Jadilah NU Yang Sempurna.
NU dalam menjalankan dakwahnya memiliki jalan dan cara tersendiri, dan tentu saja NU tak perlu mengikuti dan meniru jalan dan cara ormas lain.
Jalan dan cara NU ini merupakan hasil dari endapan proses panjang yang sudah ditempuh sejak era Mbah walisongo. Hasilnya bisa kita rasakan hingga sekarang. Dakwah yang mengedepankan Rahmah, tanpa kekerasan dan tanpa gebuk sana-sini.
Setidaknya ada tiga ciri dakwah dalam NU.
Pertama, تدريجى dimana dakwah ditempatkan dalam proses panjang, tidak buru-buru, perlahan dan bertahap, dengan bidikan pasti dan tepat sasaran.
Kedua, تقليل التكليف yaitu tidak memberatkan masyarakat atau tidak memaksakan kehendak.
Ketiga, عدم الجرح yaitu berusaha untuk tidak menyakiti dan tidak mengancam siapapun.
Makanya dakwah wali songo yang menjadi sanad biologis NU selalu menempuh jalur kultural, sehingga dakwahnya berhasil, ibarat menangkap ikan, ikannya ditangkap tanpa membuat keruh airnya.
Amar ma’ruf nahi munkar ibarat dua sisi mata uang yang tak bisa dipisah. Ketika NU lebih mengedepankan amar ma’ruf sebenarnya include di dalamnya juga ada nahi munkar. Jika secara gradual mengajak orang agar shalat, hakikatnya mengajak orang itu agar tidak meninggalkan shalat. Inilah aplikasi dari Kaidah :
الامر بالشىء النهي عن ضده.
Tentu sesuai alunan langgam dakwah dalam NU, ajakan agar shalat dilakukan dengan lembut sebagaimana prinsip di atas. Dalam konteks ini, fiqhul ahkam dimodifikasi secara cerdas menjadi fiqhuddakwah dan fiqhussiyasiyyah.
Sekali lagi NU memiliki jalan sendiri yang sering disebut “ على طريقة نهضة العلماء ”. Jika tidak sama dengan ormas lain ya wajar. Nah, kalau ada orang NU mencampur aduk strategi dakwah NU dengan ormas lain menurut saya prilaku seperti itu tidaklah tepat.
Isu yang sering terdengar yang dihembuskan oleh pengikut Ormas Anyaran sebelah bahwa, ” Yang penting itu Aswaja, meski tidak ikut NU”.
Nah... Pernyataan seperti itu, di samping lemah, juga berbahaya. Persis seperti semboyan anak muda zaman now, “spirituality yes religion no” atau “spiritualitas yes, agama no”.
Kesalahan pernyataan di atas ibarat seorang salik mau menggapai hakikat dan ma’rifat dengan tanpa melalui syariat. Ia hanya butuh roh tanpa butuh jasad. Tentu dalam konteks Indonesia, apalagi pernyataan ini sengaja dihembuskan di lingkungan warga Nahdliyin tentu sangat berbahaya.
Kesalahan kedua, berAswaja dan berNU bagi warga Nahdliyyin mutlak diperlukan. Karena Aswaja tanpa ada Wadah Organisasi yang menopangnya akan mudah dihancurkan. Ingat Aswaja di timur tengah dengan mudah bisa dipecah belah oleh kelompok lain karena tidak ada wadahnya, mereka luluh lantak.
NU dibangun oleh para Ulama awalnya dulu adalah dalam rangka “لاتحاد صفوف العلماء”, menyatukan barisan, shaf para ulama dalam meneguhkan dan memperjuangkan Aswaja sekaligus melawan para penjajah.
Maka jika ada pengikut Aswaja tidak berNU hakikatnya ia tidak mau merapat dalam barisan Ulama. Dan saya meyakini mereka akan mudah menjadi santapan kelompok lain yang bahkan tidak senafas dengan Aswaja, misalnya sekte salafi-wahabi atau gerombolan pengasong khilafah seperti HTI wa akhwatuha.
Mari rapatkan lagi barisan wahai pengikut dan pendukung aswaja. Agar kuat masuklah kembali dalam barisan, berAswaja dan berNU.
Jika ada yang tidak cocok baiknya tabayyun dan bermusyawarah. Bukan malah menyeberang ke organisasi lain sambil memojokkan NU. Kalau misalnya tetap tidak mau berNU, jangan mengajak warga nahdliyin sambil menyebar berita tidak benar dan atau memprovokasi dengan alasan-alasan yang bisa menimbulkan pertentangan di masyarakat.
Stop menjadi setengah NU.
NU selawase lawas.