tersebut dilihat dari segi sanad dan matan. Dari segi sanad, dinilai lemah karena ada perawi bernama Habîb bin Salim yang dinilai bermasalah. Oleh sebab itu, sekelas al-Bukhârî tidak meriwayatkan hadis dari riwyat Habîb bin Salim karena menurutnya ada masalah pada dirinya (fihi nadzar). Tidak hanya itu, dari pada pakar kutubu al-sittah pun ternyata tidak meriwayatkan hadis ini, hanya Imam Ahmad dalam Musnad-nya saja. Sedangkan kelemahan dari segi matan adalah adanya keganjilan yang perlu dicurigai. Sebab hadis ini diriwayatkan oleh Habîb bin Salim yang diduga kuat sengaja ditambahkan oleh dalam rangka memuji khalifah Umar bin Abdul Aziz yang saat itu tengah berkuasa dengan tujuan supaya memperoleh posisi strategis bagi dirinya bukan untuk kekhilafahan akhir zaman.  

Adapun fakta sejarah yang menceritakan adanya model pemerintahan khilâfah seperti di masa al-khulafâ al-râsyidûn hingga Turki Usmani, juga tidak menunjukkan pada indikasi eksistensi khilâfah sebagai ajaran Islam. Sebab model kekhilafahan pasca periode empat sahabat Nabi itu sudah tidak lagi mencermin khilâfah murni. Hal tersebut dibuktikan dengan transformasi mekanisme pengangkatan khalîfah yang dari awalnya baiat menjadi waliyu al-‘ahd (wasiat putra mahkota) bahkan berubah menjadi sistem kerajaan yang turun menurun. 

 Tidak hanya itu, keberadaan dinasti-dinasti kecil seperti Dinasti Fatimiyyah yang berhalauan Syiah di Mesir atau di Dinasti Abbasiyah di Andalus (sekarang Spanyol) bersamaan dengan Dinasti Abbasiyah di Baghdad semakin memperkuat bahwa khilâfah sudah menjadi produk ijtihad yang dibalut dengan kepentingan politik. Padahal, khilâfah yang sesungguhnya adalah kepemimpinan global yang terpusat di bawah satu komando seorang khalifah. Dengan kata lain, kalau memang khilâfah adalah ajaran Islam, tetapi mengapa sejak dulu pemerintahan dikomandoi oleh banyak khalifah dan wilayah kekuasaan (dinasti) yang berbeda-beda dalam satu waktu secara bersamaan. 

Tidak hanya itu, kalau memang khilâfah adalah ajaran Islam, tetapi kenapa banyak ulama tidak memasukannya kepada ranah akidah kecuali hanya kelompok Syiah saja. Mayoritas ulama Sunni, seperti dikatakan Fakhrudîn al-Râzî  (w. 606)  dalam kitab al-Jadal, khilâfah bukanlah bagian dari akidah. Sehingga menghindarinya lebih selamat dari bahayanya fanatisme. Bahkan, al-Juwainî (w. 478 H) menyatakan bahwa sebagian besar persoalan imâmah atau khilâfah adalah hasil ijtihad yang didasarkan pada prasangka dan penelitian semata. Beliau menegaskan:

وَلَيْسَتْ اِلاِمامَمةُ مِنْ قَواَعِد الْعَقاَئِدِ بَلْ هِيَ وِلاَيَةٌ تاَمَّةٌ عاَمَّةٌ وَمُعْظَمُ الْقَولِ فيْ الاْوُلاَةِ وَالوِلاَياَتِ الْعاَمّةِ الْخاَصّةِ مَظْنُوْنَةٌ في التأخى وَالتَحَرَّى

“Imamah bukanlah bagian dari prinsip-prinsip akidah, akan tetapi bagian dari [persoalan] otoritas yang komprehenshif dan umum; sebagian besar pendapat mengenai pemangku otoritas dan [mengenai] otoritas umum dan khusus merupakan prakiraan dalam penelitian dan penyelidikan.”

 Jadi, jelaslah bahwa jargon HTI yang menyeru “membela khilâfah berarti membela Islam, dan membenci khilâfah berarti membenci dan menghina Islam” adalah tindakan profokatif yang cacat argumen dan logika. Sebab khilâfah dan Islam itu dua hal yang berbeda. Islam itu satu hal, sementara khilâfah itu lain hal. Tidak bisa dipaksaan satu sama lain dengan dalih berbau agama atau karena ada hasrat politik yang mengatasnamakan agama. []

(Hwmi Online)

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda