Oleh Imam Mudofar
Usai menghadiri launching dan bedah buku “Ajengan Sukamanah, Biografi KH. Zainal Musthafa Asy-Syahid”, Selasa, (23/02), saya mendapatkan buku itu. Selesai acara, saya pun tak sabar untuk melahap habis buku yang ditulis dan diteliti hampir dua tahun itu. Sebab selama masa penantian itu, rasa penasaran terus muncul dki kerap diskusi dengan penulisnya, namun bagi saya, membaca memiliki daya tarik tersendiri. Sebab dengan membaca, saya bisa membayangkan langsung dalam benak, tentang apa yang saya baca. Saat buku itu sudah dalam genggaman, kira-kira dalam waktu tiga jam, buku itu saya baca sampai khatam.
Saat membaca buku itu, ingatan saya betul-betul diputar untuk membayangkan Sukamanah dan Tasikmalaya puluhan tahun silam. Gambaran tentang cerita dan sosok KH. Zainal Musthafa yang saya ketahui sebelum membaca buku ini, tiba-tiba runtuh. Hilang dan tergantikan dengan satu gambaran baru. Padahal sebelumnya, saat disodorkan dengan nama KH. Zainal Musthafa, gambaran yang segera muncul adalah pejuang yang syahid di medan laga. Atau cerita-cerita dahsyatnya pertempuran Sukamanah melawan tantara Jepang. Sisi heroisme itu selalu mendahului sisi-sisi romantisme kemanusiaan yang lazim dimiliki oleh setiap orang.
Dalam buku ini, Iip sebagai penulisnya berhasil merekontruksi sosok KH. Zainal Musthafa menjadi lebih nyunda sebagaimana masyarakat Sunda lainnya dan nyantri sebagaimana santri-santri lainnya. Bahkan pengambilan diksi Ajengan yang dipilih, menjadi puncak dari dua diksi sebelumnya. Tradisi pendidikan pondok pesantren di tatar Sunda digambarkan dengan begitu apik oleh Iip. Membuat pembaca dengan mudah membayangkan situasi pada saat masa itu. Lalu buku ini dilampiri satu dokumen “foto asli” dari sosok KH. Zainal Musthafa. Foto yang hadir utuh dan menenggelamkan gambaran-gambaran sebelumnya tentang Ajengan Sukamanah itu.
Ada satu kesimpulan menarik yang saya ambil, bahwa KH. Zainal Musthafa adalah tokoh dan pejuang Nahdlatul Ulama di Tasikmalaya pada masanya. Buku ini menjawab potongan-potongan sejarah yang tidak utuh, yang kemudian melahirkan kesimpulan yang salah dengan menafikan peran KH. Zainal Musthafa sebagai bagian dari NU, hanya karena ada pernyataannya bahwa ia keluar dari kepengurusan NU beberapa saat sebelum peristiwa Sukamanah.
Apalagi kesimpulan yang salah dari potongan-potongan sejarah yang tidak utuh itu, sempat muncul dalam film Sang Kiai. Dalam film itu digambarkan seolah-olah ada perbedaan ijtihad antara Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari dengan KH. Zainal Musthafa dalam menyikapi situasi pada saat penjajahan Jepang terjadi di Indonesia. Dan potongan-potongan sejarah itu dijawab oleh Iip secara utuh, dan dengan data yang komperhensif. Saya yang awam dalam hal sejarah pun mampu menyimpulkan bahwa KH. Zainal Musthafa adalah sosok penting dari perjalanan NU di Indonesia. Tanpa keraguan sedikitpun.
Setidaknya ada tiga catatan dari saya. Pertama, Iip menyodorkan data tentang sanad keilmuan KH. Zainal Musthafa. Bagi kalangan NU, sanad ini menjadi bagian yang sangat penting. Hanya dengan sanad ini kita meyakini bahwa ilmu yang diterima, sumbernya sahih dan bersambung sampai ke Rasulullah Muhammad SAW. KH. Zainal Musthafa tercatat pernah nyantri dan menimba ilmu agama di lima tempat berbeda. Berguru dan mengambil sanad kepada KH. Zumrotul Muttaqin (Gunungpari), KH. Sjabandi (Cilenga) KH. Zainal Arif (Sukaraja, Garut), KH. R. Ahmad Dimyati (Sukamiskin, Bandung), dan KH. Zainal Abidin (Jamanis).
Meski hanya mengaji di sekitaran wilayah Pasundan saja, namun sanad keilmuan dari guru-gurunya tersambung langsung kepada Syaikhuna Kholil Bangkalan dan Syaikh Mahfudh At-Tarmasi, dua ulama besar tanah air yang jadi panutan dari ulama-ulama yang kemudian mendirikan jami’ah Nahdlatul Ulama. Oleh karena itu, secara sanad keilmuan, tidak ada lagi celah bagi kita untuk meragukan sanad keilmuan KH. Zainal Musthafa.
Kedua, Iip menyodorkan data tentang keaktifan KH. Zainal Musthafa dalam menggaungkan panji-panji NU di Tasikmalaya pada dekade tahun 1930an sampai menjelang peristiwa sejarah Sukamanah. Pada tahun 1934, nama Ajengan Sukamanah mulai muncul dalam perhelatan NU Tasikmalaya. Di tahun 1936, NU Cabang Tasikmalaya membagi para kiai yang masuk di kepengurusan, dalam beberapa komite. Nama KH. Zainal Musthafa masuk dalam komite Pengajaran Baroedak (saat ini mungkin seperti LP Ma’arif NU) bersama-sama dengan gurunya, KH. Sjabandi.
Pemikiran KH. Zainal Musthafa juga mengisi dinamika NU Tasikmalaya yang kala itu sering kali berselisih para kiai yang tergabung dalam wadah yang dibuat oleh pemerintah, yaitu Persatuan Guru Ngaji/Idhar). Pada Muktamar NU ke 13 di Menes Banten, nama KH. Zainal Musthafa tercatat sebagai utusan dari NU Cabang Tasikmalaya bersama-sama dengan KH. Ruhiat (Cipasung) dan KH. Munir.
Pada tahun 1941, setelah Pemerintah Hindia Belanda menerapkan kewenangan SOB (Keadaan Darurat) KH. Zainal Musthafa bersama dengan KH. Ruhiat Cipasung dan sejumlah pengurus NU Tasikmalaya lainnya ditangkap dan dipenjarakan di Sukamiskin Bandung selama 53 hari. Setelah bebas, tak berselang lama, mereka kembali ditangkap dan dipenjarakan di penjara Ciamis. Suka duka itu berlanjut sampai dengan era penjajahan Jepang. Catatan sejarah itu menggambarkan betapa aktif dan vitalnya peran KH. Zainal Musthafa kala itu dalam kerangka ngahirup-huripkeun NU di tatar Sukapura.
Ketiga, Iip menyodorkan satu data yang menggambarkan jika perlawanan Sukamanah ini adalah respon dari puncak kemarahan atas kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh Pemerintah Jepang terhadap NU dan Rais Akbarnya, Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari. Sejarah mencatat, ketika Jepang mulai berkuasa di Indonesia, semua partai dan organisasi rakyat dibubarkan. Dan NU termasuk salah satu organisasi yang dibubarkan itu. Imbas dari pembubaran yang dilakukan oleh Jepang juga dirasakan oleh NU Tasikmalaya. Roda jam’iah tidak lagi berputar. Apalagi di tahun 1943, Jepang menangkap dan memenjarakan Rais Akbar NU. Kondisi NU di daerah, termasuk di Tasikmalaya seperti anak ayam yang kehilangan induknya.
Meski ada peristiwa dan alasan lain, baik yang bersifat personal maupun lokal di balik terjadinya perlawanan Sukamanah, namun rasanya tak berlebihan jika penulis menggambarkan bahwa perlawanan Sukamanah adalah respon kemarahan yang memuncak terhadap kesewenang-wenangan Jepang terhadap bangsa Indonesia, khususnya para ulama. Sebuah reaksi yang dapat dimaklumi dan dimengerti secara psikologis. Bahkan jika situasi itu ditarik dalam konteks hari ini, kita pun sebagai bagian dari kader NU tidak akan terima jika ada kiai-kiai yang dilecehkan martabatnya.
Lantas kenapa ada pernyataan dari KH. Zainal Musthafa “keluar” dari kepengurusan NU? Ternyata ini adalah semata-mata bagian dari strategi. Tidak ada kaitannya dengan perbedaan ijtihad yang bersifat pribadi maupun organisasi. Kenapa ini menjadi bagian dari strategi? Setidaknya ada beberapa alasan kuat yang disampaikan oleh Iip dalam buku ini. Salah satunya adalah guna melindungi gurunya, KH. Sjabandi dan kiai-kiai lainnya yang ada dalam kepengurusan NU Tasikmalaya.
Bisa dibayangkan, apa yang akan dilakukan pemerintahan Jepang yang begitu kejam terhadap NU, yang sudah begitu lancang menangkap Rais Akbar Hadrotus Syekh KH. Hasyim Asy’ari, jika pada saat perlawanan Sukamanah terjadi, KH. Zainal Musthafa menggunakan panji-panji NU. Bisa jadi, KH. Sjabandi dan kiai-kiai lainnya yang ada di kepengurusan NU Tasikmalaya dalam ancaman besar.
Satu hal yang menarik, meski pada saat itu NU dalam posisi yang sudah dibubarkan oleh Jepang, namun KH. Zainal Musthafa menyatakan diri untuk berhenti sebagai pengurus NU, sebagai bentuk penghormatan, penghargaan dan rasa takzim kepada gurunya, KH. Sjabandi dan kolega lainnya sesama pengurus NU Tasikmalaya. KH. Zainal Musthafa mengambil keputusan untuk berpikir jauh ke depan. Agar jangan sampai langkah apapun yang diambilnya, tidak berdampak pada organisasi, tapi cukup pada pribadi dirinya sendiri.
Ketika kita menikmati sajian data itu dari Iip D Yahya, yang disodorkan dengan narasi yang kuat, tidak ada celah sedikitpun bagi kita untuk meragukan ke-NU-an seorang KH. Zainal Musthafa. Kita diyakinkan bahwa ia merupakan tokoh NU sejati yang dedikasi dan perjuangannya patut disandingkan dengan perjuangan ulama-ulama besar NU lainnya.
Terakhir, saya memahami jika masing-masing orang akan memiliki tafsir yang berbeda ikhwal apa yang dibacanya. Sebab setiap orang tidak dianugerahi kemampuan untuk memiliki pamahaman yang sama atas apa yang dibacanya. Namun saya kira, setelah membaca utuh buku ini, banyak pihak yang akan sepakat jika Iip sedang berupaya untuk mempertegas (bukan memperjelas) bahwa KH. Zainal Musthafa adalah tokoh NU, yang layak dijadikan teladan dan panutan.
Penulis adalah Kasatkorcab BANSER Kab. Tasikmalaya, alumnus Ponpes Queen Al Falah Ploso Kediri dan Sastra Indonesia FIB Unair Surabaya.
Sumber : jabar.nu.or.id